Eko Prasetyo – [Social Movement Institute]
***
Minggu (12/2/2018) pagi, seorang anak muda membawa pedang, masuk ke dalam gereja lalu menusuk pendeta. Pagi itu gereja Bedog Sleman berduka. Kebaktian terganggu karena tindakan teror. Gubenur DIY pun meminta maaf karena tak mampu melindungi kegiatan ibadah. Polisi berjanji akan mengusut semua secara tuntas. Pengamat bilang ini ancaman bagi toleransi.
Tindakan teror bukan pertama kali terjadi. Jauh sebelumnya ada banyak teror serupa: diskusi kiri dilarang, nonton film Iran didatangi hingga bakti sosial dianggap kristenisasi. Sebenarnya teror gereja hanya sambungan dari teror yang sudah ada sebelumnya. Tak hanya pada kegiatan ibadah tapi juga kegiatan intelektual, seolah kota ini lumpuh karena kebebasan menyatakan pendapat mulai dibatasi. Bukan oleh aturan tapi ormas yang memakai nama apa saja. Lucunya tak banyak tindakan atas mereka.
Pengusutan atas salah satu ketua ormas pada penyerangan pameran lukisan Wiji Thukul merupakan yang pertama kalinya. Itulah kasus satu-satunya yang berhasil dibawa ke muka pengadilan. Sebelumnya hampir tak ada penegakan hukum sama sekali. Kita jadi maklum kalau ada pemutaran film Senyap diserbu, pertemuan para peyintas dibubarkan hingga kegiatan diskusi didatangi massa. Aktivitas ormas yang over dosis ini membuat Jogjakarta dapat julukan buruk soal toleransi.
Berulang-ulang terjadi tindak persekusi. Sebagai kota pelajar sangat konyol kalau kegiatan diskusi ditatap sebagai ancaman dan pemerintah tak berani menjamin perlindungan. Maka saat gereja Bedog itu diserbu oleh pria yang berasal dari luar kota, kita tak lagi heran. Kita memang tidak berada dalam suasana kota yang toleran.
Saksikan saja pesatnya pembangunan hotel di Jogja dan apartemen yang menggila. Belum terhitung jumlah kendaraan yang memadati kota hingga melahirkan kemacetan di sana sini. Tata kota yang dibebani oleh ambisi wisata ini telah membuat ruang publik kian sempit. Sukar untuk mencari tempat publik dimana warga bisa saling bertemu, menyapa dan melakukan interaksi sosial dengan hangat. Jika pun kita ingin menikmati suasana yang nyaman harus menjauh dari kota: menuju Gunungkidul, Bantul atau kawasan Gunung Merapi. Disana tersedia banyak tempat wisata yang berbayar. Tentu keadaan ini tak ideal karena semua tempat tiba-tiba berbau komersial.
Mudah dimengerti kalau kemudian kesenjangan sosial jadi masalah utama yang membayangi Jogja. Kondisi yang didasarkan atas situasi dan beban kota yang berat terutama dalam menampung populasi banyak mahasiswa yang bukan hanya butuh suasana belajar tapi juga iklim yang nyaman. Kenyamanan itu sulit diperoleh bukan karena beban pembangunan saja tapi biaya hidup yang merangkak. Biaya hidup untuk kos hingga kebutuhan sehari-hari terus melejit. Belum lagi biaya kuliah yang terus naik. Timbunan soal itulah yang membuat pilihan untuk hidup dengan berhemat ditempuh, diantaranya tinggal di asrama atau tempat ibadah yang bisa ringan semua.
Bukan hanya itu juga dengan terlibat dalam komunitas maupun ormas yang membuat beban jadi mudah disangga. Setidaknya relasi sosial semacam itu memberi banyak proteksi: jaringan, relasi hingga pekerjaan. Secara berangsur-angsur pola hubungan yang terbentuk kian meyempit: orang bergaul, bergabung dan terlibat dengan yang punya keyakinan serupa. Membantu, menolong dan empati pada mereka yang punya agama sama. Pupuk atas itu semua disediakan oleh cara pandang yang sempit dan curiga. Mulai curiga atas perubahan sosial yang tak selalu menguntungkan kelompoknya, timbul dugaan pada tindakan kelompok tertentu akan melunturkan keyakinanya. Tiba-tiba ada hasrat untuk mengawasi, membubarkan hingga melakukan tindakan atas apa yang dianggap mencemarkan ajaranya.
Ekspresi ini diperantarai pula oleh munculnya para demagog yang kini menjamur di media sosial atau mimbar. Mereka yang cirinya adalah simplifikasi tiap masalah, mengadu domba dan mendorong rasa amarah. ‘Sumbu panas’ yang dikipas itulah yang membawa berbagai tindakan persekusi. Tindakan yang dimotori pula oleh banyak anak-anak muda yang terdidik, mereka yang sedari awal ditanam pandangan intoleran serta lebih memilih bergaul dengan keyakinan sejenis.
Maka tindakan intoleran terpupuk oleh banyak kondisi. Secara objektif memang tak ada ruang dimana pembauran itu mudah.
Hampir minim kegiatan berbaur antar keyakinan difasilitasi terutama pada lembaga pendidikan. Yogyakarta kini banyak memiliki lembaga pendidikan agama, tapi kita juga kurang memahami apakah lembaga itu mendorong budaya toleransi. Riset malah menunjukkan sekolah di Yogya mengajarkan sikap fanatik dan intoleran. Di samping memang minimnya penegakan hukum pada berbagai tindakan persekusi. Sedang secara subyektif terbentuk banyak kecurigaan, prasangka dan stigma pada minoritas. Terutama mereka yang dianggap kiri, LBGT, syiah hingga keyakinan yang berbeda.
Saat kecurigaan itu merebak dalam khutbah, tulisan hingga tindakan tak banyak upaya pencegahan. Kita hanya cemas, tapi tak terlampau peduli. Semua seperti menunggu kemana semua tindakan itu akan bermuara. Kini peristiwa yang patut disesalkan itu sudah terjadi. Memang banyak kalangan mengutuknya. Tapi sebaiknya kita sadar bahwa pupuk atas tindakan itu sudah disediakan sejak lama. Tak adanya ruang publik yang membuat orang saling berbaur, sulitnya kegiatan sosial yang merawat hubungan antar agama, dukungan lemah atas jaminan kebebasan menyatakan pandangan serta menebalnya sentimen agama diantara para pemuka sosial.
Kini waktunya memang untuk berbenah. Kalau bisa dimulai tentu lembaga pendidikan bisa memprakarsainya. Lewat jalinan interaksi sosial antar sekolah dengan mengadakan kegiatan bersama, merawat kerja sama dan saling mengenal keyakinan walaupun itu berbeda. Kita tentunya tak mau, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar meluncur jadi kota yang dicekam oleh teror dan ketakutan pada sesamanya.
[pernah dimuat di http://jogja.tribunnews.com/2018/02/12/toleransi-kian-terkoyak-ada-apa-dengan-jogja]