Eko Prasetyo
Kecerdasan adalah kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan (Stephen Hawking)
***
Tiap kali saya baca laporan kualitas pendidikan selalu saja kesal. Kita bukan maju malah mundur. Laporan terkini yang judulnya: “Growing Smarter Learning & Equitable in East Asia & Pasific” buat kita heran. Vietnam yang komunis lagipula baru merdeka malah melompat tinggi mutunya. Dengan tolak ukur yang diberi tajuk: Program for International Student Assesment (PISA) dan Trend International Mathematics and Science Study (TIMSS) kita berada di posisi buncit. Ini uji kemampuan sains, membaca dan matematika.
Kemampuan dasar ini diraih oleh Vietnam karena alokasi budgetnya. Padahal pendapatan per kapitanya jauh di bawah kita. Kata Bank Dunia Vietnam pendapatan per kapita setengah dari Indonesia, yakni 5.668 dollar AS. Lazimnya dengan pendapatan sebesar itu maka skor PISA mustinya 394, tapi malah melonjak 525. Indonesia kebalikanya: pendapatan per kapita 10.385 dollar AS diperkirakan bisa raih skor tinggi 422 tapi kenyataanya skornya hanya 403. Lebih pedih lagi Data Bank Dunia menunjukkan 10 persen siswa kelas 2 SD belum bisa baca padahal angka partisipasi kasar (APK) sudah mencapai 97%. Data yang bikin kita heran dan bertanya-tanya kenapa bisa seperti ini?
Apakah ini karena mutu tenaga pendidiknya?
Mungkin memang akarnya disini. Secara jumlah stok guru kita berlimpah. Sekarang ini tiap tahun sarjana pendidikan mencapai angka 260.000. Jumlah sekolah yang didik calon guru (namanya LPTK) terus tambah. Data dari Kementrian Riset, Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi tahun 2016 jumlah LPTK mencapai 421. LPTK itulah yang mendidik calon guru yang ideal. Dirumuskan dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disyaratkan bahwa kemampuan profesional dapat dicapai jika guru punya empat kompetensi: pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Mencapai itu semua harus melalui pendidikan profesi. Ironisnya yang terserap dalam pendidikan profesi sangat terbatas: sekitar 27.000 orang.
Itu karena LPTK yang ada kualitasnya belum standar. Laporan Kompas sejak senen yang lalu memberi info menyedihkan: hanya 18 LPTK yang terakreditasi A dan 81 yang terakreditasi B. Dari sisi program studi hanya 209 yang terakreditasi A dan terakreditasi B hanya 811 program studi. Kacaunya lagi antara program studi yang dibuka dengan kebutuhan sekolah tak seimbang. Contohnya sarjana pendidikan Ekonomi melimpah tapi LPTK program studi ini masih dibuka dalam jumlah banyak dan diserbu oleh mahasiswa pula. Sebaliknya kebutuhan sarjana Seni Rupa masih tinggi, 3.801 guru tapi sarjana pendidikan seni rupa hanya 964 orang. Heranya apa yang buka LPTK tak baca data ini atau memang tak mau tahu dengan ini data! Pada tahapan izin kenapa diperbolehkan membuka jurusan yang sudah kelebihan sementara tak ada bimbingan untuk buka jurusan yang dibutuhkan?!
Efeknya pada mutu guru. Hasil kompetensi guru tahun 2015 menunjukkan nilai rata-rata hanya 56.69. Malah kluster guru SD lebih parah: yaitu 54,33. Nilai rata-rata tertinggi diraih kluster guru SMA yaitu 61,74. Padahal materi yang diujikan itu hanya dua yakni kemampuan pedagogik dan kemampuan profesional. Hal yang sama terjadi juga pada sarjana pendidikan yang baru lulus untuk direkrut mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) banyak yang tak memenuhi syarat. Bisa dilihat hal ini pada batas lulus ujian nasional (UTN) yang meliputi kompetensi pedagogik, bidang ilmu dan bahasa Inggris. Ketika batas lulus UTN dipatok 50 kelulusan sempat mencapai 93 persen, tapi saat batas lulus dinaikkan 65, batas lulus menjadi 90 persen. Ini nilai ujian yang pesertanya adalah guru yang sudah mengajar, peserta PPG yang terintegrasi dan sebagian adalah Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM -3T). Kita benar-benar mendapat SDM yang boleh dibilang di bawah harapan ideal!
Jadi mutu sekolah guru bermasalah. Ini akarnya yang paling mendasar. Wajar jika kemudian ada yang mencari guru bukan dari sekolah keguruan. Banyak yang ambil dari lulusan PT umum yang berkualitas baik. Tapi ini jalan keluar yang ‘sesat’ karena kita kemudian memilih langkah yang pragmatis ketimbang berusaha memperbaiki prosesnya. Prosesnya berakar pada LPTK yang dibuka di banyak kawasan tanpa mengontrol mutunya. Ada LPTK yang terdaftar dalam Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tapi tidak terakreditasi sehingga mahasiswanya tak bisa mendaftar PPG (Pendidikan Profesi Guru) Meski akreditasi LPTK C tapi syarat berikutnya jurusanya linear dengan mata pelajaran yang diampu serta dipastikan tidak lebih dari 28 tahun per 31 Desember 2018. Panjang, rumit tapi mungkin itulah cara terampuh untuk memperbaiki mutu GURU.
Hanya soalnya apakah memang musti melalui prosedur yang panjang itu guna memenuhi mutu guru? Kita terlanjur meliberalkan proses pendirian LPTK sehingga meluluskan banyak guru yang kualitasnya beragam rasa. Dan mereka yang tak bisa ikut PPG kemudian menjatuhkan pilihan pada guru honorer. Tetap saja mereka berhadapan dengan siswa meski statusnya honorer. Bisa dilukiskan bagaimana guru mengajar siswa sementara dirinya tahu sulit sekali memperbaiki nasibnya: LPTK tak terakreditasi, susah mencapai posisi sebagai guru negeri dan mustahil raih sertifikasi. Situasi kalah yang beruntun ini tentu akan membawa nasib buruk bagi siswa yang diajarnya. Kita musti bisa keluar dari lorong birokrasi pendidikan guru yang rumit, birokratis dan lama ini. Soalnya sudah gawat dan tak masuk akal lagi. Perlu keberanian dan saran yang lebih progresif untuk memperbaiki masa depan pendidikan kita.
Bersambung …
[Sejumlah data artikel ini diperoleh dari laporan serial Kompas tentang guru yang muncul sejak 12 Maret 2018. Artikel ini disusun secara bersambung untuk melihat mutu, kualitas dan mencari jalan keluar dari soal pendidikan yang rumit dan kompleks]