Eko Prasetyo – [Social Movement Institute]
Apalagi yang bisa kita lakukan/bila kata kehilangan makna/kehidupan kehilangan sukma/manusia kehilangan kemanusiaanya/ agama kehilangan Tuhannya (A Mustofa Bisri, Jadi Apalagi)
***
Saya mendapat undangan berulang-ulang. Menghadiri pengajian ustadz Abdul Somad. Lelaki kurus, kecil tapi pintar. Tayangan ceramahnya diputar dimana-mana. Berita tentangnya selalu baru: mau jadi penasehat raja Brunei hingga hidupnya yang sederhana. Tiap kali pertanyaan muncul selalu dijawab dengan tangkas. Otoritas pengetahuan agamanya cukup: lulusan Timur Tengah dan menulis buku. Semua pertanyaan yang menghampirinya dijawab dengan lugas, cepat dan singkat. Tak ada bantah-bantahan karena memang bukan forum diskusi. Kita tak tahu pula apa jawabanya sesuai harapan. Paling penting adalah ustadz Abdul Somad bisa menjawab, meyakinkan dan jenaka. Seperti menjadi harapan dirinya kini menghiasi semua kegiatan pengajian.
Pengajian telah membentuk selera (Konsep selera ini lebih detail bisa dilihat pada Celia Cury, Budaya Konsumen, YOI, 1998), dalam artian, proses pembedaan yang satu dengan yang lain. Melalui pengajian ummat mendefinisikan diri, dan mengapa mereka merasa lebih baik atau lebih buruk dibanding yang lain. Maka ustadz akan meneguhkan ‘kegiatan pengajian’ melalui ceramah yang selalu mengetengahkan ‘keunggulan’ mereka yang datang ke pengajian sembari ‘mengkritik’ kadangkala mengutuk mereka yang tak datang. Sindiran-sindiran bisa mencuat sebagai ejekan bahkan mengandung hinaan pada yang berbeda atau dianggap salah. Bukan hal unik jika kemudian praktek ibadah ini makin dikagumi, mengundang banyak orang dan jadi ritual yang mengukuhkan seorang untuk jadi ‘tokoh atau pahlawan’. Pengajian bisa meluncur menjadi kegiatan konsumsi. Praktek yang terus menyala di tengah pesatnya budaya populer.
Aktivitas yang memadati hampir semua acara televisi hingga media sosial. Topiknya bisa apa saja: mencari ketentraman hingga menghadapi Pilkada. Kini kegiatan ‘pengajian’ muncul pada semua tempat: Mall, sekolahan hingga kantor pemerintahan. Diadakan untuk kegiatan apapun: hari jadi sebuah kota, ulang tahun anak pejabat, rutinan tiap pekan hingga nikahan. Singkatnya pengajian telah jadi budaya hidup yang meyentuh semua segmen sosial. Maka ustadz serupa dengan artis: hidupnya terus jadi bahan berita dan semua peryataanya jadi sumber informasi. Maka hubungan ustadz kini tak hanya memusat pada jamaah tapi juga lingkaran penguasa dan pengusaha. Ingat saya bagaimana ustadz Abdul Somad memuji Gurbenur DKI Anis Baswedan atau mengkritik artis yang lepas jilbab. Maka pengajian bukan lagi sekedar pemaparan melainkan panggung banyak kepentingan politik, ekonomi dan budaya.
Ustadz mewakili apa yang jadi kebutuhan kelas menengah: identitas. Melalui ceramah ditautkan apa yang menjadi harapan kelas menengah: status, posisi dan imaginasi. Terpupuk orientasi diri untuk meyakini kalau agama itu bukan lagi berhubungan dengan identitas tapi harapan. Utamanya dalam geliat kehidupan pasar yang kompetitif dan sangat anonim. Itu sebabnya masjid mengambil peran penting utamanya dalam menghimpun dan menghidupkan aktivitas. Ustadz, masjid dan jamaah membentuk kesatuan sosial. Himpunan jamaah itu dikelola dalam kegiatan mingguan, dilibatkan pada kegiatan mobilisasi dan didorong aktif untuk perhelatan apa saja. Maka masjid mulai melakukan tata kelola profesional dengan meletakkan jamaah sebagai motor utama untuk semua kegiatanya. Kelas menengah muslim meletakkan masjid sebagai pemenuhan kebutuhan sosialnya (Lih liputan Tempo Muslim Konservatif Saleh atau Salah, 19-25 Juni 2017).
Masjid kini bukan untuk ibadah saja. Peranya komplit: bisa disewakan untuk hajatan, halamanya dapat dimanfaatkan untuk aksi dan infaknya bisa didapat dari mana-mana. Tak jarang masjid punya lembaga pendidikan: TK hingga Perguruan Tinggi. Malah di banyak kota besar masjid menyediakan layanan sebagaimana toserba: memberi makan tiap minggu, disediakan pemeriksaan dokter gratis hingga jika ada yang kehilangan sandal spontan diganti. Kajian-kajian diselenggarakan dengan topik yang berusaha mereorganisasi kehidupan domestik: misalnya training keluarga sakinah, perawatan jenazah, membentuk anak sholeh hingga bagaimana sholat bisa khusyu’. Kegiatan itu semua jika disederhanakan merupakan upaya untuk memobilisasi apa yang menjadi modal kelas menengah: organisasi, properti dan budaya.
Ruang aktivitas sosial ummat memusat di masjid. Melalui suara adzan yang digemakan dimana-mana masjid bukan hanya mengajak ibadah tapi memperagakan pengaruh. Di masjid semua pengumuman diberikan, ajakan kerja bakti, berita kematian hingga pembuatan SIM massal. Lebih-lebih ada insentif ganjaran jika orang membangun masjid: kelak disediakan rumah surga. Maka berlipat gandalah jumlah masjid yang kebanyakan dikelola oleh takmir yang sebagian adalah lapisan kelas menengah: birokrat, akademisi, pengusaha hingga politisi. Masjid telah menjadi formasi identitas kelas menengah muslim. Tidak saja menjadi pusat kegiatan ritual melainkan menjadi pusat ‘relasi’ baik dengan sesama kelas maupun dengan kelas sosial bawah. Kian banyak masjid yang menciptakan atmosfer kelas menengah: rapi, tertib, indah dan bersih. Papan peringatan tidak tidur, matikan HP hingga meminta anak-anak untuk diam sering muncul.
Melalui mimbar-mimbar khutbah serta kegiatan pengajian masjid telah menjadi pusat produksi opini. Hampir semua soal kemudian ditakar melalui ukuran agama: memilih sekolah, memilih pemimpin hingga memilih produk. Maka lewat masjid itu pulalah kinerja ruang publik dihakimi serta dibentuklah gaya hidup berdasar atas konsumsi. Umpama pengajian yang tak saja menjelaskan ajaran tapi juga pemberian peryataan politik, seperti yang terjadi pada aksi 212. Begitu pula cara konsumsi yang selalu diselipkan dalam khutbah sekaligus masjid juga memfasilitasi pemenuhan itu semua. Di Jogjakarta banyak pelataran masjid dipakai jualan tiap pekan atau masjid punya lembaga penerbitan. Pada dasarnya melalui masjid identitas agama dibentuk melalui, tubuh, praktik hidup dan barang-barang yang dibeli.
Itu sebabnya kegiatan semacam umrah jadi kegemaran utama. Seperti yang dikatakan Bourdieu, kelas menengah baru tak lagi mengutamakan etika asketik dalam hal produksi dan konsumsi, tetapi menyukai moralitas konsumsi berdasar kredit, belanja dan kenikmatan. Angka yang diolah majalah Swa amat mencengangkan: konsumsi muslim kelas menengah dalam hal apa saja. Nilai pasar orang Islam yang jumlahnya 112 juta orang itu mencapai 112 T/bulan (Mengikuti data dari Biro Pusat Statistik sekitar 87% masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Dari persentase itu terdapat kelompok masyarakat dengan pengeluaran US$ 2-20 atau Rp 24-240 ribu/hari yang jumlahnya lebih dari 130 juta. Sebuah jumlah yang sangat menggiurkan pasar dan bahkan diramalkan Indonesia menjadi kiblat pasar muslim dunia). Cita rasa Islam yang konsumtif ini mengejutkan karena dua hal: pertama pola penguasaan ekonomi yang mengalami ketimpangan mendalam tak menjadi sebuah krisis di kalangan ummat dan kedua praktek buas ekonomi pasar malah dijadikan sebagai sarana untuk memapankan sistem ekonomi Islam. Pada yang pertama kelas menengah Islam malah membangun patronase dengan kaum oligarkh dan pada yang kedua banyak pusat produksi yang memanfaatkan label Islam.
Pada sisi yang pertama adalah kemunculan kelompok vigilantisme yang secara aktif menekan banyak kelompok minoritas. Aksi-aksi penutupan gereja hingga kutukan atas ahmadiyah dipelopori mereka. Berdasar atas fatwa MUI kelompok ini meluas dan tak mendapat banyak sanksi hukum. Bahkan secara aktif menjadi pelindung dari banyak perkara hukum (Uraian mengenai kekuatan kelompok ini dapat dilihat pada Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia, Paramadina, Januari 2015). Soal tanah hingga tarikan kredit motor. Pada sisi lainya upaya untuk meneguhkan lembaga ekonomi Islam jadi cara untuk mereaksi kue ekonomi yang terkosentrasi pada kelompok ekonomi tertentu. Hanya soalnya adalah bangunan ekonomi kapitalistik itu tak memberi ruang bagi inovasi ekonomi rakyat. Maka kelahiran semacam BMT sekalipun musti tunduk pada logika ekonomi pasar dengan menyediakan lebih banyak kredit konsumsi ketimbang kredit produktif.
Kondisi ini membawa akibat kompleks. Yang terasa adalah kemiskinan yang dialami oleh ummat Islam selalu dipecahkan melalui pendekatan altruistik. Zakat yang dulu jadi kegiatan bertujuan pembebasan kini jadi badan swasta yang kuat, makmur sekaligus berpengaruh. Sebuah pola yang memberi proteksi pada borjuis yang juga banyak diuntungkan oleh pola pembagian kekayaan yang tak beresiko. Konsekuensinya kesadaran normatif ummat memuncak pada gejala komoditifikasi semua hal yang berbau Islam. Simbol-simbol Islam yang berada dalam ruang pasar yang mengambang sehingga muncul hanya pada permukaan serta tak mampu untuk mengubah atlas sosial. Resikonya agama kemudian mengintervensi ruang publik yang memunculkan banyak kekonyolan: bumi itu rata hingga minum air kencing unta.
Kesadaran kelas tak hidup karena dialektika yang terjadi bukan mengandung soal kontradiksi dan keberpihakan melainkan kecemburuan. Sisi ekstremnya mulai diproduksi kebencian etnis yang bersinonim dengan pemupukan kekayaan (Mulai beredar film tentang pengaruh Cina bagi pemerintahan Jakowi dengan wawancara salah satu tokoh pimpinan MUI yang resah atas menggeliatnya pengaruh Cina). Salah satunya adalah isu anti Cina yang bergulir sejak dulu. Konglomerasi yang dipelihara oleh Orba serta mulai mewaris pada anak-anaknya telah diolah jadi sentimen agama yang bahaya. Lebih-lebih China yang memang dekat dan mulai berpengaruh di Asia. Potensi destruktifnya nyata ketika retorika anti China itu didengungkan melalui banyak media sosial. Bahan bakar yang bisa memakan korban ketika momentumnya tersedia, misalnya Pilkada hingga Pemilu. Ummat yang secara psikologis selalu diidentikkan sebagai korban dan kalah terus berikhtiar untuk berada dalam kedudukan setara.
Maka naiknya kelas menengah muslim yang seiring dengan meningkatnya identitas takwa punya resiko tak pasti. Terutama sekali pada pola klinteisme politik yang selalu berusaha mencetuskan ide-ide Islamis yang jadi kegemaran kelas menengah. Misalnya dukungan aktif para politisi pada Perda Syariah. Sikap keras pada isu LGBT. Mudah sekali terbujuk pada kampanye populis. Populisme telah jadi tawaran kusam dalam soal demokrasi yang selalu mengandung masalah dengan representasi (Lih uraian agak menarik Goenawan Mohamad, Demokrasi dan Kekecewaan, Paramadina, 2009). Sebuah ide yang sebenarnya tak memberi perubahan struktural yang nyata karena hanya didasarkan atas keinginan untuk munculnya pimpinan kharismatik yang bisa bereskan segalanya. Seperti idiom kota beriman hingga pembuatan hiasan asmaul husna di beberapa kota (Setidaknya ada dua kota yang berhias jalanya dengan Asmaul Husna, yakni Kebumen-yang diikuti oleh sholat subuh jamaah bupatinya yang kemudian ditangkap oleh KPK dan Jombang). Proyek yang habiskan dana raksasa itu jadi pintu untuk bagi-bagi uang pada segelintir politisi culas: persis sebagaimana korupsi cetak kitab suci dan haji. Tapi ide keagamaan itu disambut dengan antusias karena dianggap sebagai pencapaian identitas. Mirip dengan kelas borjuis di Eropa yang makin impersonal dan konservatif.
Kembali lagi pada ustadz Abdul Somad yang kini amat populer. Merajai hampir semua tempat ibadah dirinya meneguhkan lagi tiadanya ‘kolektivitas’ dalam kesadaran perubahan. Retorikanya selalu diletakkan pada penataan individu, kutukan atas segala yang tak sesuai ajaran dan hidupnya Islam pada tempo klasik. Lagi-lagi individualisasi yang bisa berujung pada kultus telah menciptakan lapisan kelas menengah semu, datar dan terus berubah. Mereka bukan mendorong proses demokratisasi menuju pada situasi yang lebih terbuka, adil dan memihak pada yang lemah tapi menjadi lapisan yang mendukung ide-ide keagamaan yang diktator. Menyukai diri sendiri, percaya dirinya paling benar dan tak merasa salah atas keunggulan ekonomi yang dimiliki. Arus yang lama kelamaan membawa situasi politik jadi kian konservatif dan ekonomi makin liberal. Saat itulah agama kemudian dipertanyakan sumbanganya pada mereka yang lemah, kalah dan tersingkir. Persis seperti yang dikatakan Ariel Heryanto:
Di Indonesia tak terlihat benturan besar antara kapitalisme dan komitmen terhadap ketakwaan beragama. Keduanya dapat berjalan berdampingan untuk alasan yang berbeda dan kadang bertentangan. Agama dapat menawarkan keteduhan bagi orang-orang yang tak mampu secara ekonomi dan politik serta tak memiliki perwakilan atau kuasa dalam meraih keadilan. Bagi orang kaya urban yang kritis terhadap status quo, agama dapat berperan sebagai titik berangkat bagi pembangkangan ketika seluruh jalur yang sah secara politik resmi ditutup. Bagi mereka yang berkuasa, dikelilingi oleh kemiskinan, korupsi dan kekerasan yang disponsori oleh negara, ketakwaan dapat memulihkan kecemasan tentang status mereka, mengurangi rasa bersalah, atau menetralkan persepsi publik tentang kerakusan mereka. Apakah usaha itu sukses atau tidak, itu persoalan lain (Lih Ariel Heryanto, Identitas dan Kenimatan: Politik Budaya Layar Indonesia, KPG, 2015).
[Artikel ini untuk kebutuhan diskusi publik: Populisme Agama dan Wajah Kelas Menengah Muslim Indonesia, selasa 06 maret 2018, yang diselenggarakan oleh PMII Komisariat IAIN Jember]