“Ayo! Ayo! Lewat sini!” seru ibu paruh baya itu di tengah sedu-sedan kerumunan bocah berseragam yang berlarian lintang-pukang. Mereka adalah siswa-siswi SD Negeri 24 Galang, Batam, Kepulauan Riau, yang mendapati gas air mata menyasar bangunan tempat mereka bersekolah. Gas air mata itu disinyalir ditembakkan oleh aparat gabungan Polri-TNI yang tengah bentrok dengan warga terdampak penggusuran proyek Rempang Eco City, tak jauh dari sekolah itu.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi belakangan menyatakan kisruh di Rempang hanya perkara “salah komunikasi di bawah”. Pemerintah, menurutnya, sudah menyiapkan lahan tinggal kompensasi seluas 500 meter dengan rumah tipe 45. Namun karena salah komunikasi, warga terus menolak. “Masak urusan begini sampai ke Presiden,” imbuhnya.
Rempang, tentu saja, bukan kasus pertama. Indonesia memiliki tak kurang contoh kasus agraria yang membenturkan warga dengan pemerintah cum swasta. Apalagi, rezim yang santer diembuskan sedang membawa Indonesia menuju negara maju ini tengah giat membangun infrastruktur.
Namun, tangisan anak-anak SD di Rempang seolah mengingatkan kita: di mana posisi rakyat dalam kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria?
Kebijakan agraria tanpa reforma agraria
Meski lamban mengikuti kemauan rakyat, Indonesia tak sebengis itu. Berpuluh tahun silam, kita pernah meretas upaya pembagian tanah secara adil kepada para tunakisma—kendati upaya itu lindap ditelan rezim developmentalis Orde Baru. Alkisah pada 1960, DPR-GR mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA tegas mengamanatkan kepemilikan tanah mesti dibatasi. Selebihnya, tanah-tanah itu diberikan kepada mereka yang benar-benar menggarapnya. Para konglomerat dan tuan tanah boleh menyingkir; para petani naik panggung menjadi kelompok yang diprioritaskan ambil bagian. Nahas, eksekusi yang kelewat sepihak membuat program ini berbuntut huru-hara. Atmosfer politik tak membantu: PKI menjelma musuh bersama dan upaya reforma agraria menuai bulan-bulanan dari segala penjuru.
Puluhan tahun tenggelam, agenda reforma agraria seolah kembali bangkit dari kubur pada era Jokowi. Presiden yang mengaku digusur berulang kali pada masa kecilnya itu mengklaim telah menjalankan reforma agraria. Meski, sialnya, dengan sedikit modifikasi. Bukan redistribusi tanah dari yang-kaya kepada yang-miskin, melainkan sertifikasi tanah-tanah tak bersurat resmi. Dengan demikian, menurutnya, rakyat kembali mendapatkan hak mereka atas tanah.
Sepandai-pandai Presiden berkilah, Roy Murtadho lebih pandai menuding: kebijakan itu tak lebih dari kebijakan agraria biasa. Ia melenceng jauh dari pengertian reforma agraria yang dihayati para petani tak bertanah: redistribusi! Untuk membedakan dengan reforma pura-pura (quasi reform) atau reforma semu (pseudo reform), Gunawan Wiradi menambatkan istilah baru: reforma agraria sejati (genuine reform). Reforma agraria sejati, menurut Gunawan, bertujuan merombak struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria untuk kepentingan rakyat kecil, yaitu petani kecil. Ia harus tegas, pasti, khusus, dan cepat.
Alih-alih memulangkan hak atas tanah kepada rakyat, sertifikasi justru membuat kepemilikan tanah-tanah tersebut menjadi semakin rentan. Mengapa? Kita hidup pada masa hukum diandaikan memiliki supremasi. Tanah-tanah bersertifikat, dengan demikian, akan lebih mudah didudukkan dalam sebuah transaksi, termasuk apabila transaksi itu melibatkan para investor. Persetan hukum adat; kejelasan status tanah bersertifikat membuat urusan ganti rugi menjadi jauh lebih sederhana. Di sini, lagi-lagi, Rempang mengirimkan sebuah pelajaran.
Ketika puluhan warga luka-luka akibat gas air mata, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto justru menyebut sengketa itu disebabkan warga selama ini tak memiliki sertifikat. Ia menyebut 600 hektare kawasan tersebut merupakan Hak Pengelolaan Lahan dari Badan Pengusahaan Batam. Itu sebabnya 16 Kampung Melayu di Rempang, mengacu hukum positif, tak absah meninggali lahan tersebut. Akibat tak punya sertifikat, proses transaksi pun tak berjalan mulus.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. boleh berdalih negara telah memberikan hak guna usaha tanah Rempang kepada Grup Artha Graha milik Tomy Winata pada 2001. Namun, hal itu tidak menghapus kenyataan bahwa warga Kampung Melayu telah menduduki tanah itu selama ratusan tahun. Bahkan, Walhi menyebut mereka telah eksis di sana sejak 1834. Klaim kepemilikan bermodal sertifikat, lagi-lagi, menjadi siasat pemerintah cum swasta untuk merebut tanah-tanah masyarakat adat. Reforma agraria sejati tidak hanya belum dijalankan, tetapi tampak semakin jauh dan musykil.
Pemilu membantu?
Jika pemerintahan hari ini dinilai gagal menjalankan reforma agraria sejati, bagaimana pemerintahan esok? Sayangnya, tak ada kandidat yang cukup berani memaparkan what we have to do untuk merombak struktur agraria yang timpang. Meski terma keadilan tak henti-hentinya keluar dari bibir para kandidat; sulit rasanya membayangkan hal itu mewujud selama akses terhadap tanah justru dikuasai oleh mereka atau orang-orang di lingkaran mereka. Pemilu adalah pintu bergembok presidential threshold dan jabat tangan dengan para oligark adalah kuncinya.
Ganjar Pranowo, tak perlu berpanjang-lebar, memiliki rekam jejak tak begitu bagus di Wadas dan Kendeng. Prabowo Subianto, tak lebih baik, justru termasuk nol sekian persen orang Indonesia yang menguasai berhektare tanah hak guna usaha. Anies Baswedan berusaha masuk di ruang-ruang itu; menyebut investasi bukan sekadar memperkaya investor, melainkan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Namun, tak ada tawaran konkret untuk merombak struktur agraria secara radikal. Dan Jakarta bukan Rempang atau Galang, kawasan hinterland yang kaya sumber daya dan “belum terjamah pembangunan”.
Maka jika debat dilangsungkan, baik di universitas maupun pesantren sekalipun, mari bertanya kepada para koalisi: siapa berani berjanji reforma agraria sejati?
Penulis: Han Revanda Putra
Ilustrasi: Hisam