Yang Tidak Ada Dalam Kritik Gerakan Progresif Terhadap UU Cipta Kerja

Oleh Alnick Nathan (Pegiat kelompok studi MAP Corner-Klub MKP)

UU Cipta Kerja telah resmi disahkan oleh parlemen Selasa (5/10) lalu. Selain karena melalui proses legislasi yang tergesa-gesa dan tidak transparan (misalnya, terdapat indikasi bahwa terjadi perubahan substansi pasal-pasal UU Cipta Kerja setelah disahkan), UU Cipta Kerja yang kontroversial ini memicu protes dan perlawanan besar dari masyarakat karena memperlemah perlindungan hukum bagi pekerja, lingkungan, petani, masyarakat adat, dan eleman masyarakat lain. Lebih dari itu, UU Cipta Kerja merupakan bentuk dari model pembangunan ekonomi dominan yang bertujuan untuk liberalisasi ekonomi dan cenderung berpihak kepada pemodal besar, terutama di beberapa sektor seperti pertambangan, perkebunan, dan media.

Dalam pidato yang disampaikan sehari setelah UU Cipta Kerja disahkan, presiden Joko Widodo menilai bahwa undang-undang ini penting untuk memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu diakui, menamakan undang-undang ini ‘cipta kerja’ adalah strategi politik jenius. Strategi diskursif ini menyerang langsung pada salah satu titik kelemahan dari kelompok progresif di Indonesia: yakni minimnya agenda pembangunan ekonomi yang menempatkan penciptaan lapangan pekerjaan formal sebagai salah satu tujuan utama.

Absennya penciptaan lapangan pekerjaan formal sebagai agenda populer gerakan progresif cukup membingungkan mengingat bahwa salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh kelas pekerja di Indonesia adalah minimnya lapangan pekerjaan formal dan layak. Hal ini membuat perlawanan terhadap UU Cipta Kerja memiliki persoalan tersendiri.

Pasca UU Cipta Kerja disahkan, telah dilakukan beberapa upaya untuk menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Harapannya, gugatan tersebut dapat dikabulkan dan UU Cipta Kerja dapat dibatalkan. Namun, bila perlawanan ini berhasil dan UU Cipta Kerja dibatalkan di Mahkamah Konstitusi, Indonesia hanya akan kembali ke situasi status quo. Masalahnya, status quo di Indonesia juga cukup tidak berpihak bagi kelas pekerja.

Setidaknya sejak tahun 1980an, model pembangunan ekonomi yang berlaku di Indonesia cenderung tidak menempatkan penciptaan lapangan pekerjaan formal dan layak dengan jumlah memadai sebagai pusatnya. Model yang berlaku lebih berfokus pada pemenuhan permintaan pasar dunia akan komoditas primer dan produk industri dengan nilai-tambah relatif kecil sehingga menciptakan struktur ekonomi yang inkoheren. Ditambah dengan de-industrialisasi prematur yang dialami oleh Indonesia akibat dari krisis keuangan di tahun 1997, jumlah lapangan pekerjaan formal dan layak yang diciptakan pun tidak cukup memadai untuk menyerap surplus pekerja yang menyesaki pasar tenaga kerja.

Alhasil, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia cukup memprihatinkan. Mereka yang tidak terserap oleh lapangan pekerjaan formal terkatung-katung sebagai pekerja informal dengan kondisi kerja yang relatif cukup rentan, kurang produktif, tidak memiliki jaminan sosial dan perlindungan hukum, dan dengan upah atau penghasilan yang cukup minim. Mereka bekerja sebagai penjual gorengan dan nasi goreng keliling, penjaga warung makan, pekerja rumah tangga, tukang tambal ban, atau buruh bangunan lepas. Menurut data BPS, pada tahun 2019 sekitar 57% dari tenaga kerja kita merupakan pekerja informal. Sementara itu, kualitas pekerjaan formal juga mengalami degradasi dan kasualisasi dengan meluasnya praktek tenaga kerja fleksibel (e.g. praktek kerja kontrak, outsourcing, dan pemagangan) yang membuat kondisi kerja dan upah para pekerja formal menjadi sama rentannya.

Kondisi pasar tenaga kerja seperti ini perlu mendapatkan perhatian penting. Sebagaimana yang ditulis oleh Muhtar Habibi, dalam bukunya Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, model pembangunan yang tengah berlaku dan dominan saat ini hanya akan menciptakan ulang kerentanan ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas. Kondisi kerentanan ekonomi pekerja informal menjadikannya sebagai tentara cadangan pekerja (reserve army of labour) bagi pengusaha yang memperlemah posisi tawar kelas pekerja di sektor formal. Pengusaha bisa mengancam untuk menggantikan pekerja formal yang melawan atau terlibat dalam aktivitas serikat buruh dengan pekerja informal yang sedang mengantri di luar pabrik akan terbukanya lapangan pekerjaan formal dan dengan senang hati menggantikannya.

Pendek kata, keterbatasan jumlah lapangan pekerjaan formal berakibat pada lemahnya posisi tawar kelas pekerja dihadapan pengusaha. Kelemahan ini membuat solidaritas dan kesadaran politik kelas pekerja menjadi lebih sulit terbentuk karena setiap pekerja saling berkompetisi satu sama lain memperebutkan dan mengamankan lapangan pekerjaan formal yang terbatas.

Minimnya lapangan pekerjaan formal, terutama di bidang industri manufaktur dan teknologi, juga secara tidak langsung menghambat pembangunan ekonomi. Lulusan teknik atau sains dari universitas ternama yang seharusnya bekerja di sektor manufaktur atau teknologi, menciptakan produk dengan nilai-tambah lebih tinggi dan mengembangkan teknologi dan kapasitas produksi domestik, tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka. Akhirnya mereka terpaksa bekerja sebagai pekerja kantoran atau pengusaha kecil dengan produktivitas tenaga kerja yang relatif lebih kecil. Padahal, produksi barang dengan nilai-tambah tinggi dan pengembangan teknologi menjadi salah satu cara untuk mengembangkan ekonomi kita: dengan mengekspor hasil produksinya sehingga dapat menambah devisa atau pendapatan negara, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, atau menciptakan invoasi teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.

Selain itu, minimnya lapangan pekerjaan formal membuat penerimaan pajak negara menjadi lebih rendah. Pekerja informal, karena watak dari pekerjaannya yang tidak diatur oleh negara, membuatnya menjadi target wajib pajak yang sulit untuk dikenakan. Alhasil penerimaan pendapatan pajak negara, terutama dalam pajak penghasilan atau perorangan, menjadi lebih kecil. Konsekuensinya, kita tidak mampu membiayai dan mengembangkan kapasitas sektor publik kita dalam menyediakan layanan publik seperti jaminan sosial dan kesehatan, transportasi massal, pemukiman sosial, atau bahkan sekedar sistem birokrasi publik yang efisien.

Persoalan di atas menunjukkan bahwa kalaupun perlawanan masyarakat dan gerakan progresif terhadap UU Cipta Kerja mampu mencapai kemenangan, lantas bagaimana selanjutnya nasib kelas pekerja? Kembali ke status quo sebelum adanya UU Cipta Kerja memang jauh lebih baik daripada bila UU Cipta Kerja tetap ada dan dilaksanakan oleh pemerintah. Namun, ia tidak dengan sendirinya menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam status quo di mana sebagian besar masyarakat masih tetap menghadapi kondisi sosial dan ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian.

Maka dari itu, agenda ekonomi penciptaan lapangan pekerjaan formal menjadi penting. Akan tetapi, agenda tersebut sekarang didominasi oleh pemerintah dan kelompok pemodal dengan UU Cipta Kerja. Padahal beberapa indikasi menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang tercipta kemungkinan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan atau kerentanan kerja yang berpotensi terjadi.

Selain mengkritik agenda pembangunan ekonomi yang tengah dominan saat ini, maka penting bagi gerakan progresif untuk juga menawarkan suatu agenda pembangunan ekonomi alternatif. Agenda tersebut perlu menempatkan penciptaan lapangan pekerjaan formal dan layak sebagai salah satu tujuan utamanya. Lebih dari itu, agenda pembangunan ekonomi tersebut perlu bersifat progresif: yakni memperkuat kekuatan kelas pekerja dan memperlemah kuasa modal dan pasar dalam politik serta ekonomi.

Menciptakan lapangan pekerjaan

Lantas dari mana kita bisa memulai menyusun suatu agenda pembangunan ekonomi progresif yang menempatkan penciptaan lapangan pekerjaan formal dan layak sebagai pusatnya?

Pertama, perlu memahami pentingnya industrialisasi dan industri manufaktur dalam pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan formal. Dalam pembangunan ekonomi di negara-negara pinggiran, industri manufaktur masih tetap menjadi ‘mesin pertumbuhan’ ekonomi yang paling efektif mengingat karakter dari sektor ini yang menghasilkan produk dengan nilai-tambah lebih besar dan sebagai pendorong dari perkembangan teknologi. Selain itu, pembangunan industri manufaktur skala besar juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal yang lebih besar sehingga mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja, terutama tenaga kerja terdidik, dan memanfaatkan kapasitas dan keahlian mereka dalam kegiatan produksi.

Melalui proses industrialisasi, suatu negara bisa mengembangkan kapasitas produksi dan teknologi domestik mereka sehingga mampu meningkatkan produktivitas ekonomi melalui penggunaan dan inovasi teknologi baru serta memperbaiki kualitas sektor publik dalam menyediakan layanan publik seperti kesehatan, transportasi, administrasi, riset, dsb. Untuk menciptakan ekonomi dengan produktivitas tinggi dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal dengan jumlah memadai, maka tidak ada cara lain selain dengan meningkatkan skala produksi dan mengembangkan industri manufaktur. Sebagaimana ditulis oleh Jostein Hauge dan Ha-Joon Chang: “Sepanjang sejarah kapitalisme, hampir semua negara yang mentransformasi ekonomi mereka dari berpendapatan rendah menjadi berpendapatan tinggi dapat melakukannya melalui proses industrialisasi.”

Kedua, mendorong industrial policy (kebijakan industrial) sebagai salah satu instrumen utama dalam membangun ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan formal. Alih-alih membiarkan pasar dan pemodal, baik domestik maupun internasional, menentukan arah pembangunan ekonomi, industrial policy bertujuan untuk memperkuat peran sektor publik dalam mengarahkan investasi dan pembangunan ekonomi suatu negara. Hal ini jelas berbeda dengan model pembangunan ekonomi dominan, sebagaimana diwujudkan dalam UU Cipta Kerja, yang sekadar memberikan karpet merah bagi pemodal dengan menghapus berbagai peraturan dan regulasi yang dianggap memberatkan mereka.

Salah satunya adalah dengan membangun apa yang disebut Mariana Mazzucato sebagai Enterprenurial State yakni dengan memperkuat kapasitas sektor publik dan menggunakan investasi publik (public investment) ketimbang investasi swasta untuk membiayai riset dan pengembangan teknologi atau perusahaan yang memiliki growth-potential (potensi untuk berkembang dan menciptakan produk dan jasa dengan nilai-tambah tinggi). Pendek kata, ketimbang membiarkan sektor swasta menentukan arah perkembangan ekonomi — barang dan jasa apa yang diproduksi, perusahaan seperti apa yang dapat berkembang, inovasi di bidang apa yang didorong — negaralah yang menentukan dan mengembangkan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.

Menurut Mazzucato, dalam bukunya The Entrepreneurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths, inovasi yang terjadi belakangan ini dalam bidang teknologi energi terbarukan, komunikasi digital, komputasi, dan farmasi, merupakan teknologi yang pertama kali didorong oleh sektor publik ketika masa pengembangannya masih beresiko tinggi. Baru ketika resiko usahanya rendah dan biaya produksinya semakin rendah sektor swasta mampu mengkapitalisasi pengembangan teknologi di bidang-bidang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa negara mampu mengarahkan dan mendorong inovasi dan perkembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat dengan lebih efektif dibandingkan sektor swasta.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan model industrial policy tradisional, yakni dengan menggunakan  berbagai macam pendekatan carrot & stick (insentif dan disinsentif) untuk mengontrol secara ketat kegiatan usaha dan investasi sektor swasta serta menentukan beberapa sektor penting yang menjadi prioritas untuk dikembangkan. Misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa negara seperti Cina, yakni dengan memberikan insentif dan subsidi kepada perusahaan swasta di sektor-sektor tertentu yang dianggap penting dalam pembangunan ekonomi. Namun, perusahaan-perusahaan tersebut juga dikekang dengan syarat dan konsensi penting seperti joint venturetechnology transfer, atau local content policy. Intinya adalah, bagaimana sektor publik mampu mengontrol arah pembangunan ekonomi dan mengeruk sebanyak-banyaknya konsensi dari investasi sektor swasta (lihat tabel di bawah).

Ketiga, menggunakan industrial policy untuk membangun struktur ekonomi yang koheren dan menciptakan sinergi antar-sektoral (inter-sectoral synergy). Meskipun industri manufaktur menjadi sektor yang mendapatkan perhatian lebih, bukan berarti sektor-sektor lain seperti pertanian diabaikan. Cristobal Kay, misalnya, menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara ditentukan dari kemampuannya dalam menciptakan hubungan yang dinamis dan sinergis antara sektor industri dan pertanian sehingga ‘mendorong siklus kebajikan (virtuous cycle) dari pertumbuhan ekonomi dan memperkuat komplemen antara sektor-sektor tersebut.’ Kay menyebut hal ini sebagai strategi pembangunan bersinergis atau ‘synergetic development strategy.’

Sebagai contoh, pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk menghasilkan produk yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian seperti pupuk, mesin, atau peralatan pertanian. Selain itu, surplus dari industri juga dapat digunakan untuk mengembangkan ekonomi desa secara lebih luas. Misalnya melalui penciptaan lapangan pekerjaan baru, pembangunan infrastruktur, memperbaiki kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, meningkatkan kapasitas fiskal dan administrasi pemerintahan desa, atau memperkuat sistem jaminan sosial bagi masyarakat desa. Pendek kata, penting untuk memastikan bahwa masyarakat di desa juga dapat menikmati hasil dari pembangunan ekonomi dan industri di kota.

Keempat, memastikan bahwa hasil pembangunan ekonomi dapat dinikmati oleh publik dan didistribusikan dalam masyarakat secara lebih adil dan merata. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan membangun jaminan sosial universal atau universal welfare state yang didanai dari pajak progresif. Membangun welfare state menjadi penting karena ia merupakan cara untuk melindungi masyarakat dari kerentanan sosial dan ekonomi yang mereka hadapi sekaligus sebagai mekanisme untuk menciptakan distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata dalam masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, penting juga untuk mendorong regional policy atau kebijakan pembangunan wilayah untuk memastikan bahwa masyarakat di desa juga bisa menikmati hasil pembangunan ekonomi.

Selain itu, salah satu agenda penting bagi semua gerakan progresif adalah kepemilikan sarana produksi dan ekonomi secara bersama (social ownership of the economy). Salah satunya adalah dengan memperkuat peran BUMN atau BUMD dalam ekonomi. Kyunghoon Kim misalnya menunjukkan bagaimana pemerintahan Joko Widodo mampu mendorong BUMN untuk melancarkan agenda pembangunan yang sulit dilakukan oleh sektor swasta di Indonesia. Peran BUMN ini bisa diperbesar dan melakukan diversifikasi kegiatan usahanya sehingga bisa menjadi pendorong pembangunan ekonomi sekaligus memastikan bahwa negara meraup lebih banyak keuntungan proyek pembangunan ketimbang sektor swasta. Selain itu, untuk tata kelola yang lebih demokratis dan transparan, pemerintah bisa mewajibkan BUMN dengan kriteria tertentu untuk melembagakan sistem kodeterminasi (co-determination). Dalam sistem ini, pekerja dan serikat buruh dari perusahaan BUMN tersebut bisa memiliki peran lebih besar dalam pengambilan keputusan dan transparansi tata kelola BUMN.

Selain itu, negara juga dapat menciptakan social wealth fund (SWF) untuk membeli, menguasai, dan mengelola investasi publik dan kepemilikan saham di perusahaan swasta. Kepemilikan saham ini bisa didapatkan misalnya sebagai bentuk timbal-balik dari dukungan insentif industrial policy yang diberikan kepada perusahaan atau dengan negara secara aktif membeli saham perusahaan-perusahaan penting di masa normal atau resesi. Dividen yang didapatkan dari saham tersebut kemudian bisa disalurkan ke SWF untuk diinvestasikan kembali dan menjaga dinamisme ekonomi, untuk sekedar meningkatkan pendapatan negara, atau untuk mendanai program jaminan sosial tertentu.

Menuju agenda cipta kerja progresif?

Pembahasan keempat poin yang telah dijelaskan di atas memang jauh dari komprehensif dan mendalam. Namun, poin-poin tersebut bisa menjadi elemen kunci dalam merumuskan agenda pembangunan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal dan layak serta bersifat progresif.

Poin 1, 2, dan 3 memastikan bahwa pembangunan ekonomi dapat menciptakan lapangan pekerjaan formal dengan jumlah memadai sehingga mampu menyerap surplus pekerja di Indonesia. Poin 3 dan 4 memastikan bahwa hasil pembangunan ekonomi dapat dinikmati dan didistribusikan dalam masyarakat secara lebih adil. Keempat poin tersebut secara keseluruhan saling mendukung satu sama lain dan bertujuan untuk menyerang dominasi politik kelas kapitalis sekaligus memperkuat kekuatan politik kelas pekerja.

Agenda penciptaan lapangan pekerjaan progresif menjadi penting karena dua hal. Pertama, untuk menentang dan menawarkan alternatif dari model dan narasi pembangunan ekonomi yang tengah dominan. Model pembangunan ini cenderung berpihak pada kelompok pemodal dan menempatkan kelas pekerja dalam posisi ekonomi yang lebih rentan dan sulit. Lebih dari itu, Indonesia saat ini terjebak dalam apa yang disebut Antonio Andreoni & Fiona Tregenna sebagai ‘middle-income technology trap’: yakni kondisi di mana ekonomi suatu negara sudah mulai kehilangan daya saing dunia yang membuatnya sulit menarik investasi luar negeri dan mendorong pertumbuhan ekonomi akibat ketidakmampuannya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan teknologi domestik. Artinya, strategi pembangunan yang bergantung pada investasi luar negeri, represi upah, dan liberalisasi aturan dan perlindungan hukum tidak akan bisa bertahan lama sehingga dibutuhkan strategi lain untuk membangun ekonomi Indonesia secara lebih berkelanjutan.

Kedua, Indonesia masih mengalami kondisi surplus pekerja di mana jumlah lapangan pekerjaan formal yang tersedia masih cukup terbatas. Hal ini berakibat pada kerentanan ekonomi bagi kelas pekerja di Indonesia, baik formal atau pun informal. Selain itu, kompetisi pasar tenaga kerja yang cukup massif di antara pekerja sehingga membuat posisi tawar pekerja dihadapan pengusaha menjadi lebih lemah. Lemahnya posisi tawar pekerja dan ditambah dengan kerentanan ekonomi yang dialami mereka membuat upaya pengorganisiran dan membangun membangun kekuatan politik kelas pekerja menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, agenda ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan formal dan layak menjadi penting agar keseimbangan kuasa antara kelas pekerja dengan kapitalis menjadi lebih berpihak kepada kelas pekerja.

Michał Kalecki pernah menulis bahwa pemodal dan pengusaha selalu menentang segala upaya untuk memperluas lapangan pekerjaan dan mempertahankan situasi ‘full employment’, yakni di mana terdapat ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup memadai untuk menyerap hampir semua tenaga kerja. Dalam esai terkenalnya, Political Aspects of Full Employment, ia menulis bahwa rezim ‘full employment’:

akan menimbulkan perubahan sosial dan politik yang menjadi dorongan baru bagi para pemodal-pemodal besar untuk melawannya. Dalam rezim full employment permanen, PHK tidak lagi memainkan perannya sebagai alat pendisiplinan. Posisi sosial dari pengusaha akan dilemahkan, dan keberanian diri dan kesadaran kelas dari kelas pekerja akan tumbuh. Aksi pemogokan untuk kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja akan menciptakan ketegangan politik…’disiplin dalam pabrik’ dan ‘stabilitas politik’ jauh lebih dihargai oleh para pemodal besar ketimbang keuntungan. Naluri kelas mereka memberitahu bahwa kondisi full employment yang berlangsung lama tidak dapat diterima dalam pandangan mereka dan bahwa pengangguran merupakan bagian integral dalam sistem kapitalis yang ‘normal’.

Demi melawan agenda dan narasi ekonomi dari pemodal dan penguasa, gerakan progresif perlu menawarkan (atau setidaknya memperdebatkan) agenda ekonomi pembangunan alternatif yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan formal dan layak, mengatasi permasalahan riil yang dihadapi kelas pekerja saat ini, dan bersifat progresif. Dengan menawarkan agenda pembangunan ekonomi alternatif secara konkrit, gerakan progresif juga dapat menarik simpati dan dukungan dari masyarakat sehingga berpotensi untuk mengembangkan kekuatan politik progresif menjadi lebih luas.

Pada akhirnya, pilihannya hanya ada tiga: menerima UU Cipta Kerja, kembali ke status quo, atau menawarkan alternatif lain yang lebih baik. Selama gerakan progresif masih belum mampu menawarkan agenda pembangunan ekonomi alternatif, maka gerakan progresif hanya akan tetap menjadi kekuatan politik yang marjinal dalam masyarakat.


Ilustrator Hisam

Komentar ditutup.

Scroll to Top