Tak Paham Trisakti: Stop Menyamakan Gibran Dengan Bung Sjahrir

Nathaniel Hawthorne, seorang penulis berkebangsaan Amerika menulis satu ungkapan indah tentang waktu dan jejak; “Waktu meninggalkan kita, tapi selalu meninggalkan jejak’’. Apa yang dikatakan Nathaniel memang benar adanya. Seperti jejak penculikan yang dilakukan Prabowo, waktu memang telah meninggalkan tetapi jejak itu masih ada. Atau seperti jejak para aktivis yang dulu mati-matian mengutuk Prabowo tetapi hari ini menjadi pagar hidup untuk Prabowo. Budiman Sudjatmiko misalnya. Terbaru, gimmik Gibran saat debat ke-empat capres-cawapres beberapa malam lalu, waktu memang telah berlalu tapi gimmik Gibran masih menjadi bahan olok-olokan. Gimmiknya Gibran seperti mencari urian di semak belukar saat mencari-cari jawaban dari sang Prof. Mahfud. Ini menjadi perbincangan publik yang paling ramai. Tapi ya, Gibran memang begitu, seringkali membuat riuh, senang membuat publik terheran-heran. Awalnya mengaku sebagai penjual martabak yang tidak tertarik dengan politik, tiba-tiba menjadi Walikota Solo, mengaku masih anak kecil dan tak ingin ikut dalam pencalonan capres-cawapres, tiba-tiba menjadi cawapres mewakili Prabowo Subianto. Itulah Gibran, sang putra mahkota, perkataannya tidak sesuai dengan perbuatannya.

Keriuhan yang tidak kalah ketika Gibran diloloskan oleh pamannya menjadi cawapres, melalui Keputusan MK (Mahkamah Keluarga). Dengan landasan keadilan intolerable,pertama kali dalam sejarah republik ini, Undang-Undang diubah hanya untuk meloloskan anak presiden menjadi cawapres. Tapi, ya itulah Gibran, putra mahkota yang dipaksakan dan memaksakan diri untuk menduduki singgasana.

Airlangga Omon-Omon, Menyamakan Gibran Dengan Bung Sjahrir

Selain putra mahkota yang seringkali membuat heran, yang tidak kala membuat heran adalah para pendukungnya. Gerombolan aktivis yang bicara banyak tentang keadilan, kesamaan dimata hukum, yang paling keras mengutuk kesewenang-wenangan. Hari ini mereka terang-terangan dan tegak lurus membelanya. Mengangkangi konstitusi, juga demokrasi. Menjilat ludah sendiri yang telah kering. Lebih membuat heran, dari mereka yang menyamakan Gibran dengan Bung Sjahrir, adalah Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, alumni HMI yang sering dibangga-banggkan oleh anak-anak HMI, tentu karena uangnya banyak dan dekat dengan kekuasaan.

Pernyataan Alumni HMI ini jelas tidak berdasar, alias omon-omon. Menyamakan Gibran dengan ‘Bung Kecil’ adalah tindakan melecehkan Sjahrir. Omon-omon Airlangga jelas melukai para pengagum Bung Kecil, saya salah satunya. Saya menduga Ketua Golkar ini tidak pernah membaca Sjahrir, atau jangan-jangan ia tidak kenal siapa Bung Kecil itu. Bagaimana bisa seorang Gibran disamakan dengan Sjahrir, ini sama halnya mencoreng akal sehat. Tidak ada satu pun gagasan, apalagi sikap politik Gibran yang sama dengan Sjahrir. Agar tidak dianggap sebagai omon-omon seperti ketua Golkar, mari kita cek kebenarannya.

Sjahrir saat berusia 18 tahun telah menggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, (Jong Indonesie) 1927. Perhimpunan ini belakangan berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Dalam catatan Sejarah, perhimpunan yang dirintis Sjahrir dan kesembilan kawannya menjadi motor penggerak terselenggaranya kongres pemuda Indonesia, kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Sumpah yang menyeru kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang satu. Ini salah satu rekam jejak Bung kecil saat usianya masih 18 tahun. Kira-kira Gibran pada usia yang sama melakukan hal seperti apa ya?

Sjahrir Dan Gibran Saat Menjadi Mahasiswa

Bung Kecil ketika melanjutkan studi di Belanda, menceburkan diri ke dalam dunia aktivisme, bercumbu mesra dengan sosialisme. Ia dengan semangat mengikuti diskusi-diskusi tentang pro kemerdekaan Indonesia. Saat mendengar Soekarno dan beberapa tokoh nasionalis lainnya ditangkap oleh pemerintah Belanda. Ia tidak ragu meninggalkan kuliahnya dan Kembali ke Indonesia untuk menyemai benih pergerakan nasional. Di atas kertas, pilihan Sjahrir tentu bukan pilihan yang menguntungkan. Tapi perjuangan bukan perihal untuk dan rugi. Perjuangan lebih dari sekadar hitung-hitungan keuntungan. Memilih kembali ke Indonesia, sama halnya Sjahrir telah siap menantang maut, bahaya telah menanti di depan mata. Terbukti, aktivitas pergerakannya dalam PNI-Baru bersama Hatta, juga aktivitas propaganda yang ia tuangkan dalam majalah Daulat Rakjat, menjadikan namanya daftar teratas orang paling membahayakan pemerintah Belanda. Pada tahun 1934 Sjahrir ditangkap, setahun kemudian ia dibuang ke Boven Digul lalu dipindahkan ke Banda Neira. Tapi, apakah penangkapan dan pembuangan itu membuat Sjahrir jinak lalu berhenti melakukan perjuangan? Bukan Bung Kecil namanya kalau ia menyerah.

Di tempat yang berbeda, juga waktu yang tak sama, Seorang Gibran yang sekarang adalah putra mahkota sedang melakukan studi di Singapura. Ia lulus pada tahun 2007 dari Management Development Institute of  Singapore. Jika menghitung waktu penyelesaian studi normal, berarti Gibran mulai aktif bermahasiswa pada tahun 2003. Dalam rentang waktu 2003 sampai 2007 banyak rangkaian peristiwa yang terjadi di bangsa ini. Operasi terpadu misalnya, Operasi dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja di Timor Timur. Banyak nyawa yang melayang, Sebagian besar dari mereka adalah warga sipil. Ada pesan tersirat dalam perjanjian Helsinki di Finlandia tahun 2005, bahwa dalam peristiwa berdarah ini terdapat pelanggaran HAM, dan pelanggaran HAM berat.

Setelah GAM dianggap selesai. Masih banyak rentetan peristiwa pada masa Gibran menjadi mahasiswa, tsunami Aceh, kenaikan BBM, lumpur lapindo, kasus Papua, Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta polemik lain yang sampai hari ini dampaknya masih terasa. Pertanyaannya apa sumbangsih Gibran untuk bangsa ini pada periode ia sebagai seorang mahasiswa? Saya tidak menemukan jejaknya. Jika Sjahrir rela meninggalkan kuliahnya, dan tanpa ragu menalak tujuh gelar kemahasiswaannya demi cita-cita kemerdekaan bangsanya. Kemudian siap menanggung segala penderitaan pada masa pembuangan karena sikapnya melawan penjajahan. Maka di fase saat Gibran menjadi seorang mahasiswa seperti Sjahrir, ia tidak melakukan apa-apa.

Sjahrir Versus Gibran Saat Berusia 30-an Tahun

Perbedaan Sjahrir dan Gibran saat bersama-sama berstatus mahasiswa jelas terpampang nyata, jelas tidak memiliki kesamaan apa pun. Yang satu melakukan pengorbanan, sementara yang satu rekam jejaknya tidak ditemukan. Lalu, bagaimana mereka saat sama-sama berusia 30-an tahun?

Usia 30 dianggap sebagai fase kematangan seseorang. Hal ini juga terlihat pada Sjahrir saat ia berusia 30-an. Setelah Jepang masuk ke Indonesia awal tahun 1942, di waktu yang sama Sjahrir dipulangkan ke Sukabumi setelah enam tahun diasingkan di pulau Banda. Hal ini membawa angin segar untuk pergerakan nasional. Sjahrir kembali melakukan aktivitas politiknya, membangun jaringan bawah tanah Anti fasis Dai Nippon. Saat itu ia berusia 33 tahun. Saat Bung Karno dan Hatta lebih berkompromi dengan jepang, Sjahrir memilih jalan lain dengan sikap non-kooperatif. Sebab menurutnya semua penjajah sama saja, akan bersikap buruk pada jajahannya.

Kematangan Sjahrir semakin terlihat ketika ia mendesak Bung Karno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sebab ia yakin betul Jepang tidak akan mampu mengalahkan kekuatan sekutu. Setelah Indonesia merdeka, kematangan itu pun makin terlihat, pada Oktober 1945 saat usianya 36 tahun, Sjahrir menulis pamflet yang kemudian menjadi karya terbesarnya, Perjuangan Kita. Tulisan ini disebut Ben Anderson sebagai “Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan”.

Masih diusia yang sama, Sjahrir menjadi Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar negeri dan Menteri Dalam Negeri. Nama Sjahrir memang bukan sekadar isapan jempol belaka. Mandat yang diberikan kepadanya berfungsi sebagaimana mestinya. Ia menjadi tokoh sentral dalam Perundingan Linggarjati, dengan mandat di pundaknya, Sjahrir berhasil menggalang pengakuan dunia untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Lalu bagaimana dengan Gibran di usia 30-an? Dengan bermodalkan status anak presiden, Gibran menjadi Walikota Solo saat berusia 34 tahun. Hanya membutuhkan waktu dua tahun, ia kembali diplot oleh sang ayah melalui bantuan paman untuk maju menjadi cawapres, saat usianya 36 tahun.

Sjahrir Mendebat Pemikiran Soekarno, Gibran Malah Tidak Memahaminya

Kawan sekaligus lawan, adalah perumpamaan yang saya sematkan kepada Bung Besar dan Bung Kecil, Soekarno dan Sjahrir. Pada beberapa kesempatan mereka berkawan, menyatukan visi untuk negara. Tapi pada kesempatan yang lain mereka berhadap-hadapan sebagai lawan. Ada banyak pertentangan mencolok di antara keduanya. Misalnya, penolakan Sjahrir tentang konsep nasionalisme Soekarno yang dikhawatirkan mengarah kepada fasisme. Juga perbedaan mereka tentang partai tunggal dan multi partai.  Perdebatan kedua tokoh ini memuncak setelah kasus pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). PSI dibubarkan, Sjahrir ditangkap lalu dipenjarakan. Sampai akhir hayatnya diaa meninggal sebagai tahanan politik negaranya, negara yang dia perjuangkan untuk bebas dari penjajahan.

Itulah Bung Kecil, bukan saja tidak sepakat dengan Bung Besar dalam banyak hal, ia bahkan mendebat pemikirannya. Lalu, bagaimana dengan Gibran anak sang presiden?  Sesi debat keempat cawapres beberapa hari lalu, telah menjawab pertanyaan itu. Ketika Prof. Mahfud bertanya kepadanya tentang konsep Trisakti Bung Karno, Gibran tidak menyentil pertanyaan itu sama sekali. Hal itu mengafirmasi kalau Gibran tidak memahami apa yang dimaksud dengan konsep Trisakti Bung Karno.


Penulis: Achmad Faisal Dinejad ( Kaum Muda Yang Menolak jadi Cawapres )
Ilustrasi: Hisyam

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top