Siapa saja banyak bicaranya pasti banyak pula kesalahanya. Siapa saja banyak menggunakan pikiranya, kebenaranya akan tampak nyata baginya (Imam Ali r.a )
Segala yang padat hilang larut dalam udara, segala yang suci dinodai, dan pada akhirnya manusia terpaksa menghadapi dengan hati yang tenang syarat-syarat hidupnya yang sebenarnya, dan hubungan-hubungan dengan sesamanya (Karl Marx, The Communist Manifesto)
Biarlah senjata menyerah pada toga, biarkan mahkota pasrah pada puja (Marcus Tullius Cicero)
***
Assalamu’alaikum
Rasanya aku harus ucapkan selamat atasmu. Jadi mahasiswa lalu tak lama lagi jadi sarjana. Meyandang gelar itu dengan penuh kehormatan. Beruntung pula jika kamu peroleh bea siswa. Mampu ke luar negeri dengan pengalaman kuliah yang amat berbeda. Disana kamu bisa menjalankan agama dengan bergairah. Kusaksikan di berita warga muslim banyak menyelimuti Eropa. Sebagian besar para pengungsi tapi lainya sudah turun temurun berkeluarga. Persinggungan mereka dengan agama lain bawa akibat ganda. Bisa keyakinanya makin terbuka tapi bisa juga membawa bencana. Cemas, takut dan kuatir tercemar. Tapi itulah implikasi perjumpaan dengan yang beda. Kita bisa makin tarik diri atau kita malah mengakrabkan diri. Hanya kamu pasti tahu dunia tak bisa dihakimi begitu saja. Dunia walau sementara bukan tempat yang selalu mudah untuk diabaikan. Termasuk olehmu hari ini.
Lihat saja tekhnologi telah merakit semua. Ia bukan hanya membuat kita tersambung tapi berusaha untuk menaklukkan. Para ilmuwan mulai mengejar ambisinya: membawa tekhnologi untuk merancang keunggulan. Ia bukan hanya mengganti tenaga tapi maunya menciptakan tenaga baru. Dorongan menyatukan manusia dengan tekhnologi makin menggila. Don Brown dalam novel terakhirnya mengajukan petisi sinting: pilih mana, manusia hidup tanpa Tuhan atau tanpa Tekhnologi. Pertanyaan kaum atheis sejak dulu yang hanya bisa didengungkan. Kini soal itu mulai diungguh lagi dengan banyak bukti baru. Tercipta kemampuan untuk memantau gerakan manusia. Jalanan London misalnya,dipadati oleh kamera pengawas dimana-mana. Kamera itu maunya memantau semua gerak gerik manusia sehingga kejahatan apa saja bisa terdeteksi. Ia tak butuh kewaspadaan tapi tekhnologi. Mereka juga berusaha untuk memantau kebiasaan, memastikan hoby dan meramalkan produk apa yang dikonsumsi. Tekhnologi mau memastikan dan menebak perangai manusia.
Sebaliknya agama tetap dengan mandat seperti dulu. Mengentaskan manusia dari kebodohan serta memastikan manusia menjadi baik. Dipandu dengan kegiatan ibadah, dituntun melalui amal serta dimotivasi dengan pahala. Terbukti itu semua bawa efek yang mengejutkan: kita menyaksikan orang memadati masjid, pengajian hingga berlomba menjadi penghapal isi Qur’an. Meski dunia melaju dengan banyak temuan tekhnologi tapi agama bukan sepi pemeluk. Terutama disini dimana agama telah jadi identitas utama. Setidaknya KTP memuatnya. Bukan agama halangi kemajuan tapi diharapkan agama jadi pintu kecintaan pada pengetahuan. Paling tidak sejarah membuktikan dengan kaya: matematika, geografi, sejarah hingga pengetahuan semesta didorong oleh banyak ulama. Nama mereka hingga kini jadi catatan abadi dunia: Ibn Sina, Ibn Khaldun, Ibn Rusyd dll. Periode emas ini tak bisa dilanjutkan dan kita seperti tersesat pada sebuah abad dimana kita jadi tersangka segalanya. Pada soal kemiskinan, ketidak-adilan hingga kekerasan tuduhanya selalu ditorehkan pada umat Islam.
Kita bisa membela diri dengan mengatakan itu semua bukan karya Islam. Seringnya kita berdalih bahwa memang orang Islam tak harus menang di kehidupan dunia. Bahkan dengan keras kita kadang mengutuk kemajuan itu semua. Secara sinis kita kuliti kemajuan ekonomi yang bawa kesengsaraan, perendahan nilai kemanusiaan hingga bencana apa saja. Seolah kemajuan pengetahuan yang bawa dampak luar biasa itu tak ada artinya sama sekali. Jadilah kita ummat yang paling suka menghina, mencerca bahkan menyiarkan berita sesat mengenai kemajuan. Tiap dalil ilmiah yang dirumuskan dalam buku pengetahuan dihabisi hanya oleh ceramah keagamaan. Terjadilah kemudian apa yang sesungguhnya tidak dikehendaki: emosi kita mudah tersulut untuk soal apa saja dan kita mudah bertikai dengan siapa saja. Tiba-tiba keyakinan agama bermusuhan dengan temuan Ilmu Pengetahuan. Serupa dengan kawanan yang tiba-tiba tak punya peran tapi diberi kesempatan untuk menonton kemajuan.
Padahal perintah pertama-tama Qur’an adalah membaca. Kegiatan yang jadi intisari pengetahuan. Melalui kegiatan membaca kita disentuh oleh informasi, wacana hingga pandangan yang berbeda. Hanya dengan membaca kita bisa produktif menggunakan akal, terdorong untuk mengatasi banyak persoalan dan meyakini bahwa tiap masalah ada jalan keluar. Bahkan membaca itulah yang bisa membuat kita melahirkan temuan, memandu kita melihat keragaman dan membentuk keyakinan kita pada kebenaran. Resikonya orang membaca itu tak mudah untuk percaya dengan informasi yang apa adanya. Konsekuensinya orang membaca itu tak pula mudah untuk diyakinkan dengan cerita yang tak jelas asal-usulnya. Pada dasarnya orang yang suka membaca tak gampang ditipu apalagi dimanipulasi secara membabi buta. Membaca membuat orang bisa menjaga jarak, melatih berfikir obyektif dan banyak melahirkan hal-hal produktif.
Kini itu semua luntur dan tak banyak dipedulikan. Kita makin sering diajari untuk menghapal. Kita hidup pada masa dibunuhnya kegiatan bertanya, sangsi apalagi argumentasi. Implikasi yang ada kemudian kita gampang sekali percaya pada kebenaran yang tanpa diuji dan keyakinan yang tak pernah diverifikasi. Akibatnya kita memuja diri sendiri dan merasa aman jika berada pada lingkungan yang sama. Bukan hanya kita ingin mengucilkan diri tapi lama kelamaan kita mau dunia mengikuti apa yang kita yakini. Musuh utama kegiatan membaca adalah mengekor saja apa pendapat orang. Terlebih-lebih kalau orang itu memiliki otoritas: baik itu politik, agama atau status sosial. Jika membaca adalah kegiatan individual dan tenang. Maka lawan membaca adalah gerombolan yang riuh, seragam dan massal. Dalam suasana seperti itulah kita tak hanya meninggalkan pengetahuan tapi kita juga menjadi pemuja orang. Lautan hidup yang kaya jadi terbatas karena keyakinan sempit yang kita miliki.
Kamu mustinya jangan larut dalam suasana jahiliah ini. Turut menabur kebodohan dengan mengumbar fitnah dan rasa benci. Ikut dalam rombongan yang tinggi hati dan selalu merasa benar sendiri. Maunya selalu curiga pada apa saja dan bersikap pesimis terhadap kemajuan apapun. Seolah dunia ini sebuah kutukan dan lebih percaya kalau akherat nanti akan menyelamatkan diri dan rombonganmu sendiri. Lebih kacau lagi jika ilmu agama dipahami hanya memusat pada isi kitab suci dan pengamalanya pada apa yang dikatakan berabad-abad yang lalu. Bukan hanya itu cermin dari tiadanya budaya baca tapi juga petunjuk betapa malasnya kamu berfikir. Kondisi ini jika dibiarkan begitu rupa maka yang muncul bukan hanya kejumudan tapi agama yang kehilangan akal. Saat mana amalan agama bukan membuat sekitarnya tentram tapi terancam. Hilanglah potensi agama sebagai rakhmat karena sibuk sekali meluncurkan azab.
Segera menjauhlah dari kondisi semacam ini. Sama seperti Nabi yang menjauh dari Mekkah untuk berdiam diri di gua Hira’. Persis seperti dilakukan oleh anak-anak muda dalam kisah indah Ashabul Kahfi. Tenangkan dirimu karena agama tak mungkin diamalkan dengan buru-buru. Damaikan hatimu karena agama itu tak mungkin unsurnya hanya emosi. Sadarkan akalmu karena tak mungkin agama ini sepenuhnya berlawanan dengan pengetahuan. Mulailah untuk bertanya kemudian menyangsikan dan latihlah untuk merumuskan jawaban. Persis seperti nabi Ibrahim yang mencari cari siapa Allah yang sebenarnya. Luncurkan pertanyaan untuk memastikan kalau kamu tak salah melangkah dan tak terjerembab dalam tindakan gegabah. Tiap pertanyaan merupakan benih tumbuhnya pengetahuan. Tiap jawaban adalah tangkai munculnya kemajuan.
Menjauh itu artinya mengambil jarak dan melatih pandangan agar lebih objektif. Menjauh membuatmu lebih luas memandang masalah dan lebih lihai dalam menimbang persoalan. Menjauh akan membantumu memeriksa keyakinan, pandangan dan penilaian. Menjauh akan membuat tak gampang menghakimi apalagi mengadili. Menjauh adalah sikap para ulama dan ilmuwan sejak dulu: memeriksa dengan rinci, menanyakan segala sesuatu dan memutuskan dengan lebih hati-hati. Menjauh itu melatihmu untuk sabar bukan sombong. Menjauh itu akan membuatmu lebih terbuka, lebih dewasa dan lebih mudah menerima. Menjauh itu bahkan akan lebih memupuk keyakinanmu. Kamu dilatih untuk sabar, puasa dan menghindar. Inilah disiplin yang harus dipunyai anak muda muslim hari ini: menjauh dari gurita kesesatan berita untuk berada dalam ruang yang sepenuhnya terbuka pada kebenaran yang dihayati oleh diri sendiri. Rasulullah melakukanya dan banyak ulama mengerjakanya serta banyak ilmuwan kelak melalui tangga itu semua.
Maka menjauhlah jika itu memang bisa mempertajam rasa dan menguatkan akal. ‘Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna (QS al Mu’minun ayat 3)
Wassalam
Eko Prasetyo
[Disampaikan sebagai bahan diskusi Leadership Talk Millenial Muslim in the Digital Disruption, Auditorium Notonegoro Filsafat UGM, diselenggarakan oleh Rumah Kepemimpinan. 24 Februari 2018]