***
Abad ke-21 ini, masyarakat luas mulai kesulitan dalam usahanya mencari nafkah untuk keluarga mereka meskipun beberapa hanya untuk diri mereka sendiri. Segala usaha pun dilakukan bagi mereka yang sudah mulai kehabisan akal, karena hanya menemui jalan buntu dan akhirnya solusi yang tercetus hanyalah bank. Di titik tersebut bank ibarat seperti cahaya di dalam gua yang gelap gulita; suatu titik yang harus dihampiri dan diikuti, pun hutang-piutang sudah menjadi “madzhab” bagi mereka.
Namun di sisi lain, beberapa pejabat tinggi dan civitas akademika beserta para komunitasnya mulai memainkan aksinya. Bertahap-tahap lapisan hukum dan UU pun tercipta demi terwujudnya misi mereka, semua berjalan mulus nan lancar. Ya, tentu saja semuanya mudah karena mereka memiliki hak dan wewenang. Siapa pula yang mampu menjegalnya? Siapa pula yang tidak luluh dengan bongkahan uang, Bung? Masyarakat madani yang mereka dengungkan hanya beterbangan di udara, yang kemudian terkikis oleh kotornya kandungan udara di lingkungan kita.
Dan di kemudian hari kita mulai mengenal biaya uang kuliah tunggal, biaya remidial, biaya gedung, dsb. “Itu semua akan kembali ke mahasiswa”, “Biaya itu demi terpenuhinya fasilitas pembelajaran”. Seperti itulah lagu kebangsaan mereka, yang burung dara saja belum tentu sudi untuk sekedar mendengarnya. Semua sudah tersusun rapi berikut balutan Surat Keputusan, yang pastinya kebal terhadap demonstrasi mahasiswa yang bahkan jika mereka datang bergelombang-gelombang. Karena gelombang mahasiswa hanya dianggap seperti bongkahan spon raksasa, besar tapi tidak berbobot. Cukup datangkan aparat beserta mainannya, maka mahasiswa akan bubar dengan sendirinya. Mudah bukan?
Ketidak-biasaan keputusan ini mulai dipublikasi ke khalayak, disusun berapi-rapi dan cantik. Tetapi layaknya hukum “sebab-akibat”, pertentangan segera muncul di berbagai sektor pemakai layanan tersebut dan pecah. Namun apalah daya sebuah konflik, ia selalu jinak terhadap kalangan aparat yang pada kenyataannya adalah golongan mereka juga. Maka sempurnalah keputusan-keputusan mereka yang kemudian menjadi sebuah sistem dan diaplikasikan, dan terkutuklah bagi siapa saja yang tidak menyadarinya.
Bisnis di bidang pendidikan memang selalu seperti gula di tengah koloni semut, tinggal menunggu waktu hingga bandit-bandit kalangan atas menghampiri dan mengklaim sebagai pemiliknya. Korup dijadikan kenikmatan abadi oleh mereka, seperti halnya Socrates yang mengatakan bahwa mati adalah kenikmatan yang abadi.
Demikianlah sedikit serial dari drama perguruan tinggi yang ada di negeri tercinta kita, akankah kita memaklumkan semua yang terjadi atau bangkit untuk melawan tergantung pada paradigma masing-masing. Karena setelah sebuah ruh ditiupkan ke sebuah badan yang meskipun hanya dikendalikan DNA, di situlah sebuah makhluk mempunyai free will dan free choice. Dan akankah kita tahan untuk terus diludahi si pembuat kebijakan juga tergantung pada hemat masing-masing. Orang-orang mengatakan hiduplah seperti air yang mengalir, tapi mereka lupa kalau air selalu mengalir ke bawah dan tunduk terhadap semua bentuk yang mewadahinya. Pedulilah atau menjadi yang tak terpedulikan.