PULANG

 

Melki AS – [Pegiat Sastra Suluh SMI]

***

Setelah gempa meluluhlantahkan rumahnya 2006 silam, Kusmin terpaksa hijrah dari Bantul ke Kulonprogo. Bukan tanpa alasan ia mengajak hijrah istri serta ketiga anaknya kesini. Ia cukup trauma pasca kedua mertuanya meninggal tertimbun genting dan bangunan rumah yang memang sudah rapuh. Meskipun kemudian mereka mendapat bantuan untuk membangun kembali rumah tersebut. Akan tetapi perasaan dihantui kejadian serupa membuat ia merelakan pergi dari separuh kenangan yang dibangunnya bersama sang istri. Dan hijrah kesini sama saja dengan kembali ke tempat dimana separuh perjalanan kanak-kanaknya bermula.

Di kota kabupaten ini Kusmin sama sekali tidak asing. Tidak banyak yang berubah selain rumah tua tempat dimana ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya dahulu. Para tetangga pun hampir semua dikenalnya. Semua masih sama, masih hangat seperti dahulu. Mereka saling menyapa satu sama lain. Bahkan tak jarang mereka berpelukan melepas rindu. Disini Kusmin memulai kembali kehidupannya.

***

“Min, Pak De turut berduka cita atas musibah kamu sekeluarga. Maaf Pak De dan Budemu belum bisa kesana kemarin” ujar lelaki paruh baya yang dikenal sebagai Sumaryanto.

“Njih De, mboten nopo-nopo. Semua sudah kehendak yang Maha Kuasa” Kusmin menimpali. “Randi dan Tina pripun kabare De? Kata De Sum sekarang mereka sudah kerja di Jakarta?”

“Iya. Dua anak itu susah sekali kalau disuruh bantu bapaknya di sawah. Maunya kerja di kota Min. Tadinya Randi sudah duluan. Eh Tina ikutan nyusul setelah tamat SMA. Kamu jadi menggarap ladang peninggalan kakekmu itu Min? Sebaiknya begitu, soalnya sudah lama tidak digarap. Dan ilalang sudah tumbuh memenuhi keseluruhan tanah”.

“Jadi De. Soalnya mau kerja apa lagi aku disini. Cuma itu saja yang ditinggalkan simbah”.

 

Setelah selesai berbincang-bincang, Kusmin langsung menuju ladang yang tidak begitu jauh dari rumah kakeknya. Ia sudah membawa cangkul dan arit untuk menebas seluruh ilalang yang ada. Serta mulai menggemburkan tanah. Rencanannya ia akan menanam semangka kuning. Kebetulan dulu pernah ikut penyuluhan pertanian sewaktu di balai desa. Tak terasa hari makin meninggi, dan sudah tak terkira peluh keringat ia kucurkan hari itu. Khadijah, sang istri, memanggilnya untuk istirahat, sholat dan melepas dahaga dan lapar. Kusmin bergegas. Memang perutnya sudah keroncongan dari tadi. Apalagi tenaga yang dikeluarkan cukup banyak.

Malamnya, selepas isya, Kusmin dan Khadijah bersantai di kursi bambu panjang yang dibuat didepan rumah. Anak-anak tampak belajar. Dan sesekali mereka terlihat kesal mengusir nyamuk-nyamuk yang menggigit. Tapi ini hanya awal saja. Toh nanti mereka akan terbiasa juga. Suara-suara tokek dan sesekali kibasan selendang Khadijah menemani malam pertama mereka setelah pulang kembali ke kampung halaman Kusmin.

 

***

Hari berlalu, tahun pun berganti dan tak terasa sudah hampir lima belas tahun Kusmin bertani di ladang peninggalan kakeknya tersebut. Kehidupannya beserta keluarga berangsur baik. Meskipun harga semangka kadang naik kadang turun. Tetapi itu tidak masalah selama pertanian itu masih berjalan dan persediaan air masih mengalir. Kini ia sudah pula merehab rumah peninggalan tersebut. Bangunan reyot itu sudah menjadi agak semi permanen. Dan sudah ada pagar meskipun masih terbuat dari bilah-bilah bambu. Disamping rumah ada sebuah gubuk kecil yang dijadikan gudang untuk meletakkan hasil panen sementara waktu sebelum diangkut penjual. Sekolah anak-anak lancar. Arman, anaknya yang pertama sudah kuliah semester empat di jurusan agroteknologi di Tamansiswa. Yang kedua, Dhani, sudah kelas tiga SMA dan sebentar lagi ujian. Dan si bungsu Talita tahun depan akan masuk SMA.

Sesekali Kusmin pergi ke pasar untuk melihat perkembangan harga pasaran yang ada. Karena penjualan semangka sesungguhnya sangat bergantung pada musim. Kalau musim hujan, maka harga agak anjlok. Kalau musim panas, harga agak membaik. Disitu Kusmin mencoba membuat perimbangan harga, mulai dari pengambilan di gudang sampai penjualan di pasar. Karena prinsipnya adalah tidak ada yang boleh dirugikan dalam urusan perniagaan tersebut. Itu yang selalu dipegangnya terus meski hidup masih terbilang pas-pas-an. Karena hal itulah Kusmin disegani sekaligus dihormati oleh para pedagang semangka. Kusmin paling anti melepas hasil panennya kepada tengkulak, yang menurutnya tidak fair, tidak adil bagi nasib petani dan penjual eceran.

Sampai akhirnya datang isu tentang pembangunan perumahan nasional dan beberapa destinasi wisata yang akan segera dimulai di daerah tersebut. Pembangunan itu rencananya akan bertempat di lahan 20 hektar di wilayah dimana Kusmin dan para petani berpeluh keringat saban harinya. Pastilah rencana ini membuat mereka cemas bukan kepalang. Was-was dan khawatir selalu menghantui akan dampaknya. Beberapa kali warga masyarakat berkonsultasi dengan kepala desa. Mereka menanyakan apakah kemudian lahan pertaniannya akan ikut terdampak dari pembangunan tersebut. Dan apakah mereka akan mendapatkan ganti rugi yang layak dari pembangunanitu.

Termasuk Kusmin yang juga tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Toh walaupun ia tidak terlalu was-was, tapi tetap saja ada ketakutan. Karena desas desus yang beredar mengatakan bahwa tanah yang ada di lokasi tersebut bukan hak milik warga meskipun sudah digunakan berpuluh-puluh tahun dari zaman nenek moyangnya. Kendati begitu, Kusmin percaya bahwa ada jalan keluar yang akan dipersiapkan oleh pemerintah maupun pengembang. Baginya persoalan sekarang ini bukan pada tidak setuju dibangunnya perumnas dan destinasi wisata baru tersebut. Bahkan ia mendukung upaya percepatan pembangunan agar kota kabupaten ini bisa berkembang dan mampu bersaing dengan kota lainnya. Dan yang jelas bisa lebih cantik dari sebelumnya.

Tapi ketika kepala desa memberitahukan bahwa semua yang berada di wilayah pengembangan tersebut akan mendapat ganti rugi dan dipindahkan ke tempat yang baru, disini Kusmin menjadi gusar. Ia tidak menyangka kalau pembangunan tersebut bakal menyasar sampai ke rumah peninggalan kakek buyutnya itu. Dan ini akan menjadi hal yang tidak sepele.  Baginya ini bukan masalah berpindah tempat semata. Tetapi terlalu banyak hal yang membuatnya tidak bisa untuk lekang dari tempat tersebut. Meninggalkan tempat dan rumah tersebut sama halnya melepaskan semuanya yang dia punya. Hidup semasa kanak-kanak, sampai beranak pinak sampai sekarang. Selain itu, tempat tersebut bukan saja sebatas tempat biasa bagi Kusmin. Apalagi rumah yang telah pula di tempatinya itu. Orang bisa men-cap-nya mencla-mencle, tetapi bagi Kusmin, rumah itu adalah harga diri sekaligus kebanggaan yang tidak bisa ia kompensasikan untuk hal apapun. Karena disanalah ia yang yatim piatu menenun hidup sampai sekarang ini. Tadinya ia berpikir kalau ladangnya yang tergusur maka itu tidak mengapa. Toh akan dapat penggantinya. Tapi kalau soal rumah, bahkan darah pun tidak bisa membayarnya. Begitu Kusmin secara keukeuh mempertahankan sepetak rumah kecil sederhana tersebut.

Tetapi kuasa berkata lain. Meskipun berkali-kali ia menolak penggusuran rumahnya, akhirnya ia tetap tergusur pula. Segala yang dilakukannya seakan menguap tatkala ia menemukan pengalaman yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya. Ia saksi dari bagaimana orang-orang yang dipercayainya, diperlakukan sama baik seperti ia memperlakukan keluarganya sendiri, tapi pada akhirnya berbalik menentang bahkan mulai menghinakan keluarganya dengan berbagai hasutan-hasutan. Semua ini tak terlepas dari sederet iming-iming yang ditawarkan pengembang pada masyarakat. Ternyata hal itu ampuh untuk menyingkirkan mereka yang masih bertahan. Termasuk Kusmin beserta keluarganya.

“Untuk anak-anakku semua, perlu kalian ketahui bahwa kemiskinan itu bukan takdir Tuhan, melainkan diciptakan oleh sistem yang ada. Feodal itu bukan bentuk, melainkan jiwa yang tertanam. Jadi hati-hatilah memilah. Kalian sudah besar, maka itu arif-lah dalam bertindak. Dan jangan terlalu percaya sepenuhnya pada semua orang. Harga diri perlu kalian pertahankan meskipun harus melawan. Baik kiranya kalian belajar berhitung, tetapi belajar apa yang perlu diperhitungkan di dunia ini itu akan lebih baik”.

Itu isi surat yang diberikan Khadijah kepada anak-anaknya setelah Kusmin memutuskan untuk jadi kuli di negeri orang. Kini tak ada lagi ladang yang bisa di garap. Tak ada nyamuk yang berterbangan dipingir telinga. Tak ada lagi suara-suara jangkrik dan tokek yang biasa memekakkan malam. Memang pasca penggusuran, Kusmin beserta keluarga hijrah lagi dan ngontrak bedengan di pinggir kota. Uang ganti rugi sudah ludes untuk bayar ini dan itu. Kini untuk menutup kebutuhan, Khadijah ngasong kopi di malam hari. Tapi kebutuhan selalu tidak mencukupi. Sampai akhirnya ia memutuskan jadi TKI.

“Bapak pasti pulang. Kita akan bangun kembali keluarga ini secara utuh. Dan kita akan punya tanah lagi. Tanah milik sendiri yang sesuai amanah republik. Di tanah itu kita akan berladang dan bangun kembali tempat tinggal tanpa takut tergusur” demikian Khadijah berbisik pada anak-anaknya yang berlinang air mata.

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top