POLITIK MENUJU KEMANA?

“Berbaris Terpisah dan Memukul Bersama”- Plekhanov

Foto Sea Games itu mendapat respon luar biasa: berangkulan Prabowo dengan Jakowi. Gambar yang seakan menunjukkan keakraban, kedekatan serta tak ada perbedaan. Tindakan dua figur itu menuai banyak tanggapan positif. Foto ini seolah ingin meyakinkan pada publik kalau pertarungan politik tak harus membawa semua tindakan keji: saling memfitnah, menularkan kebencian dan mencurigai.

Pesan damai itu berlangsung singkat. Tapi jadi fenomenal karena media sosial memproduksinya. Sama halnya ketika media sosial memberi kabar tentang Neno Warisman yang kegiatanya kampanye ganti Presiden dihalang-halangi. Seakan ada suasana otoriter yang berlangsung dan ada ketidak-netralan aparat dalam menanganinya.

Mungkin itulah cerminan politik hari-hari ini: ada usaha untuk membawa pesan kalau kompetisi ini berjalan aman tapi juga ada indikasi kalau kegiatan politik dapat mengancam. Setidaknya melihat apa yang terjadi di lapangan kita memang cemas politik akan membawa sebuah situasi yang saling berseteru dengan memaksimalkan modal politik apa saja.

Potensinya terbuka karena kita mengulang pertarungan dengan kandidat yang sama. Gerindra dan PKS sejak Jakowi menang dalam pemilihan tak ingin berada dalam kekuasaan. Sebagai oposisi mereka terus-menerus melakukan kritik pada kebijakan Jakowi. Memang tak semua kebijakan serta tak semua usulan mereka menunjukkan hal yang berbeda.

Sikap yang sama diperankan oleh Demokrat yang melakukan kritik pada pemerintahan Jokowi. Walau batas antara kritik serta serangan pribadi itu tipis tapi kita tahu kebebasan berpendapat ini dipilih jadi norma. Melalui politisinya mereka berusaha untuk memastikan kalau rakyat memberi dukungan dan meyakini kalau sirkulasi kekuasaan itu mesti terjadi.

Medan politik ini memang dikelola dengan aturan yang tak seimbang. Batas pencalon Presiden membawa akibat tak semua kandidat terbaik bisa punya kesempatan duduk di tahta. Aturan KPU yang tegas tapi tidak diikuti membuat politisi korup dapat dicalonkan kembali. Pada sisi yang lain hukuman bagi parpol yang anggotanya korupsi tak bisa dijalankan sama sekali.

Karena itulah pertarungan ini jadi pertaruhan bahaya karena Jakowi maupun Prabowo memang ingin berkuasa. Motifnya tak mengapa tapi jika itu dijalankan dengan cara apa saja akan membuat politik jadi kegiatan sia-sia. Sia-sia karena tidak mendidik rakyat apa yang terbaik tapi melatih rakyat untuk menjalankan apa yang dianggap yang menguntungkan.

Jika itu menguntungkan untuk salah satu kandidat maka itu akan didukung dengan cara apa saja. Sedang kalau itu mengancam maka dibuat situasi yang unsurnya membatasi dan menghalangi. Strategi kemenangan ini memang dipacu pula oleh keyakinan simpel kalau kandidat disosialisasikan dengan cara sesempurna mungkin sehingga rakyat merasa berkeingina untuk memilihnya.

Politik tiba-tiba kehilangan yang intuitif: ide-ide kreatif, gagasan-gagasan yang segar bahkan joke yang lucu. Kita seperti mendapati politisi adalah orang yang membanggakan siapa yang didukungnya dan mencela apa yang disebut musuhnya. Mungkin itu sebabnya semua acara yang hadirkan politisi berjalan panas, tegang dan semua kadang bisa terperangah oleh arus pembicaraanya.

Politik juga kehilangan heroismenya: tak berani membela soal-soal prinsip bersangkut paut dengan hidup rakyat atau berkait dengan keadilan di masa lalu. Mustahil kita berharap politisi bekerja keras untuk membongkar kasus pelanggaran HAM seperti sama mustahilnya mereka memihak rakyat yang tanahnya kena gusur. Sehingga politik tak pernah berani mengajarkan pengurbanan dan tak mampu mendorong peseteruan dengan kekuatan yang punya pengaruh.

Politik lalu menghilangkan harapan terutama bagi korban keadilan atau pembangunan. Itu sebabnya kampanye disusun dalam bahasa yang abu-abu serta janji yang bisa saja dipenuhi atau tidak sama sekali. Karena ikatan dengan prinsip moralnya telah dikacaukan oleh tindakan para pengurusnya. Lihat saja bagaimana politisi yang korup yang tak dicela oleh partainya bahkan bisa ditampung lagi sebagai pengurus.

Mengandaikan perubahan radikal pasti susah. Sama halnya mendorong arus politik yang radikal tentu tak mudah. Tapi mengatakan itu mustahil dilakukan juga menghina keyakinan ideal kita tentang politik. Satu-satunya tindakan politik yang berarti dan punya makna adalah melawan atau membangkang. Proses ini bisa punya kekuatan ganda kalau dijalankan dengan cara kolektif dan bersamaan waktunya.

Itulah yang diperankan oleh Aksi Kamisan yang dilakukan puluhan tahun dengan hasil yang luar biasa. Secara kekuatan aksi ini menggandakan diri dengan cara istimewa: tak hanya berjalan di Jakarta tapi Bandung, Jogja, Malang hingga Bengkulu. Beberapa bulan yang lalu Presiden berusaha menemui mereka serta mencoba untuk menuang janji atas apa yang telah dituntut sejak dulu.

Soal Presiden nanti penuhi atau tidak itu bukan urusan utama. Tapi pertemuan itu bisa disebut sebuah kemenangan antara: tuntutan keadilan sudah didengar dan diperhitungkan. Kini menggandakan kekuatan ini jadi sebuah blok kekuatan penekan adalah soal berikutnya. Penggandaan itu dapat melalui beraneka cara tapi lebih dulu musti dikatakan kalau tindakan Aksi Kamisan itu punya misi politik yang mulia.

Aksi kamisan sebagaimana aksi tolak pabrik semen mengembalikan politik pada jalan etisnya. Menuntut apa yang mustahil dilakukan oleh rezim. Menuntut apa yang selama ini menjadi tabu dalam jagat politik Indonesia. Memastikan kalau politik itu memang musti diarahkan pada perombakan sistem melalui penyingkiran mereka yang selama ini ingin mempertahankanya.

Jika demikian maka politik tidak diarahkan pada kegiatan mensukseskan acara pemilu semata tapi mencoba untuk mengungkapkan apa yang disembunyikan selama ini. Baik penguasa atau barisan oposisi memang tak ingin meyentuh soal-soal kemanusiaan sama halnya mereka tak ingin berjuang untuk pemenuhan keadilan.

Gema itu semua kini menemukan musimnya: anak-anak muda yang menginginkan peran politik tidak sebagai peserta, petani yang mulai kecewa dengan situasi yang dialiminya, buruh yang merasa tak bisa hidup seperti yang diinginkanya dan kaum miskin yang terus-menerus digusur hak hidupnya. Lapisan ini musti berbaur dengan korban pelanggaran HAM yang telah berjuang begitu lama.

Ibarat rute permainan, Pemilu hanya babak pembuka dari sebuah kompetisi borjuis yang pantas dicampuri. Tak untuk memilih begitu saja apalagi mendukung calon yang ada. Waktunya untuk mendahulukan politik dalam makna idealnya: menuntut apa yang harusnya dipenuhi sejak dulu dan memastikan tuntutan itu digemakan oleh siapa saja. Itulah jalan politik yang pantas untuk dipilih dan diperjuangkan. (*)

Komentar ditutup.

Scroll to Top