
Gottfrid Bghkjt – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Bahasan soal rambut gondrong punya cerita tersendiri bagi saya. Sejak kecil hingga sekarang, saya tidak pernah tahu seperti apa rasanya jadi cowok gondrong.
Saya masih ingat, dulu orang tua rutin mengajak ke tukang cukur langganan tiap sebulan sekali atau ketika daun telinga sudah tertutup rambut.
Dari buku karya Aria Wiratma Yudhistira, saya dapat ingat betapa bapak mirip juru terawang apakah waktunya sudah tiba bagi saya dan kakak untuk memangkas rambut.
Tidak menyeramkan, ini murni kasih sayang orang tua kepada anaknya. Tapi saya memang merasa agak aneh.
“Memangnya kenapa kalau gondrong? Kenapa sebegitu perhatian dengan urusan remeh macam ini?”
Anak-anak lahir ke dunia dan mereka datang tanpa perasangka. Hidup sekedar hidup, ayo kita bersenang-senang.
Namun ketika memasuki SMP saya baru tahu, ternyata ada aturan bagi cowok agak gede: tidak boleh punya rambut panjang.
Padahal saya bangga punya foto ijazah SD dengan ujung rambut yang melompat ke mana-mana.
Di sekolah ternyata banyak teman-teman yang merasa terteror jika rambutnya agak panjang sedikit. Saya kadang juga merasakan hal sama.
Masuk SMA praktiknya hampir mirip. Bahkan saya pernah kena razia dan harus dipotong asal-asalan.
Pikir saya waktu itu, “Bangsat macam apa guru ini. Kepalanya pelontos, dan tempurung saya ditumbuhi rambut yang mungkin ada kutunya.”
“Apa dia iri, ya?”
Saya masih heran dan penasaran jika alasannya sekadar untuk kerapian, tata tertip, atau untuk menjernihkan pikiran.
Yesus saja rambutnya gondrong tapi jadi idola. Banyak juga lakon-lakon keren berambut gondrong: contoh saja Angling Dharma yang pernah tayang di Indosiar.
Saya kira semua akan berubah ketika kuliah: tidak ada yang mengatur-atur atau seenak jidat main cukur rambut orang.
Namun saat mencoba memelihara rambut gondrong, saya ternyata diteror. Yang bikin menjijikkan, saya diserang oleh pikiran sendiri.
Setelah beberapa bulan menahan untuk tidak cukur, sisi lain dari diri saya berkeras memaksa: “Woi cukur, woi. Itu kepala bakal diserang rombongan kutu kalau nggak potong rambut.”
Tidak hanya itu, kegelisahan ganjil juga menghantui di momen-momen ketika rambut saya hampir panjang.
Karena tidak kuat menahan bisikan misterius tersebut ya saya kalah, memutuskan akhirnya pangkas rambut juga.
Berkali-kali pergulatan batin ini terjadi. Di awal duduk di kursi pesakitan ditemani juru pangkas, muncul buih-buih: pasti semua akan terasa lebih baik.
Tapi itu semua hanya omong kosong. Yang ada hanya penyesalan usai memotong rambut. Konyolnya adegan macam ini terjadi berulang kali.
Hingga, akhirnya tirai terbuka. Kegelisahan saat memelihara rambut panjang ternyata muncul dari luar diri saya.
Super ego itu dimuntahkan oleh si pemaksa bernama Orde Baru.
Dengan halus, kasih sayang orang tua yang ingin anaknya hidup penuh ketentraman berubah jadi teror tidak karuan sampai sekarang.
Jujur, hingga kini saya masih penasaran, “Bisa gondrong atau enggak ya?”