“Kalau teman-temanmu tanya/ kenapa bapakmu dicari cari Polisi/ Jawab saja:/ karena bapakku orang berani” -Wiji Thukul
***
Saya pernah menjumpainya dalam pertunjukan. Waktu saya kuliah di tahun-tahun 90-an. Seseorang yang berbaju lusuh, kurus dengan rambut agak semrawut. Teman saya waktu itu bilang ia penyair kiri. Kata yang cukup untuk membuat gemetar siapa saja karena itulah yang dimusuhi kala itu. Bukan hanya permusuhan tapi pembantaian, pemenjaraan dan pemusnahan hak-hak mereka. Saya tak bisa menerka azab apa yang diberikan untuk Soeharto di alam kubur mengingat dosanya yang luar biasa.
Termasuk melenyapkan penyair yang kata-katanya seperti peluru. Wiji Thukul bukan Rendra apalagi Sutardji sang Presiden Penyair. Wiji Thukul bukan pula Joko Pinurbo apalagi Sapardi Djoko Damono. Puisinya tak bicara soal tapak kaki di hujan bulan juni atau celana yang capek karena membawa kaki pemakainya. Puisinya seperti berita panas bagi penguasa: penggusuran, penyiksaan hingga tekanan hidup orang-orang miskin.
Syairnya mirip sebuah tikaman. Soeharto yang tak banyak bicara, lebih suka membangun apa saja dan kritik padanya mulai curiga. Puisi ini bisa menjadi bencana kalau dibiarkan mengalir kemana-mana. Terutama jika kalimatnya dibaca dalam udara demontrasi atau dipakai untuk pertemuan anak muda. Puisi ini dapat mengubah rasa takut menjadi sikap tanpa ragu sama sekali. Puisi ini mampu menawarkan keberanian dalam dosis yang tak bisa diduga. Wiji Thukul lebih persisnya bukan penyair tapi pencipta harapan baru.
Aparat bersenjata yang pertama kali menangkapnya. Mereka tak pernah menyukai syair dan tak paham dengan isinya. Imaginasinya hanya pada peluru, seragam dan pukulan. Tak terbetik sama sekali betapa puisi itu pelita jiwa atau penuntun nurani. Hidup mereka mirip kegiatan baris-berbaris: teratur, berseragam dan tak boleh berbeda. Kalau ada kalimat yang dihapal tentulah kata NKRI Harga Mati! Wiji Thukul membalas dengan puisi yang dikenal siapa saja: hanya satu kata LAWAN!
Dipukul, dianiaya dan diburu jadi pengalaman yang memperkaya rohaninya. Wiji Thukul seperti ditugaskan oleh Tuhan dengan misi seperti Musa: berikan peringatan pada Soeharto melalui puisimu. Persis seperti Musa dirinya diburu kemana-mana dan harus bersembunyi dimana saja. Pada film “Matinya Kata-Kata” sang penyair itu hidup di pengasingan dengan modal kertas dan pena. Masih menulis puisi karena itulah mukjizat yang diberikan Tuhan untuknya.
Kita tak lagi tahu dimana Wiji Thukul itu berada. Kaum Pemuda Pancasila waktu pameran lukisan Wiji Thukul sempat curiga dirinya ada di tempat acara. Mereka meyakini Wiji Thukul masih hidup, berpengaruh dan berbahaya. Sebuah keyakinan yang sepenuhnya benar dan menjadi cerminan zaman yang sebenarnya tak banyak berubah. Zaman yang masih bersimbah kekerasan, penggusuran bahkan permusuhan antar sesama warga. Sebuah era yang dulu dilukiskan dengan indah dalam puisinya:
Di desa desa
Rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa guna baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Wiji Thukul kini pulang kembali. Melalui film “Nyanyian Akar Rumput” sang penyair itu datang untuk menyapa generasi baru. Mereka yang belum pernah bertemu denganya, yang tak pernah menyaksikan penampilanya tapi punya perjuangan sama. Melawan ketidak-adilan, menyeret pelaku kejahatan kemanusiaan dan menuntut terpenuhinya hak-hak korban. Gema tuntutan itu kini diabadikan dalam perjalanan penyair bersama keluarganya.
Keluarga yang dibesarkan oleh puisi. Kini puisi itu tumbuh menjadi melodi, tumbuh menjadi gerakan lalu mekar dalam ingatan banyak anak muda. Puisi itu menjangkau bukan hanya pada keluarga tapi suara protes yang tumbuh dimana-mana. Puisi itu telah menghidupkan lagi Wiji Thukul, meluapkan kembali semangatnya dan meyentuh bersama dengan ikatan perlawanan yang muncul kembali. Wiji Thukul tak hanya menjadi peluru tapi suluh bagi dunia gerakan.
Luapan puisi yang tenaganya perkasa itu kembali bergema. Mengutuk apa yang kita kutuk hari ini, mencerca apa yang selama ini kita maki dan membawa kita untuk merenungkan perjalanan seorang pejuang. Pejuang kemanusiaan itu boleh dibunuh, dilenyapkan atau bahkan namanya hendak dihapus: tapi semangatnya diwariskan pada siapa saja yang pernah membaca puisinya. Sebuah puisi bukan deretan baris yang musti direnungkan maknanya, tapi puisi seperti letusan nyalak peluru yang bisa meledakkan siapa yang ditentangnya. Wiji Thukul mampu melakukannya.
Sambutlah kedatangan Wiji Thukul dalam film Nyanyian Akar Rumput. (EP)
Komentar ditutup.