Pemilu dan Jalan Buntu Aktivis 98

“Bangsa-bangsa dewasa ini tak mungkin mencegah warganya berstatus setara, tetapi semua tergantung pada mereka sendiri apakah kesetaraan itu membawa mereka ke perbudakan atau kemerdekaan, ke pencerahan atau barbarisme, ke kemakmuraan atau kesengsaraan” (Tocqueville)

Para aktivis PRD seperti bangkit dari kubur. Mereka mengecam sikap Budiman Sudjatmiko yang akhirnya bergabung bersama Prabowo. Tuduhan Prabowo sebagai penculik bergema kembali dan mereka mengutuk pilihan politik Budiman. Politisi PDIP yang kemudian dipecat itu adalah pendiri dan pernah jadi ketua PRD. Politik perlawananya di masa Orde Baru tercatat oleh sejarah hingga keputusanya untuk bergabung ke PDIP dianggap sebagai rute yang seharusnya ditempuh seorang aktivis –meski tak semua angkatan Budiman memilih jalur sebagaimana dirinya; menjadi politisi, lalu memerankan diri sebagai aktor yang terus mencari peluang untuk tetap berpengaruh. Sikap loyalnya pada Prabowo hanya petunjuk singkat betapa taktiknya berpolitik tak beda dengan politisi lainnya: dibimbing bukan oleh teori, tapi oleh caranya melihat kesempatan.

Tapi tak semua aktivis PRD memilih berlabuh dengan Prabowo. Baru saja rombongan aktivis yang terdiri dari berbagai angkatan menyatakan dukungan untuk koalisi Anies-Cak Imin (AMIN). Kedua calon pemimpin negara itu adalah aktivis yang telah berjuang melawan Orde Baru dan memiliki modal besar dalam menegakkan demokrasi. Mereka memilih capres dan cawapres itu karena pertimbangan sejarah dan kepercayaan atas kemampuan keduanya. Ratusan aktivis dengan identitas heroiknya berusaha untuk meyakinkan anak-anak muda untuk bergabung bersama. Tak ada tuntutan politik progresif yang dicantumkan untuk memastikan agenda perubahan sosial apa yang mau dicanangkan oleh kedua calon ini. Para aktivis yang punya reputasi dan pengalaman yang tak sedikit terlihat seperti rombongan fans yang meletakkan posisi Anies dan Cak Imin sebagai idolanya. Hal yang sama juga saya temukan pada pendukung Ganjar yang sebagian juga diprakarsai oleh aktivis senior yang punya jejak perlawanan heroik. 

Para aktivis yang dulu menumbangkan Soeharto itu memang punya pengalaman paripurna. Pernah diculik, sebagian di penjara, dan berulang-ulang mendapatkan represi. Bagi mereka, masa lalu yang heroik itu menjadi identitas sejarah yang tak bisa dikubur: mereka merasa lebih tahu pedihnya berjuang di era otoriter, merasa lebih paham bagaimana kejinya kediktatoran dan yakin bahwa karena mereka demokrasi itu bisa tegak. Posisi moral yang tak bisa digugat itu membuat mereka merasa jadi aktor sejarah yang penting dan harus ikut menentukan siapa pemimpin di masa depan. Sebagian bahkan dengan yakin kalau pilihan politik mereka itu melalui pertimbangan, diskusi, dan berkaca dari pengalaman. Reputasi mereka di masa lalu jadi sinyal betapa pandangan politik mereka tak bisa diremehkan. Bagi mereka pilihan politik itu bukan hanya menentukan masa depan mereka tapi juga nasib jutaan rakyat lainya. Legenda masa lalu telah membuat mereka merasa benar dan percaya diri.

Pada masa lalu, Jokowi juga diangkat dengan antusiasme semacam ini. Para aktivis anti-Orba melihat bahwa Jokowi adalah kandidat terbaik. Pria asal Solo yang kelihatanya sederhana ini dianggap sebagai antitesis Orba yang identik dengan militerisme dan konglomerasi. Mereka melakukan apa saja demi kemenangan Jokowi: mendirikan barisan relawan, menggelar berbagai pertemuan hingga melakukan berbagai manuver politik. Jokowi seperti pahlawan yang diharapkan mampu mendorong demokrasi ke arah yang lebih progresif, lebih berpihak, dan lebih berani. Sayangnya fantasi itu memudar karena Jokowi kian mirip dengan penguasa Orba. Pendekatan kekuasaanya represif, agenda politiknya disetir oligarki, dan terdapat tendensi ingin mendirikan dinasti. Serangan dan kritik pada Jokowi berhadapan dengan pasal kriminalisasi dan bahkan Jokowi telah mengubur oposisi. Kekeliruan dukungan itu tidak menjadi bahan refleksi, bahkan sebagian malah keterusan menjadi pengikut Jokowi. Para aktivis yang dapat kedudukan itu malah memilih berperan sebagai elit politik yang membiarkan adanya pembajakan demokrasi.

Kini mereka seperti mengulang sejarah: berkumpul, menyatakan identitas, lalu mengajak untuk memilih kandidat tertentu. Sikap yang hampir dipastikan akan berakhir dengan skenario yang sama: dukungan dimanipulasi dan jika menang, paling beberapa akan memperoleh posisi. Tapi para aktivis melupakan fakta bahwa kandidat ini muncul tidak karena pilihan mereka dan bukan hanya mereka yang memperjuangkannya. Para kandidat ini adalah pilihan para ketua parpol yang dipertimbangkan secara pragmatis. Terpilih karena opini lembaga survei dan dipilih setelah melalui selera ketum parpol masing-masing. Para kandidat capres dan cawapres ini bukanlah ‘aktivis’ seperti mereka yang pernah menghuni penjara, tidak mengalami penyiksaan bahkan tidak ada pikiran politik radikal yang sudah ditulisnya. Mereka adalah politisi sebagaimana politisi pada umumnya: memiliki pengalaman sebagai elite, pernah mengkhianati prinsip demokrasi, bahkan membiarkan diri didukung oleh oligarki. Benar mereka tidak ideal. Mendukung mereka dengan petisi yang mengatas-namakan aktivis hanya merusak sejarah masa lalu.

Masa lalu yang dulu jadi bagian hidup mereka. Memperjuangkan perubahan politik dengan pengetahuan dan aksi politik yang alternatif. Membesarkan ide demokrasi lewat berbagai metode yang kreatif. Bahkan secara berani mengorganisir perlawanan di tengah tekanan politik militer yang mengancam nyawa. Sebagian diantara mereka hilang hingga kini. Masa lalu yang membawa mereka mendapat sebutan yang sangat terhormat: aktivis dan pahlawan reformasi. Tapi masa lalu itu pula yang memenjarakan dunia mereka: tidak lagi melihat capres dengan sikap sangsi dan pikiran yang curiga. Bahkan melihat kenyataan politik bukan dengan keinginan untuk mengubah tapi lebih berusaha memahami. Hingga wajar jika kemudian sikap politik yang muncul adalah dukung mendukung bukan berupaya keras untuk membangun komite politik yang mandiri. Padahal rakyat yang dulu mereka bela adalah rakyat yang sama: masih mengalami ketidak-adilan dan kini terancam hak miliknya. 

Dukung-mendukung membuat para aktivis seperti kehilangan pedoman dan prinsip. Dari sejak Jokowi mereka seperti diperdaya oleh pesona pribadi yang diglorifikasi begitu rupa. Bagi mereka, seorang calon pemimpin cukup dengan menunjukkan ‘penampilan’, bukan dengan pikiran dan keberanian. Pragmatisme berpikir ini mungkin dipengaruhi oleh situasi politik dan pandangan oportunis yang kini jadi gejala umum: memahami politik hanya sebagai upaya untuk duduk di kursi kekuasaan, memaknai politik hanya sebatas bagaimana memperjuangkan kepentingan kelompoknya, dan memilih strategi mana yang paling memungkinkan untuk menang. Politik telah jadi ‘permainan taktik’, di mana setiap orang berupaya untuk memenangkan kandidatnya. Maka politik tidak dihidupkan dengan naluri aktivis melainkan siasat para politisi: arenanya bukan tukar menukar gagasan, tapi tentang sedikit banyaknya mobilisasi; pertarunganya bukan bagaimana menghidupkan ide-ide perlawanan, melainkan upaya untuk memastikan arah dukungan. Karenanya, para aktivis yang dulunya heroik itu seperti kehilangan jejak masa lalunya. 

Masa lalu itu hanya menjadi tanda pengenal bagi dirinya. Sayangnya, itu dibaca oleh generasi millenial tidak lagi dengan bangga, tapi dengan sangsi dan curiga. Makin kritis mereka melihat ‘peran’ dari angkatan 90-an dan sebelumnya: benarkah mereka adalah aktor satu-satunya yang menumbangkan Orba, apa mereka masih konsisten memperjuangkan misi reformasi,dan bukankah mereka harusnya ikut bertanggung jawab atas rusaknya demokrasi dan munculnya politik dinasti? Bagai dentuman pertanyaan itu bersangkut paut dengan ‘integritas dan keyakinan politik aktivis. Karenanya memilih untuk dukung mendukung kandidat tertentu hanya menunjukkan betapa ‘miskinnya’ imajinasi yang ada di tubuh gerakan. Padahal, tanpa imajinasi: politik hanya pertarungan antar kepentingan yang digerakkan oleh naluri untuk menang. Tanpa imajinasi, politik sekadar permainan uang dan taktik. Merawat imajinasi tidak didasarkan pada masa lalu tapi bagaimana melihat hari ini dan masa depan. Melalui imajinasi yang dibimbing oleh pengetahuan dan pengalaman maka politik tidak bergerak dengan ‘atas nama’ tapi ‘atas nilai’.

Nilai yang makin hilang itu membuat politik kehilangan legitimasi. Para aktivis ini  terseret oleh permainan politik yang berbahaya. Setidaknya ada tiga ancaman yang bisa memperburuk demokrasi dengan permainan dukung-mendukung ini: yang utama politik kehilangan kemampuan melahirkan gagasan alternatif karena terjebak pada pertarungan antar figur. Diam-diam para aktivis meneguhkan status quo karena melalui dukungan itu mereka membiarkan aturan presidensial treshold yang selama ini mempersempit munculnya kandidat alternatif. Di samping itu politik juga kehilangan kemampuan progresifnya karena dukung-mendukung telah menciutkan politik hanya sebagai arena untuk adu mobilisasi. Sosiolog Ivan Ermakoff menyebutnya sebagai: kolusi ideologis, di mana agenda kekuasaan punya banyak kesamaan dengan agenda para aktivis. Lewat gelombang dukung-mendukung, politik kemudian kehilangan kemampuanya untuk empatik, terutama pada korban kejahatan rezim. Padahal di atas landasan nilai empatik itulah para aktivis mendapatkan pamor dan posisi. Makin sering praktek dukung-mendukung politik dilakukan kian sulit kita berharap adanya perubahan. Sebab perubahan itu telah dibunuh oleh para aktivisnya sendiri.


Penulis: Eko Prasetyo

Ilustrator: Hisam

Editor: Langit

Scroll to Top