Melki AS – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Jawaharlal Nehru mengungkapkan dengan sangat lugas bahwa suatu kesalahan dalam membaca sejarah apabila Konferensi Asia Afrika (KAA) dianggap sebagai peristiwa yang berdiri sendiri dan bukan sebagai bagian dari gerakan besar sejarah umat manusia. Karena KAA yang pernah digelar di Bandung pada tanggal 18-24 april 1955, menurutnya adalah sebuah fakta penting perjalanan kebangkitan negara ‘Dunia Ketiga’ dalam percaturan politik internasional saat perang dingin bergejolak pasca perang dunia ke-II. Dimana saat itu terjadi pergolakan antara blok Barat yang dipimpin Amerika dan blok Timur yang dipimpin Soviet. Indonesia dan beberapa negara bangsa yang baru merdeka mengkhawatirkan gejolak perang dingin, adu kekuatan nuklir dan sebagainya tersebut, menjalar sampai ke Asia bahkan beberapa wilayah koloni Eropa di Afrika. Dari itulah kemudian ide-ide untuk bersolidaritas, berkerjasama menghadapi krisis dunia mulai dirajut. Dengan semangat pembebasan dan melawan imperialisme kemudian ide tersebut mengkristal. Alhasil, proposal pertemuan untuk berkonferensi disambut banyak tokoh-tokoh dari berbagai negara. Dan kemudian di tahun 1955 dihelatlah untuk pertama kali sebuah Konferensi Asia Afrika.
Disinilah berbagai ide, pendapat, gagasan serta berbagai usulan dekolonisasi dan penghapusan akan penajajahan mulai bergema. Semua itu mulai ditenun dengan matang dan cerdas, yang kemudian hasilnya kita kenal sebagai Dasasila Bandung. Akan tetapi seperti apa bagian sejarah saat konferensi tersebut terjadi, hal tersebut cenderung luput dari ingatan kita. Makna KAA 1955 kemudian membias (bahkan tercerabut dari akar semangatnya) dan peringatan-nya yang kita lakukan tiap tahun hanya berakhir sebatas seremonial saja.
Wildan Sena Utama, seorang sejarawan lulusan Leiden University, dalam bukunya yang berjudul KONFERENSI ASIA-AFRIKA 1955; Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme, mampu menyuguhkan dengan baik sisi kesejarahan KAA secara utuh, kritis dan komprehensif. Buku yang ditulisnya tersebut mengajak kita untuk melihat lebih jauh embrio terjadinya KAA 1955 dengan menelusuri jejak kesejarahan ide serta pertemuan-pertemuan global sebelumnya yang pernah terjadi pada awal abad 20. Bahwa sebelum pertemuan tersebut mengkristal menjadi KAA, sudah pernah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya dari beberapa negara yang prihatin dengan gejolak perang dingin yang terjadi.
Dari Kongres Pan-Afrika Sampai KAA
Seperti yang dikemukakan penulis dalam bukunya, bahwa KAA ini sendiri punya serangkaian panjang lika liku kesejarahannya, mulai dari awal mula lahirnya ide-ide sampai pecahnya kongsi antar tokoh-tokoh yang mengawanginya. Kalau beberapa sejarahwan mendasarkan KAA 1955 berawal dari Konferensi Hubungan Antar Asia yang pernah diadakan di New Delhi 1947, Wildan menarik garis sejarah yang lebih panjang lagi kebelakang terkait akar-akar terjadinya KAA 1955 dari awal abad 20 semenjak proyek imperialisme Eropa ditentang oleh jaringan internasionalis, anti kolonialis dan anti imperialis Asia-Afrika. Diantaranya serangkaian kongres Pan-Afrika 1900, Kongres Ras Dunia (Universal Races Congress) di London 1911, Kongres Bangsa-Bangsa Timur di Baku 1920, Konferensi Rakyat Pan-Asia di Nagasaki tahun 1925 dan di Shanghai tahun 1927, Kongres Melawan Penindasan Kolonial dan Imperialisme di Brussels 1927 dan Konferensi Hubungan Antar Asia. Semua ini menurut Wildan adalah embrio tumbuhnya kesadaran kolektif negara bangsa yang pernah tertindas oleh kolonialisme, rasisme dan superioritas kelas. Dan KAA 1955 adalah titik balik dari perjuangan panjang para intelektual non barat melawan penjajahan imperialisme yang memang telah bercokol lama.
Dan tentunya dalam konferensi tersebut, sudah bisa dipastikan melahirkan sekian perdebatan-perdebatan panjang dan keras antar peserta. Karena KAA 1955 sendiri justru diikuti juga oleh negara bangsa yang berada pada masing-masing kedua blok dunia yang ada tersebut. Hanya Mesir, Indonesia, Burma dan India yang benar-benar berangkat dari netralitas dari kedua blok dunia yang ada. Cina dan Vietnam utara jelas mengekor pada blok timur yang komunis. Sedangkan Pakistan, Thailand, Filipina, Vietnam Selatan, Iran, Irak, Turki, Jepang dan Arab Saudi mengekor pada blok barat. Polaritas perang dingin yang berkecamuk saat itu membawa beberapa negara ini untuk bersolidaritas agar terhindar dari amukan kedua blok yang berseteru. Serta mengusulkan perundingan damai untuk beberapa pihak yang terlibat baik dengan negara lainnya maupun bangsa lainnya. Termasuk Indonesia yang dalam hal ini merundingkan masalah Irian Barat. Dan KAA 1955 juga menghasilkan resolusi untuk mendukung hak bangsa Aljazair, Maroko, Tunisia di Afrika Utara, dan hak bangsa Palestina atas negaranya.
KAA 1955 yang di selenggarakan di Bandung benar-benar menjadi panggung bagi banyak tokoh dari berbagai negara bangsa yang baru merdeka. Tidak saja bagi dominasi Asia yang hadir, akan tetapi juga bagi peserta Afrika yang menjadikan KAA sebagai panggung perlawanan untuk lepas dari penjajahan dan imperialisme. Sudan, sebagai contohnya, saat KAA 1955, negeri ini belum sepenuhnya merdeka. Akan tetapi kedatangannya ke KAA 1955 tersebut mengindikasikan keinginannya yang kuat untuk segera bisa menentukan nasib bangsanya sendiri. Kedatangan Sudan ke Bandung bahkan sedikit mendramatisir sejarah. Hal itu karena tanpa perwakilan Sudan dalam KAA belum membawa bendera kebangsaan. Karena itulah, oleh panitia, dibuatkanlah sebuah bendera dengan bentangan kain yang bertuliskan nama Sudan. Ini berarti ide-ide radikal dalam semangat KAA benar-benar nyata. Dan, 5 tahun pasca KAA 1955, perubahan signifikan berhembus di wilayah Afrika. Semangat Bandung tersebut terbukti telah menginspirasi berbagai negara untuk memerdekakan negerinya. Tercatat 25 negara di wilayah Afrika memproklamirkan kemerdekaannya. Dan pasca merebaknya kemerdekaan di banyak wilayah tersebut, komposisi perwakilan di badan Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mulai berimbang.
Pecahnya KAA dan Lahirnya Non Blok
Tetapi sayang, ide besar KAA 1955 tidak berlangsung cukup lama. Lambat laun, pesona KAA semakin memudar. Apalagi kemudian hadir Gerakan Non-Blok (GNB) yang sejatinya tidak bisa dilepaskan bahkan merupakan implementasi dari hasil KAA itu sendiri. Hal ini dapat ditarik dari penyataan Nasser sendiri setelah menyelesaikan Konferensi di Bandung. Bahkan Nasser mengungkapkan bahwa “pengalaman Bandung adalah titik balik dalam pembelajaran politik saya, saya belajar dan menyadari bahwa satu-satunya kebijakan yang bijaksana untuk kita di antaranya adalah netralisme positif atau non blok “ (hal. 174). Dan semenjak itu, relasi yang dibangun oleh Nasser semakin meluas. Tetapi bagi AS, netralisme Mesir tak ubahnya impuls purba. Dan ini berbeda dengan Nehru, yang setelah KAA 1955, lebih memilih memperluas zona damai. Konselor AS di Kairo, G. Lewis Jones bahkan melihat tidak ada kesamaan antara netralisme positif Mesir dengan Netralitas Pasifis Nehru. Tetapi, apapun itu, Non-Blok kemudian mendominasi keterpukauan para tokoh Dunia Ketiga.
GNB sendiri selain dimotori oleh Nehru dan Nasser, hadir pula Josip Bros Tito dari Yugoslavia. Mereka dikenal sebagai triumvirat yang menggagas proposal GNB dan memperkenalkannya secara massif kepada banyak negara di dunia ketiga. Hanya perbedaannya dari triumvirat ini adalah Nasser dan Nehru lahir dari negara yang terjajah, sedangkan Tito adalah pemimpin negara komunis yang menolak subordinasi negaranya pada komintern ataupun counterpart militernya (hal. 177).
Dengan hadirnya Non-Blok, pergeseran KAA mau tidak mau terjadi. Afiliasi kekuatan sekarang bertumpu pada Gerakan Non-Blok. Bahkan rencana untuk menggelar KAA yang sama untuk kedua kalinya tidak pernah terjadi sampai hari ini. Yugoslavia, yang tadinya dianggap negara kecil yang tidak layak menggelar pertemuan kelas dunia, mulai menunjukkan taringnya. Dan puncaknya, Non-Blok berhasil dilaksanakan di Brioni. Nasser yang awalnya dianggap pahlawan biasa, bertranspormasi menjadi pejuang revolusioner dunia. Ditambah dengan berhasilnya pertemuan Non-Blok. Nasser kemudian dengan radikal melancarkan jeruji politiknya melawan imperialisme dengan menasionalisasi terusan Suez, yang secara tidak sadar justru memantik krisis baru. Harapan Nasser dengan menasionalisasi terusan suez agar kekuatan adidaya melihat keseriusannya, mamantik kemarahan Inggris yang bersekutu dengan Israel dan akhirnya berujung pada aksi militer ke Mesir. Beberapa peristiwa lainnya juga terjadi. Terutama invasi Soviet di Hungaria. Hal ini mendasari semakin meretaknya hubungan Tito dengan Soviet. Bahkan Soviet tak segan-segan menuduh bahwa Tito melindungi reformis Hungaria. Tito dianggap memotori gerakan pemberontakan Hungaria dan menebarkan perlawanan terhadap stalinisme dan komunisme secara umum.
Tetapi lagi-lagi, nasib GNB hampir setali tiga uang dengan KAA. Mempesona sebentar lalu kemudian punah. Hal ini karena timbul banyak konflik kepentingan antar sesama negara peserta. Terutama saat Cina mulai menginvasi perbatasan India yang semakin memperuncing persaingan antara Moskow dan Beijing. Dan akhirnya gelaran KAA untuk kedua kalinya mandeg karena Nehru sendiri sudah tidak bersimpati lagi dengan gerakan tersebut. Dan ia lebih memilih bergabung dengan GNB yang berkiblat pada Soviet.
Dan Indonesia yang saat itu berkiblat ke Cina harus berada dalam pusaran konflik, termasuk perseteruan dengan India yang berada pada poros Soviet. Ini yang membuat rencana KAA kedua semakin menjauh dan tidak ada respon lagi sama sekali. Dengan pecahnya dua poros pendukungan, membuat dua kubu berseteru sama-sama menginginkan terjadinya KAA atau Non-Blok kedua dengan caranya dan kepentingannya masing-masing.
Dan pada akhirnya semuanya gagal terlaksana karena perubahan politik yang begitu cepat pasca badai anti komunis yang cepat menyebar hampir ke seluruh Asia dan Afrika. Banyak kudeta bahkan pembunuhan terjadi. Termasuk di Indonesia.
Akhir dan Warisan KAA dan Non-Blok
Sebenarnya merosotnya semangat Bandung sudah nampak sekitar tahun 1960 an. Perdana menteri Burma, U Nu dikudeta dan dilengserkan oleh Jenderal Ne Win tahun 1962. Moh Ali meninggal pada tahun 1963. Nehru meninggal pada tahun 1964 karena serangan jantung. Soekarno, Bella, Nkrumah di kudeta militer pada tahun 1965-1966. Di Afrika sendiri tak kurang sama. Patrice Lumumba dari Kongo dikudeta dan dibunuh tahun 1961. Sylvano Olympio dari Togo dikudeta dan dibunuh pada 1963. Abubakar Balewa dari Nigeria dikudeta dan dibunuh tahun 1966. Modeibo Keita dari Mali dikudeta dan dipenjara tahun 1968. Dan Nasser meninggal karena serangan jantung pada tahun 1970 (hal. 203-204).
Dengan hilangnya satu persatu tokoh-tokoh KAA 1965 dan munculnya peranan militer tanpa ideologi dalam percaturan politik lokal maupun internasional tersebut membuat era Bandung berakhir. Tetapi semangat yang pernah dibangunnya tetap tumbuh dan mengedukasi masyarakat dunia tentang mobilisasi kolektif di PBB serta menuntun politik negara-negara yang ada kemudian hari untuk tetap menjaga prinsip utama KAA 1955, yaitu dekolonisasi dan pembangunan ekonomi, meskipun secara lebih kecil. Contohnya timbulnya ASEAN, yaitu persatuan diantara negara-negara di Asia Tenggara. Begitupun dengan wilayah lainnya termasuk Afrika.
Era Bandung telah berakhir, tetapi semangatnya terus menyala. Inilah warisan intelektual yang seharusnya menjadikan kita lebih progresif. Kalau dahulu Dunia Ketiga bisa di mobilisasi dalam satu Konferensi besar untuk membangun kesadaran terhadap penjajahan yang dilakukan imperialisme, sekarang saatnya narasi sejarah itu dibuka kembali dan dipelajari kembali untuk memupuk kembali solidaritas yang pernah berjaya dahulu. Bahkan bukan tidak mungkin dengan semangat intelektual pembebasan yang pernah ada tersebut, kita bisa merajutnya kembali meneruskan rencana yang tertunda. Entah kapan KAA kedua bisa dilanjutkan, tetapi semangatnya selalu jelas dan harus kita ingat; Antiimperialisme. Inilah warisan sejarah yang harus selalu kita jaga. Warisan intelektual yang seharusnya mengajarkan kita bahwa pernah ada semangat kebangsaan yang tumbuh di Dunia Ketiga. Indonesia, salah satunya.