Surat Kepada Swing Voters

Dalam politik, prasangka buruk adalah tindakan moral yang baik

(Leo Strauss, 1899-1973)

Mengawali menulis ini saya juga agak sedikit bingung bagaimana memulai pembicaraan di surat ini. Namun menengok iklim demokrasi akhir-akhir ini rasanya sebagai warga sipil biasa dan kebetulan masih dalam kategori muda, saya mengamati akhir-akhir ini ada banyak hantu darurat politik berkeliaran di sekitar kita. Sejak mula, sesaat sebelum pandemi covid-19 menyerang, ada isu Presiden ingin menjabat tiga periode, ketika pandemim, presiden petahana alias Jokowi masih tidak kehabisan akal ingin memperpanjang masa jabatannya kala itu. Jangan salah, ia pandai—untuk tidak mengatakan licik mempermainkan dan memanipulasi hukum di negeri ini.

Masih segar di ingatan kita, MK berganti menjadi Mahkamah Keluarga! Khan maen!

Dari Ketua MK, aturan main dalam negara hukum ini sudah pun diganti sehingga memberi karpet merah pada putra sulungnya –yang dulu sekali tidak tertarik dan tidak ingin masuk dunia politik –bisa melenggang dalam bursa cawapres 2024. Mendampingi seorang menteri yang dulu diberikan kursi menteri dengan jalur give away—alias cuma-cuma, meski ini juga sebagai isyarat bapaknya memiting lawan untuk kemudian hari menjadi kawan yang dibela habis-habisan hingga harus bercerai dengan partai pengusungnya sendiri. Ini tindakan yang di luar prediksi BMKG tentu saja!

Melihat tindakan Jokowi tersebut tidak mungkin kita menyisakan prasangka baik padanya—persis ketika 2014 dia dipilih oleh sebagian besar rakyat Indonesia dengan citra “orang baik”. Kini dia, apalagi kandidat calon presiden yang dia dukung mati-matian itu harus berhadapan dengan prasangka buruk kita. Mengapa? Sebab prasangka baik kita tidak akan berguna lagi.

Prasangka buruk kita sekaligus menguji kandidat yang diusung oleh presiden yang di ujung tanduk kekuasaan ini—apakah bisa menyangkal atau mempertanggungjawabkan akrobat politiknya?

Prasangka buruk tidak melulu buruk, ia adalah tindakan moral yang baik, seperti kutipan pembuka tulisan ini. Di medan politik ini, prasangka buruk dari rakyat adalah senjata untuk melawan segala tipu daya yang dimasukkan dalam janji-janji kampanye dan visi-misi yang sudah disusun dengan bahasa yang manipulatif pula.

Ya, suara rakyat!

Khususnya rakyat gen Z, yang konon sebagian masih terpikat dengan aura Jokowi. Selama memimpin, Jokowi tak kurang berusaha keras untuk dekat dengan kaum muda. Di periode ini pun, setelah mengakhiri jabatannya secara resmi, lalu kemudian menjadi juru kampanye—saya kira—juga tetap akan memperhitungkan konstitute kaum muda, khususnya kaum milenial dan kaum gen Z.

Dari data DPT yang dihimpun Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari generasi milenial, sedangkan pemilih dari generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% dari total DPT Pemilu 2024. Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih. Kedua generasi ini mendominasi pemilih Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih.

Surplus pemilih pemula—khususnya gen Z yang lebih sering dianggap swing voters, sebab dianggap lahir kemarin sore—tidak memiliki tujuan di dalam dirinya, sehingga lebih sering dipengaruhi sesuatu di luar dirinya, untuk kemudian diprovokasi dan dimanipulasi, tidak terkecuali pilihan politiknya di pemilu presiden mendatang. Benarkah demikian, hai sekalian gen Z di manapun berada?

Simulakra “Gemoy”

The same voices that cannot be trusted with our histories, certainly cannot be trusted with a story unfolding. When you don’t know who to trust, listen first to the who’s still bleeding.

(Cole Arthur Riley)

Konon menurut juru kampanyenya, ungkapan “gemoy” datang dari bawah, dari para gen Z, dan akhirnya diadopsi oleh juru kampanye di mana-mana. Di seantero Indonesia menyebar karikatur sosok di banyak bilboard raksasa mengotori di jalan-jalan. Simbol tersebut diproduksi oleh juru kampanye, memang tugasnya beriklan simbol. Ambisi beriklan ini tak pelak membawa kubu “si gemoy” paling banyak memasang iklan dirinya disbanding dua kandidat paslon lainnya.

Tak pelak, konsumsi simbol berjudul “gemoy” paling tidak berhasil memanipulasi sebagian besar pemilih pemula, dalam hal ini sebagian besar adalah gen Z yang sekaligus menjadi pemilih pemula di pemilu presiden 2024 mendatang. Sosoknya “si gemoy” juga merajai banyak platform, dari youtube, facebook, Instagram dan tentu saja tiktok—tempat gen Z banyak menghabiskan waktu.

Gen Z lalu melahap simbol “gemoy”, lengkap dengan gimik-gimik sang mantan jenderal yang dipecat dari militer dengan tuduhan terlibat dalam penculikan dan penyiksaan aktivis, dalam istilah Riley di atas—masih berdarah-darah. Potongan luar sosok berlatar militer ini ditampilkan sebagai sosok yang kuat, perkasa dan tentu berkarisma—selain potongan fisiknya yang memang ginuk-ginuk itu. 

The Guardian melukiskannya sebagai –kakek yang lucu dengan gerakan dansa yang canggung dan sisi yang lebih lembut. Alexander R. Arifianto mengatakan, juru kampanyenya berusaha menggambarkan mantan jenderal tersebut sebagai “kakek-kakek yang tidak berbahaya”, terutama [ketika menargetkan] anak muda yang tidak memiliki banyak pengetahuan tentang apa yang diduga dilakukan Prabowo di masa lalu. (baca: https://www.theguardian.com/world/2024/jan/09/indonesia-election-prabowo-subianto-rebranding-kidnapping-accusations).

Tak pelak simbol tersebut bekerja merebut suara banyak gen Z yang notabene tak mengetahui—alih-alih membaca riwayat Tim Mawar (yang nyaris semua personelnya masih hidup dan kini berada di lingkaran kekuasaan) yang dahulu kala dikomandoi oleh “si gemoy” itu.

“Gemoy” seolah menjadi resep yang manjur yang memanipulasi esensi. Seperti jamaknya manusia modern, kehidupan manusia dibentuk oleh imajiner, sehingga realitas yang hadir di hadapannya kehilangan esensi. Manusia dibawa untuk meyakini sesuatu abstrak nan palsu, parahnya belum tentu konkrit. Terjebak pada simbol-simbol yang manipulatif.

Simulakra menyeret manusia modern melampui realitas yang penuh kebohongan. Manipulasi simbol yang dibuat berangsur menjadi akidah dasar yang menipu para pemilih pemula—wa bil khusus gen Z yang interaksinya lebih banyak dengan gawai—dan tentu saja untuk bermain media sosial. Simulakra “gemoy” tak pelak menciptakan kampanye hitam. Artinya, kebenaran adalah bahwa tidak ada yang nyata di balik tampilan, demikian sabda Jean Baudrillard.

Tipuan atau manipulasi tersebut berada di arena yang paling banyak gen Z terlibat di dalamnya, yakni media sosial (medsos). Arena ini paling tidak begitu ampuh sebagai media berkampanye. Bagaimana tidak, dewasa ini di Indonesia, pengguna medsos lebih banyak yang surplus kuota internet, namun miskin literasi apalagi nalar kritis pada saat yang sama.

Penetrasi internet menyentuh angka 78,19 persen dari populasi, dengan jumlah pengguna aktif media sosial sebanyak 167 juga. Warganet memiliki literasi digital yang rendah namun uniknya menghabiskan waktu bermain media sosial selama 198 menit setiap hari. Terlama dunia di Asia Tenggara setelah Filipina. Medsos rentan menjadi ladang informasi/wacana/citra palsu selama masa kampanye ini.

Dua pemilu terakhir menyodorkan bukti yang gamblang bahwa medsos menjadi andalan bagi juru kampanye dan pendukung untuk berseteru. Perseteruan itu bukan memperdebatkan ideologi, gagasan, program atau bahwa substansi kebijakan, namun justru dibanjiri dengan hoaks, caci-maki, hasutan serta politik identitas.

Kerinduan untuk ditindas

Jika Friedrich Nietzsche punya istilah kehendak untuk menguasai (will to power), F. Budi Hardiman punya sebaliknya, yakni kehendak untuk dikuasai, demikian realita gen Z saat ini—membayangkan “gemoy” menjadi pilihan mereka—menjadi penanda bagaimana gen Z memiliki kerinduan untuk ditindas, lagi. Meski gen Z tak pernah menyaksikan langsung atau minimal membuka tabir gelap era transisi bangsa Indonesia yang penuh darah. 

Berkali-kali sosok “si gemoy” ini mencoba meraih kekuasaan tertinggi di republik ini. Dia mungkin terlupa bahwa tangannya masih berdarah-darah. Dia menolak semuanya dengan dalih dan dalih. Dia berusaha lari, namun suara-suara yang dulu dia opresi terus memburunya, seperti kutukan.

Lebih lanjut, mengapa sindrom “kerinduan untuk dikuasai” ini bisa muncul? Hal ini menjalar dari inferiority complexmassa gen Z yang cukup dominan di pemilu presiden mendatang. Ditambah kondisi ekonomi terpuruk, hutang kita makin membengkak, jurang kesenjangan sosial makin lebar, penegakan keadilan dan HAM berjalan amburadul, impunitas terus berlangsung, dan lain semacanya. Kondisi pelik nan carut-marut ini sedang mengandaikan ratu adil. Mencari kompensasi dari kelemahan, mencari patron, mencari figur kuat, mencari penguasa yang kuat, yang tegas. 

Dalam kondisi tersebut, ratu adil begitu dibutuhkan, atau bisa disebut The Greatman Theory, untuk mengatasi kelemahan, kita memerlukan sosok yang kuat, perkasa, tegas dan semua citra yang dibayangkan akan memberi kita banyak kompensasi atas situasi-situasi yang membuat kita terhimpit. 

Sosok “si gemoy” ditampakkan dialah yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Penampilannya dipoles sedemikian rupa oleh para pendukungnya agar ideal sebagai The Greatman.

***

Pada akhirnya, bagaimana mengatasi sindrom kerinduan untuk ditindas itu? Gen Z harus seperti apa?

Di tiap hari, realitas sosial sudah menindas sebagian besar rakyat Indonesia, berjibaku dengan pendapatan harian, harga kebutuhan pokok yang tak stabil, jaminan kesehatan di tengah rusaknya lingkungan dan lain sebagainya.

Tulisan ini sejatinya tak berniat untuk merendahkan gen Z di luar sana—bahwa mereka lemah, justru sebaliknya—mereka ini kuat sehingga tidak perlu merindukan sosok yang kuat, perkasa dan gagah tadi.

Gen Z hanya perlu menemani rakyat yang mungkin bingung bagaimana mengakses informasi yang akurat tentang para kandidat paslon. Apa gagasannya, apa visi dan misinya. Gen Z hanya perlu terlibat bersama rakyat untuk mengawal proses demokrasi yang sehat, kritis terhadap juru kampanye yang masuk kampung untuk bicara gagasan jagoannya. 

Agar gen Z tak sekadar mengurus dirinya, terpaku di hal teknis seperti bagaimana pindah memilih, atau ikut kerumunan massa yang sekadar ikut-ikutan mendukung satu paslon tanpa menyertakan nalar kritis.

Gen Z perlu mendorong itu semua bersama rakyat yang tadi hanya didatangi ketika masa-masa kampanye seperti hari ini, menyelamatkan rakyat dari tipu muslihat para juru kampanye. Memastikan bagaimana budaya serangan fajar tidak membentuk mental koruptor pejabat dan sekaligus jadi Pendidikan politik masyarakat—yang mungkin kadung sudah bermental serangan fajar.

Gen Z yang notabene bagian dari masyarakat sipil harus kuat, tidak boleh lemah. Sebab bila kaum muda sudah kuat, kita tidak memerlukan lagi pemimpin yang kuat nan gagah berlagak jago—apalagi cuma mengandalkan joget-joget nir makna.

Bayangkan di tiap debat, gagasannya nyaris tidak ada, kecuali suara yang setengah berteriak dan atraksi joget yang tidak mungkin digunakan ketika berhadapan dengan rakyat.

Sekali lagi, gen Z perlu mempersenjatai diri dengan nalar kritis mengawal proses demokrasi ini. Tanpa nalar kritis, gen Z hanya buih yang mudah terombang-ambing oleh janji kampanye dan gula-gula visi-misi yang tak pernah kita evaluasi dan perdebatkan secara substansi.

Memastikan proses demokrasi benar-benar menjadi ajang rakyat punya kuasa, dan bukan di tangan para konglomerat yang berada di balik semua paslon yang siap memiskinkan rakyat serta memperlebar jurang kesenjangan sosial selepas pesta besar pemilu mendatang.


Penulis: Panji Nugroho

Ilustrasi: Hisam

Scroll to Top