Slamet Riadi [Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Antropologi UGM]
***
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang roda giling berputar-putar
Siang malam tapi bukan kami punya
(Salam Dari Desa – Leo Kristi)
Salah satu bait lagu dari musisi pengelana dengan ciri khas musik baladanya ini, seketika mengantarkan ingatan kita tentang desa, tentang keindahan alamnya, tapi bukan kami yang punya. Begitulah Musisi bernama lengkap Imam Sukarwo atau akrab disapa dengan Leo Kristi, menggambarkan ketakjubannya tentang desa dengan segala dinamika yang menyelimutinya.
Lagu berjudul Salam Dari Desa ini akan menjadi pengantar yang mengantarkan kita melihat lebih jauh kebelakang. Bercengkrama dengan peristiwa-peristiwa masa lalu di desa dan juga harapan akan desa yang mandiri kedepannya, sesuai dengan amanah undang-undang desa tahun 2014 lalu.
Peristiwa-Peristiwa Politik Masa Lalu Di Desa
Sebelum terciptanya Negara atau sebuah Bangsa yang kita kenal seperti sekarang, desa telah melakukan aktivitas-aktivitas sesuai dengan kearifan di masing-masing wilayah di Nusantara. Perjumpaan-perjumpaan dari pulau ke pulau atau dari wilayah yang satu dengan wilayah lainnya, setidaknya telah menggambarkan bahwa desa dulunya pernah berjaya, dan menjadi kenangan dalam sebuah catatan sejarah panjang bangsa ini.
Lantas, apa yang menyebabkan desa kini menjadi kehilangan daya berdesanya (sebelum atau sesudah diterapkannya undang-undang Desa tahun 2014). Salah satu poin yang menarik untuk kita cermati ialah, proses politik yang terjadi di desa, baik itu sebagai subjek maupun sebagai objek dari sebuah kebijakan ekonomi-politik dan pembangunan di Indonesia.
Mashuri Maschab (2013) dalam bukunya “Politik Pemerintahan Desa di Indonesia”, telah menggambarkan bagaimana desa menjadi objek dari kebijakan ekonomi-politik dari masa kolonial sampai Demokrasi Pancasila. Di jaman kolonial, desa menjadi suatu instrumen atau suksesor untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusianya guna kepentingan penjajah. Di masa Demokrasi Liberal, desa menjadi ranah perebutan pengaruh partai-partai politik yang menyebabkan konflik antar warga desa. Sedangkan di masa Demokrasi Pancasila, desa menjadi bagian terdepan dalam konsepsi “Pembangunan Desa” yang cenderung dari atas ke bawah, hal ini tentunya menyebabkan warga desa hanya menerima sebuah program dari pusat yang tidak berdasar apalagi bersandar pada kearifan dan kepentingan warga desa itu sendiri.
Kondisi ekonomi-politik di atas, jelas menempatkan desa sebagai bagian paling bawah dalam konsep pemerintahan di Indonesia. Tidak hanya secara administratif bahkan scara kultural pun warga desa dianggap paling terbelakang, kurang maju, tertinggal, dan jauh dari indikator-indikator modern dan maju (yang dimana penilaian ini pun, dipinjam sertah mertah dalam kebudayaan yang begitu jauh disana).
Pergeseran Paradigma: Sebuah Kecelakaan Kebudayaan
Bukan hal yang baru, jika penulis mengatakan bahwa segala proses dan peristiwa elit politik yang berhubungan lansung atau tidak dengan desa telah mengikis secara perlahan energi kultural kita sebagai bangsa yang berdaya dan berbudaya. Terkikisnya daya dan budaya juga berarti mengubah paradigma kita dalam melihat persoalan terlebih persepsi dan pandangan kita tentang desa.
Pergeseran paradigma ini adalah sebuah kecelakaan kebudayaan yang tentunya berdampak pada ranah politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di desa. Kecelakaan kebudayaan ini telah melahirkan berbagai peristiwa di desa, semisal tingginya angka kemiskinan di desa, perpindahan penduduk yang begitu massif dari desa ke Kota, ditinggalkan serta ditelantarkannya basis material dari Kebudayaan di desa (Sawah, Tambak/Empang, Lautan, Hutan) oleh para penerusnya, kebijakan pendidikan (perbaikan dan perbaruan infrastruktur penunjang proses pendidikan) masih sangat minim di desa, kasus perampasan lahan yang sering terjadi di desa, dan kesenjangan kultural di desa akibat globalisasi kebudayaan yang begitu cepat.
Rentetan peristiwa ini semakin memperparah posisi desa di Indonesia. Jika hal ini terus berlanjut, maka desa dalam pandangan kebudayaan akan hilang dan menjadi ruang kosong yang tidak lagi menjadi tempat menyimpan dan memproduksi memori, sejarah, dan kenangan sebuah bangsa yang besar, Indonesia.
Politik Kebudayaan: Sinergitas Dan Penyatuan Sumber Daya Kultural Di Desa
Undang-undang baru berarti juga peluang baru, mungkin juga sekaligus tantangan atau juga bencana, jika tidak terkelola dengan baik dan bijaksana tentunya. Seperti inilah gambaran akan regulasi baru yang mengatur tentang desa. Undang-undang nomor 6 tahun 2014 ini merupakan sebuah regulasi yang mengakui keragaman dan juga kearifan ditingkatan desa. Kita tentu menyadari bahwa berbagai masalah yang ada di desa saat ini membutuhkan penyelesaian atau paling tidak sebuah intervensi kebijakan (Kebudayaan) untuk mencegah dan sekaligus memperbaiki sebuah kecelakaan (paradigma) kebudayaan dalam memandang desa.
Salah satu kegagalan, dalam membaca konflik, bencana, dan fenomena kultural di desa ialah alat analisis yang kita gunakan. Terlampau sering kita menggunakan analisis yang sangat yuridis-normatif dan administratif dalam menyelesaikan persoalan yang ada di desa, dimana arena sekaligus ruang di desa selalu bergerak, dinamis, dan cair mengikuti gerak zaman. Pernyataan ini, bukan maksud untuk mengatakan bahwa pendekatan yuridis-normatif dan administratif itu tidak penting, bahkan tidak perlu dalam menganalisis permasalahan di desa, tetapi mesti ada upaya yang baru, dalam melihat persoalan ini sebagai sebuah gerak kebudayaan yang cair dan sangat dinamis yang tentunya mesti didudukkan dalam perspektif kritis ekonomi-politik global.
Melalui pembacaan ini, penulis menganggap bahwa sebuah gerakan mesti diorganisir dalam bentuk kebijakan dan politik kebudayaan di desa. Ruang-ruang kultural di desa mesti dirawat dan dimaknai ulang, aktivitas-aktivitas literasi mesti ditingkatkan, kembali memaknai desa sebagai arena kebudayaan yang tentunya tidak bisa pada jejaring ekonomi-politik, merawat, menjaga, serta mengorganisir basis material (tambak/empang, laut, sawah, hutan, dan gunung) dan basis ideologis (nilai, norma, etika, dan estetika) dalam kebudayaan di desa, yang mana semuanya merupakan agenda-agenda yang dapat dilakukan dalam bentuk politik (kebijakan) kebudayaan.
Maka dari itu, untuk sementara simpanlah rasa takjub kita tentang kehidupan di desa, keindahan alam dan keramahan manusianya. Pahamilah lebih dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang bekerja di desa, mungkin saja apa yang dilihat oleh indra mata kita jauh berbeda dengan apa yang dirasakan warga desa. Sebab, jauh sebelum tulisan ini di buat, Leo Kristi sudah menyelami kehidupan di desa dan merekamnya dalam salah satu bait lagunya, Ani-ani seluas padang, roda giling berputar-putar, Siang malam TAPI BUKAN KAMI PUNYA.