Cerita Dari Nusakambangan

 

Melki AS [Pegiat Social Movement Insitute)

***

Nusakambangan. Tempat ini sejatinya adalah nama salah satu pulau terluar Indonesia yang berada di Jawa Tengah. Tepatnya di kabupaten Cilacap.

Nusakambangan dikenal karena reputasinya sebagai penjara yang sudah dioperasikan dari zaman penjajahan sampai sekarang. Dan di Nusakambangan inilah beberapa narapidana kelas berat ditahan bahkan dieksekusi mati. Terakhir Fredy Budiman, seorang gembong narkoba besar di Indonesia yang dieksekusi di hadapan moncong senapan regu tembak di tempat ini.

Cerita mengenai penjara pulau Nusakambangan jarang hadir di hadapan publik. Terutama proses sebelum terjadinya eksekusi para terpidana mati; bagaimana keadaan psikisnya menjelang eksekusi, kebiasaan yang dilakukan sebelum dieksekusi, dan berbagai wasiat yang ditulis sebelum nyawa mereka berhenti di tangan ‘juru dor’.

Sebuah buku yang ditulis oleh Edi Warsono setidaknya akan memberi kita pemahaman tentang itu semua. Terdapat beberapa catatan yang ditulisnya selama mendampingi para terpidana mati sampai mengantarkan jenazahnya kembali ke daerahnya masing-masing atau dikembalikan ke keluarga tercinta.

Tentunya ini bukan suatu hal yang sepele dan santai. Buku yang diberi judul ‘Kusentuh Nuranimu Dengan Profesiku’ memberikan kita pemahaman baru tentang Pulau Penjara Nusakambangan.

Di pengantar tulisan, Edi Warsono sudah membicarakan premisnya tentang Penjara Nusakambangan. Menurutnya, mengapa penjara sering dikatakan gagal membina tahanan, itu karena kurangnya publikasi dan penjelasan tentang penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (lapas) itu sendiri.

Dan melalui buku inilah penulis ingin mengatakan bahwa kehidupan di penjara itu tidak bisa digeneralisir seperti yang sering disangkakan. Meskipun penulis paham bahwa banyak alasan yang membuat stigma penjara menjadi buruk; seperti palayanan yang tidak baik, petugasnya yang ‘main mata’ dengan tahanan, dan lain sebagainya.

Tapi, lagi-lagi, menurutnya sebagai petugas penjara, pekerjaan itu seharusnya menjadi pekerjaan yang mulia. Jadi seharusnya pekerjaan tersebut dikerjakan dengan hati ikhlas. Meskipun penghasilannya tidak seberapa. Meskipun resikonya besar. Hal tersebut disampaikan penulis mulai dari pengantar sampai beberapa bab berikutnya yang lebih banyak menjelaskan Nusakambangan secara hukum maupun non-hukum.

Setelah menjelaskan Nusakambangan secara umum, inti yang ingin disampaikan penulis adalah tentang proses terpidana yang akan dieksekusi mati. Ini cerita yang benar-benar luput dari publik. Hampir kita tidak tahu bagaimana para petugas penjara menghadapi orang yang akan dihukum mati tersebut. Termasuk bagaimana kondisi para terpidana matinya.

Kecakapan penulis membuat cerita tentang tahanan yang akan dihukum mati memang tidak sebaik penulis novel. Tetapi dari beberapa kisah yang ditulisnya terbilang mudah dipahami, menarik, mampu membuat kita terenyuh.

Sebut saja salah satu kisah JR, terpidana mati dari Palembang. Sebelum dieksekusi mati, JR telah mewasiatkan kepada penulis tentang pengurusan mayatnya sampai pemulangan jenazahnya.

“Bapak, kalau besok saya dieksekusi mati, saya ingin istri dan anak saya melihat jenazah saya untuk yang terakhir kalinya. Sudah sekian tahun mereka saya tinggalkan, tidak melihat wajah saya. Mohon bapak bisa bantu saya (hal. 45-55).“

Sebelum dieksekusi regu tembak, JR memang akrab dengan penulis yang juga mengasuh pesantren At-Taubah Lapas Batu. Jauh sebelum vonis mati yang diterima terpidana, penulis mencoba mengajak para terpidana mati tersebut untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Penulis ingin mengatakan bahwa hukuman mati harus diterima sebagai konsekuensi hukum.

“Saya senang melihatnya sekaligus sedih ketika disuruh untuk menjemput JR dari dalam selnya. Saya lihat ia tertidur pulas. Saya panggil dua kali. Dia tidak bergeming dan tidurnya sangat pulas. Dalam hati saya senang karena beliau sudah melupakan bahwa akan dihukum mati. Setelah panggilan ketiga ia baru bangun dan kemudian dengan tenang mengenakan pakaian yang harus dipakainya sebelum dieksekusi. Saya menemaninya sampai pengeksekusian terjadi (hal. 53).“

Ada juga kisah seorang terpidana mati asal Nigeria yang memanggilnya ‘Papih’. Menurut penulis, ini karena kedekatan yang dibangun antara beliau sebagai petugas lapas dengan tahanan sebagai santri At-Taubah. Cerita kisah ini tak kalah sedih dan menyayat hati kita.

Sebagaimana sebelum dieksekusi, MA alias HB, terpidana mati medio 2015, sempat mengucapkan kata-kata terakhirnya. Seperti yang dituturkan penulis dalam catatannya, “Saya memapahnya untuk duduk dekat dengan istrinya. Terlihat ia saling berpandangan dan kemudian menangis. Dia bercerita kepada istrinya kalau semalam ia bermimpi menjadi mayat dan dibungkus kain kafan putih. ‘Baunya wangi, Papih.'”

Penulis menjawab, “Semoga mimpimu menjadi perlambang yang baik, putih artinya suci, kamu harus pegang tauhid, pegang Islam biar khusnul khotimah.”

Kemudian MA alias HB berucap, “Papih, jangan lupa rawat jenazah saya secara muslim dengan baik, antar jenazah saya ke istri saya di Jakarta.“

Kemudian dengan istrinya ia berpesan, “Istriku, nanti kalau saya mati, kamu jangan pindah agama ya. Kalau kamu pindah agama, nanti di akhirat kelak kita tidak bisa bertemu dan bersama (hal. 56-62).” Istrinya hanya bisa menunduk dengan mata yang berkaca-kaca

Masih banyak lagi kisah yang dituliskan penulis dalam buku ini. Masih beberapa terpidana yang didampinginya; dari eksekusi sampai mengantarkan jenazahnya seperti permintaan dan wasiat yang diberikan kepadanya.

Ada juga kisah terpidana mati RAB, seorang perampok, pembunuh, dan pemerkosa yang juga sempat membunuh salah satu tahanan korupsi di dalam lapas. RAB yang sadis kemudian beralih menjadi santri yang aktif sebelum dieksekusi. “Pak Edi, tolong sampaikan Al Quran ini pada istri saya untuk kenang-kenangan anak saya. Bapak sendiri yang harus memberikannya ya (hal. 63-69).”

Itulah beberapa penggal kisah yang dituturkan penulis. Ada lagi kisah lainnya baik terpidana mati maupun tidak. Dan penulis yang pernah dikirim untuk belajar di Inggris ini sangat memahami bahwa kita tidak bisa melihat bahwa mereka yang pernah ditahan atau yang sudah dieksekusi dianggap selalu buruk.

Ada banyak perubahan yang terjadi. Penulis ingin menyampaikan bahwa terkadang bukanlah mereka tidak berubah setelah keluar dari penjara. Tetapi kadang yang membuat mereka kembali berbuat jahat adalah karena stigma yang diterima saat bebas. Seolah pandangan negatif itu melekat terus. Dan itu terus menghantui mereka. Seharusnya mereka bisa diterima setelah bebas dari masa hukuman. Jangan menutup diri dan lain sebagainya. Terima dengan tangan terbuka sekaligus menajamkan pertobatannya.

Di akhir cerita, karena lata belakang sebagai pegawai petugas penjara, penulis ingin menuturkan bahwa semua kerja yang dilakoni seharusnya dijalankan dengan ikhlas. Karena tugas itu sendiri menurutnya adalah ibadah. Tidak ada yang perlu dikeluhkan dan tidak mudah tergoda dengan iming-iming apa pun.

“Membangun tembok nurani menjadi penting sebagai benteng keteguhan hati. Itu yang akan menghantarkan kita pada kerja yang bermoral (hal. 82-88).” Seperti yang dilakukan penulis yang sudah tiga generasi menjadi pegawai lapas; bapak-ayah-anak, yang kini juga menjadi pegawai lapas di Nusakambangan.

Buku ini sangat menarik dibaca secara umum, mahasiswa, maupun para pegawai, terutama pegawai lapas. Karena di sini, penulis ingin berbagi cara menangani berbagai tahanan dengan pendekatan yang bersahaja, manusiawi, dan mau mengerti keadaan para tahanan.

Penulis selalu yakin bahwa tahanan itu bukan orang yang terhukum tetapi orang yang perlu pembinaan. Jadi perlu kiranya pendekatan tersebut dilakukan dengan cara mengakrabkan diri pada mereka yang ditahan, dengar ceritanya dari hati ke hati, coba untuk mengerti seluk beluk maupun perasaan mereka, dan selalu tanamkan keyakinan bahwa setiap manusia pasti punya sisi yang baik.

Itu hal luar biasa yang penulis ingin sampaikan. Dan hal itu layak ditiru dalam banyak hal, tidak saja bagi pegawai lapas. Dengan cara penulisan yang apa adanya, buku ini tentu sangat menarik dibaca karena orisinalitasnya yang tidak melebih-lebihkan kisah atau beragam isi lainnya.

Terimakasih.

***

 

  Artikel ini pernah tayang dan muat di Tribun Jogja dengan Judul Kusentuh Nuranimu dengan Profesiku, Sekelumit Cerita dari Penjara Nusakambangan

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0