“An act of God was defined as something which no reasonable man could have expected.” (Auberon Herbert)
***
Telepon itu berdering di tengah perjalananku ke Manggarai. Di ujung sana, suara mas Eko Prasetyo mengabarkan sebaris kalimat pilu, “Bung, Ibnu Mas’ud akhirnya ditutup…” Ada getar kesedihan pada kalimat pendiri Social Movement Institute itu. Sebulan belakangan ini Mas Eko dan anak-anak SMI berjibaku menahan desakan agar pesantren di gunung Salak itu ditutup. Perjuangan yang berujung anti klimaks tiga hari yang lalu.
Persentuhan SMI dengan Ibnu Mas’ud berawal dari rekomendasi seorang napi terorisme kepada pengasuh Ponpes yang sering mendapatkan “kunjungan cinta” dari aparat keamanan. Para pengasuh yang buta hukum itu menjadi bulan-bulanan aparat dalam perang melawan terror. SMI kemudian didaulat memberikan penyuluhan hukum singkat untuk membekali pengasuh pondok dalam menghadapi kunjungan cinta berikutnya. Dari perkenalan singkat itulah akhirnya hubungan berlanjut. Anak-anak SMI yang dianggap enggak jelas ibadahnya, dituduh liberal, bahkan komunis pun menjadi bagian dari keluarga besar Ibnu Mas’ud. SMI makan dari periuk nasi yang sama, tidur di tikar yang sama, dan sholat dengan imam yang sama.
Petaka itu melanda berbarengan dengan peringatan 17 Agustusan. Sebuah umbul-umbul merah putih dibakar. Tindakan yang cukup dijadikan alasan aparat untuk membubarkan lembaga pendidikan Islam tersebut. Kabar cepat tersiar, berbagai tuduhan datang menyambang. Pesantren dianggap sebagai sarang jihadis radikal yang gemar dengan aksi kekerasan. Menurut mereka, hanya ada satu kata untuk Ibnu Mas’ud: BUBARKAN!
SMI tersengat solidaritasnya. Bagi kami, Ibnu Mas’ud bukanlah pesantren biasa. Pondok ini adalah sanctuary bagi ratusan anak belia dibawah 12 tahun dari seluruh Indonesia. Mereka adalah anak-anak napi terorisme yang orang tuanya divonis mati atau hukuman seumur hidup. Hidup mereka remuk oleh keadaan. Menjalani hari tanpa orang tua, mengalami stigmatisasi di tempat asalnya, dikucilkan layaknya penyakit menular, dibatasi ruang hidupnya, tidak punya akses kepada sumber kehidupan, dan diperlakukan sebagai “sang liyan”. Di saat semua pintu tertutup, Ibnu Mas’ud menyambut mereka dengan kehangatan sebuah keluarga. Mereka ditampung, disekolahkan, diberi makan, dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Tanggal 17 Agustus menjadi hari tak terlupakan ketika Pondok dihardik perintah penutupan. Ratusan anak-anak berkumpul di masjid, bermunajat dalam tangis dan khawatir akan nasib rumah tercinta. Hati kami remuk melihat wajah-wajah polos itu dibekap ketakutan akan masa depan yang kembali suram. Jika pondok ini bubar, kemana mereka harus kembali? Demi mencegah itu terjadi, SMI bergerilya menghimpun kekuatan. Menyelamatkan pondok dari pembubaran adalah perintah Allah. Kami meminta bantuan kepada puluhan kawan. Dari ormas keagamaan, tokoh masyarakat, hingga NGO. Jawaban mereka sungguh mengejutkan, menyalak dalam sebuah kalimat singkat: “maaf, kami tidak bisa membantu!” Ormas-ormas keagamaan yang selama ini paling lantang teriak bela Islam tidak punya cukup nyali mengirimkan bantuan. Pada akhirnya, TIDAK ADA satupun ormas Islam yang membantu menyelamatkan pondok ini. Ibnu Mas’ud seolah Paria yang haram didekati bahkan oleh saudara muslim sendiri!
Gemas dan kecewa atas penolakan ini, duka terobati dengan datangnya bantuan dari si kawan lama: YLBHI! Tidak banyak yang datang ke Ibnu mas’ud saat itu. Hanya ada SMI, YLBHI, Amnesty Internasional dan Dompet Dhuafa. Berempat kami berjibaku meyakinkan aparat bahwa penutupan pondok bukanlah tindakan yang bijak. Ketika pada akhirnya Ibnu Mas’ud ditutup, SMI mendapatkan pelajaran penting tentang siapa kawan setia yang bisa diajak berjuang dalam duka dan mengarungi bahaya. YLBHI adalah salah satunya!
Maka ketika mendengar kabar YLBHI (LBH Jakarta) diserbu segerombolan orang yang menuduhnya hendak menghidupkan PKI, tentu aku tidak bisa berdiam diri. Aku masih ingat betapa gigihnya YLBHI berjuang demi Ibnu Mas’ud. YLBHI datang mengulurkan tangan, mendukung dan membantu kami di saat tiada satupun ormas Islam yang percaya kepada kami. Kesediaan YLBHI pasang badan untuk Ibnu Mas’ud sudah cukup sebagai bukti bahwa lembaga ini memiliki kebaikan malaikat yang tidak kami temukan di tempat lain. YLBHI adalah pembela Islam yang sebenarnya, bertindak atas dasar kemanusiaan tanpa ba-bi-bu dengan ajaran tuhan. Bukan cuma omong dan klaim doang tapi ketika ditagih untuk membuktikan memilih ngumpet di kolong jembatan! Saat UU Ormas diluncurkan dan berpotensi mengancam umat Islam, YLBHI melawan dengan sangat sengit di baris terdepan. YLBHI melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan mereka yang sok teriak kemanusiaan atau menganjurkan hidup dalam bimbingan Allah tetapi memilih diam ketika mendapati umatnya teraniaya. YLBHI menjadi pejuang islam tanpa harus mendaku diri sebagai pembela Islam. Tindak keilahian itu yang mendorongku untuk gantian pasang badan untuk YLBHI, sebagaimana yang telah mereka lakukan untuk Ibnu Mas’ud. YLBHI adalah gambaran indah tempat berlindung kaum mustadh’afin yang digilas kekejaman jaman. Mereka yang tak mungkin mendapatkan bantuan di tempat lain akan dibela dan dilindungi di YLBHI. Di terasnya akan selalu ramai oleh tukang ojek, buruh, korban gusuran dan rakyat kecil yang berjuang menuntut keadilan. Jika tempat mulia seperti ini akan dihancurkan karena tuduhan ngawur menjadi sarang PKI, tiada tindakan lain yang harus dilakukan selain MELAWAN!
Membela YLBHI tentunya harus siap memanen resiko tersendiri: ikut dituduh sebagai antek PKI. Aku banjir complain dan tuduhan aneka warna. Setelah menjelaskan sebisa mungkin, pada akhirnya aku sadar bahwa mereka yang menggugatku itu adalah “aku 20 tahun yang lalu”. Saat pandangan dan pemikiranku tentang peristiwa 65 tidak seperti hari ini. Aku harus ikhlas ketika perjuanganku untuk membela YLBHI disalahartikan sebagai usaha untuk menghidupkan PKI. Aku memakluminya. Semua ini berhubungan dengan pengetahuan. Jika membedakan Mikhail Bakunin dan Karl Marx saja mereka tidak bisa, bagaimana mungkin mereka bisa membedakan antara tindak kemanusiaan berdasar ajaran Allah dan upaya menghidupkan PKI?