Tiba-tiba tayangan media menampilkan pemandangan yang sebelumnya tak terbayang: bermoderator Najwa Shihab, Adian Napitupulu berdebat dengan Fahri Hamzah. Anehnya, posisi mereka bertukar: Adian berada di kubu yang bertentangan dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sementara, meski tak eksplisit, Fahri mendukung Bekas Wali Kota Solo itu. Keduanya kini memiliki jagoan masing-masing dalam Pilpres 2024. Yang satu tengah dilanda lara hati lantaran mengklaim ditinggal kader terbaik. Yang lain mendapat sokongan penuh, bahkan berlebihan, oleh penguasa beserta anak-anaknya.
Dalam tayangan itu, Adian berulang menegaskan, pihaknya kecewa Jokowi membiarkan–atau apa pun istilah yang tepat—putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, melenggang dalam kontestasi Pilpres 2024. Pasalnya, pencalonan itu diwarnai dengan pelanggaran etik bekas Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, dalam memutus putusan yang membuka pintu pencalonan Gibran. Di sisi lain, Fahri menekankan pihaknya tak pernah mengultuskan figur. Pemihakan kepada Jokowi, baginya, tak serta merta melekatkan rasa emosional kepada Presiden. Itu sebabnya dia tak merasa memiliki beban banting stir dari pengkritik pemerintahan paling kencang menjadi salah satu pencari suaka di kubu pengikut Jokowi.
Lucu, tak habis pikir, mungkin menghibur—tetapi sama sekali tak mengejutkan. Di dunia politik yang amat pragmatis, semua bisa berlaku. Juga kemungkinan-kemungkinan paling tak terprediksi: PDIP berbalik menyerang Jokowi. Belakangan, satu per satu tokoh PDIP mulai mencapai antiklimaks dukungan mereka kepada Jokowi. Dari kecewa, mengaku sedih, kemudian mereka mulai berani mengkritik secara terbuka. Tiba-tiba Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri berpidato: kita berada di era gelap demokrasi. Putusan Majelis Kehormatan MK, yang menghukum Anwar Usman dan para hakim konstitusi dianggap telah menghadirkan terang di tengah kegelapan.
Kita akhirnya menemukan sikap Megawati yang secara umum bisa kita hormati. Seperti banyak publik yang resah, Megawati mengkritik MK yang tak lagi punya marwah. Kita menghormati pula Ganjar Pranowo, yang dalam beberapa kesempatan menyatakan tengah terjadi kemunduran demokrasi, membuatnya mulai dijuluki Anies Baswedan—si “antitesis Jokowi—berambut putih. Kita, dengan hanya melihat peristiwa MK dan pencalonan Gibran, tak bisa menyalahkan kritik-kritik itu—bahkan kita mungkin memuji. Setelah sembilan tahun, PDIP akhirnya mengakui kekurangan Jokowi dalam membangun iklim demokrasi. Namun, kekurangan itu tentu tak baru muncul mendekati akhir periode. Lantas, mengapa kritik itu baru dilancarkan hari ini?
Megawati pasti tahu, meski mungkin ia tak mau tahu, Jokowi pernah dikritik keras sekali lantaran dianggap mengamputasi cita-cita pemberantasan korupsi, lima tahum silam. Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK tetap disahkan kendati menuai kontroversi di publik. Beleid itu menuai kontroversi lantaran memuat pasal tentang pembentukan dewan pengawas atau dewas, tempat KPK harus meminta izin sebelum mengadakan penggeledahan; dan peralihan status kepegawaian menjadi ASN. Tak cukup sampai di situ, pelemahan KPK kian paripurna ketika DPR memilih Firli Bahuri, orang yang dianggap sarat kontroversi, menjadi pimpinan tertinggi KPK.
Bukti pelemahan KPK tampak nyata hari ini ketika lembaga antirasuah itu justru berakrobat tak tentu arah, justru ketika publik amat memerlukan integritasnya. Sesuatu yang amat ganjil terjadi: Ketua KPK diperiksa atas dugaan pemerasan terpidana korupsi Syahrul Yasin Limpo. Barangkali satu-satunya di dunia: Ketua KPK terlibat kasus korupsi! Dan ini bukan pertama; banyak sudah pelanggaran-pelanggaran etik dari Firli sendiri atau para petinggi KPK. Toh yang bersangkutan tidak cukup malu untuk segera mengundurkan diri. Pun Presiden bergeming, mengeluarkan kata-kata sakti: saya tak ingin mencampuri urusan KPK! Rumor kedekatan Megawati dan Firli tak membantu: keduanya dianggap dekat setelah putri Sukarno itu membetulkan dasi Ketua KPK dalam sebuah seremoni.
Nyatanya, tak satu pun politikus PDIP, sampai pun hari ini, menyatakan sikap secara tegas menentang Revisi UU KPK dan pengangkatan Firli. Partai dengan kader koruptor terbanyak itu justru dianggap diuntungkan selama KPK berada di bawah pimpinan bekas polisi. Terhitung Januari 2020, KPK belum berhasil menemukan keberadaan Harun Masiku. Politikus PDIP diduga memberikan suap kepada Wahyu Setiawan untuk mengupayakan kemenangannya sebagai anggota PAW DPR RI PDIP Dapil Sumatera Selatan 1. Tiga tahun kemudian, November 2023, ketika Firli namanya terseret dalam dugaan suap Menteri Pertanian yang melibatkannya, Firli tiba-tiba bersuara: dia telah tanda tangani surat penangkapan Harun Masiku. Setelah tiga tahun! Kita tak bisa menyalahkan mereka yang menyebut Firli hanya cari perlindungan.
PDIP dan mereka yang hari ini kecewa dengan Jokowi juga diam saat Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan, Proyek Strategis Nasional atau PSN merampas ruang hidup rakyat: Wadas, Yogyakarta, hingga Rempang. Partai banteng itu justru menjadi penyokong terdepan dengan menempatkan kepala-kepala daerahnya memberikan izin dan mendukung pelaksanaan proyek-proyek itu. Ah, nyaris saja lupa: sebelum Jokowi menempatkan putra sulungnya menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto, tiada angin tiada hujan, PDIP pernah tiba-tiba melontarkan kritik: program lumbung pangan atau food estate gagal dan perlu dievaluasi. Tiada angin, tiada hujan! Kita tahu belaka, kritik itu bermuatan polis amat tinggi: si penanggung jawab program, Prabowo Subianto, saat itu batu saja diusung menjadi bakal calon presiden, rival dari Ganjar Pranowo.
Daftar pelanggaran di bawah Jokowi—yang tak diakui para bekas pendukungnya—bisa jauh lebih panjang. Kita tak perlu terkejut, karena kecewa dan kritik, apa pula keluar dari bibir para politisi, tentu sangat politis. Ketika para politisi tiba-tiba melontarkan kritik kepada junjungan mereka, kita mungkin senang, tetapi sekaligus curiga dan waspada: benarkah kritik-kritik itu akan memperkuat barisan prodemokrasi, atau hanya menguntungkan kelompok mereka sendiri? Orang bilang siapa pun bisa merusak bunga-bunga, tetapi tak mungkin menunda datangnya musim semi. Setelah musim semi datang dan bunga-bunga kembali mekar, mungkinkah kita menikmati bunga-bunga itu? Setelah demokrasi tegak dan konstitusi tak rubuh, mungkinkah warga negara mendapatkan kebebasan, para tertindas menjumpai keadilan—dan bukan hanya partai politik mendapatkan suara?
Penulia: Han Revanda Putra
Ilustrasi: Hisam