‘Izinkan aku berkata kepadamu Rakyat Palestina. Kita di takdirkan untuk hidup berdampingan, di tanah yang sama, di pulau yang sama. Kami, para prajurit yang telah kembali dari pertempuran, bersimbah darah. Kami, yang telah kembali dari sebuah pulau, dimana para orangtua mengubur anak mereka. Kami, yang bertempur melawanmu, Rakyat Palestina, kami katakan padamu hari ini dengan suara lantang dan jelas, sudah cukup darah dan air mata. Cukup.’
***
Pelestina dan Israel – Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa perdamaian antara keduanya pernah terjadi. Bahkan perdamaian itu terasa begitu hangat, penuh harapan dan sangat menjanjikan tidak hanya bagi keduanya, melainkan juga bagi seluruh dunia. Mengingat bahwa perseteruan antara keduannya sudah terjadi sangat lama dan menyebabkan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Dan tak terhingga juga upaya dari banyak negara di dunia, tokoh-tokoh besar, termasuk dari kelompok dan kalangan muslim sendiri yang mencoba menjembatani persoalan keduanya. Tapi tidak satu pun yang mampu mencapai kesepakatan sebagaimana harapan yang diinginkan.
Konflik Palestina dan Israel merupakan masalah yang sangat ruwet bagi semuanya. Akar kesejarahan dalam ritus suci begitu kuat mempengaruhi keduanya. Palestina menganggap wilayah tersebut sebagai tempat suci umat Islam. Sementara Israel pun juga menganggap wilayah tersebut adalah tempat suci kaum Yahudi. begitupun dengan Kristen. Tapi konflik yang terus meletus adalah hanya di antara kalangan arab dan yahudi. Kota tua Yesrusalem menjadi titik sentral dari perebutan tersebut. Dan karenanya, hampir satu abad lamanya tempat tersebut tiada henti menumpahkan darah dan nyawa dari mereka-mereka yang berjuang dan berkorban atas nama keyakinan dan iman. Palestina, yang diorganisir oleh Organisasi Pembebeasan Palestina atau PLO tak henti melakukan perlawanan atas pencaplokan-pencaplokan yang dianggap ilegal yang dilakukan oleh Israel.
Suatu hari, bertempat di kota kecil Oslo di Norwegia – Tahun 1993 – sebuah pertemuan pertama kali di gelar untuk membicarakan masa depan kedua negara yang berseteru tersebut. Pertemuan itu merupakan pertemuan rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Hanya beberapa orang perwakilan dari Israel dan beberapa perwakilan dari Palestina. Pertemuan tersebut awalnya diinisiasi oleh Terje Rod Largen dan istrinya Mona. Terje merupakan seorang sosiolog Norwegia yang kemudian menjadi kunci utama perdamaian antara dua otoritas yang berseteru. Dan mona adalah seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Norwegia, sekaligus istri dari Terje. Tentu ini bukan kerja Terje dan Mona saja sebagai inisiator perdamaian dari Norwegia. Akan tetapi ada juga keterlibatan orang lain dalam perjanjian perdamaian ini, yaitu Holst sebagai Menteri Luar Negeri Norwegia, Ahmad Qurei atau Abu Ala – Menteri Keuangan PLO – dan Profesor Yair Hirschfeld dari Universitas Haifa yang mewakili Israel.
Inilah setting awal dari film ‘OSLO’ yang mengangkat tema sesuai nama tempat pertemuan perjanjian damai Palestina dan Israel dilaksanakan. Berawaldari pertemuan pembukaan di London, kemudian dimulai pembicaraan serius tentang perdamaian di Oslo, Norwegia. Dan karena pertemuan perdamaian ini adalah misi rahasia, makanya pertemuan-pertemuannya dilakukan secara tersembunyi dan tanpa memberitahukan negara-negara lainnya untuk ikut campur. Hanya otoritas Palestina dan Israel saja yang terlibat. Dengan di tengahi oleh para inisiator.
Bertempat di sebuah bangunan kuno peninggalan kerajaan, pertemuan pertama antara Palestina dan Israel di gelar. Dikarenakan pertemuan ini adalah rahasia, maka semua aktivitas terkait hal tersebut dilakukan secara diam-diam dan tak boleh terendus oleh pihak lain. Mulai dari penjemputan para perwakilan di bandara yang dilakukan seadanya. Sampai tempat pertemuan yang sengaja tidak di publikasikan. Di tempat tersebutlah perundingan itu dilakukan sampai ada kata sepakat. Profesor Yair Hirschfeld dan rekannya Profesor Ron Pundak mewakili Israel dan Abu Ala berserta rekannya Hassan Asfour yang mewakili otoritas resmi Palestina. Awalnya pembicaraan antara keduanya masih agak sulit dilakukan. Saling klaim antara keduanya menyeruak. Israel menganggap PLO adalah organisasi teroris dan PLO sendiri menganggap Israel telah membunuhi banyak rakyat Palestina. Peretemuan ini diharapkan keduanya bisa menghasilkan proposal perdamaian yang akan di serahkan ke pimpinan masing-masing. Dan setelah tak berapa lama, bahkan diluar target, pertemuan itu berhasil menyusun proposal perdamaian tahap awal. Tapi pertemuan berikutnya akan di gelar kembali dengan lebih menekankan pada otoritas masing-masing yang akan hadir. Karena memang sedari awal, perwakilan Israel bukanlah otoritas langsung dari pemerintahan Israel. Setelah selesai pertemuan awal, mereka semua akhirnya saling tertawa terbahak-bahak dan menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Sembari berbagi cerita dan kelucuan-kelucuan masing-masing. Saat para perwakilan akan meinggalkan tempat, Terje meminta agar sebutan untuk kedua pihak di ganti dengan yang lebih humanis. Seperti Perdana Menteri Rabin dan Pimpinan Arafat di sebut sebagai kakek. Sementara itu Simon Poeres selaku Menteri Luar Negeri Israel disebut sebagai ayah. Dan untuk Israel sendiri disebut sebagai negara kecil dan PLO di sebut dengan istilah orang seberang laut.
Pada pertemuan berikutnya, di tempat yang sama, Israel kemudian mengutus negosiator resminya, seorang dirjen dan sekaligus kepercayaan Simon Peres, Menteri Luar Negeri Israel – Uri Savir – untuk berunding dengan PLO. Di pertemuan ini tampak keadaan lebih tegang dari sebelumnya. PLO menuntut agar Israel tidak hanya menyerahkan Gaza tapi juga Yerussalem dan menyerahkan perihal keamanan kepada otoritas Palestina. Tentunya hal tersebut di tentang oleh Israel dan menganggap hal tersebut mustahil dilakukan. Ketegangan-ketegangan terus membayangi kedua belah pihak. Sampai akhirnya hal tersebut disepakai dengan poin penting bahwa tentang Gaza, Jerikho dan Yerussalem akan coba di bahas oleh Israel dan kemudian hal tersebut akan dibahas kembali pada pertemuan berikutnya lagi.
Sekembalinya Uri Savir ke Israel, proposal hasil dari pertemuan kedua disampaikan ke otoritas Israel. Awalnya Joel Singer – Penasehat Hukum Israel – sangat terkejut karena menganggap bahwa tidak mungkin Israel bersedia menyerahkan Yerussalem yang menjadi kota suci tersebut pada otoritas Palestina. Walaupun pada akhirnya pertemuan ketiga digelar kembali dengan menambah bobot pembicaraan yang makin serius. Perwakilan Israel mengikut sertakan Joel Singer untuk datang ke Oslo.
Juni 1993 – pertama datang, Joel langsung bereaksi keras dan seolah tidak suka berbasa-basi. Ia datang dengan membawa segudang pertanyaan. Walaupun awalnya ditolak oleh Abu Ala, akan tetapi kemudian semua setuju karena dikatakan Joel bahwa pertanyaan tersebut datang dan mewakili Perdana Menteri Yitzhak Rabin secara langsung. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang begitu menohok dan terkesan mendiskritkan Palestina. Terutama pada pengakuan Palestina atas kedaulatan negara Israel. Karena memang selama ini Palestina tidak pernah mengakui negara Yahudi tersebut. Perundingan berjalan keras. Tapi akhirya semua bersepakat untuk membahas hal tersebut di kemudian hari lagi setelah melaporkan ke pimpinan masing-masing dengan penekanan seperti tuntuta-tuntutan yang ada.
Juli 1993 – suatu siang yang penting, Simon Peres mengundang semua inisiator dan negosiator perdamaian di kantornya dan menjanjikan untuk segera merealisasikan semua kesepakatan yang ada. Simon berharap hal itu bisa dibicarakan lebih rinci lagi pada pertemuan berikutnya. Walaupun ada sedikit ketegangan lainnya dimana Singer dengan sengaja menghapus beberapa kesepatan dalam proposal yang telah disepakati. Ketegangan itu berlangsung sampai dalam pertemuan berikutnya. Abu Ala yang mewakili otoritas Palestina sangat murka dengan apa yang dilakukan Singer. Perundingan makin keras. Saking alotnya Abu Ala akhirnya merobek seluruh proposal kesepakatan yang sudah ada. Karena bagi PLO, Yerussalem adalah harga mati yang harus mereka perjuangkan. Kalau Yerussalem tidak berhasil di dapat maka selamanya mereka akan berperang dengan tetangganya tersebut. Karena tensi ketegangan yang tinggi, apalagi proposal kesepatankatan damai tersebut sudah dirobek, akhirnya semua pihak saling membubarkan diri. Pertemuan dianggap gagal dan tidak ada kesepatan yang bisa dilakukan. Pertemuan usai. Dan semuanya beranjak untuk meninggalkan tempat tersebut.
Tetapi sebelum meninggalkan tempat tersebut, Mona, yang sebenarnya tidak akan ikut campur tangan, kali ini meminta kepada kedua otoritas tersebut untuk memperhatikan ulang pertemuan dan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya yang sudah pernah di bahas. Serta memperhatikan harapan dari banyak pihak, termasuk keadaan rakyat yang selalu jadi korban dari konflik tersebut. Mona berharap kedua otoritas tersebut bisa duduk kembali dan memulai lagi pembicaraan damai tersebut. Lalu mereka kemudian duduk kembali dan memulai lagi pembicaraan. Pertemuan diakhir dengan beberapa kesepakatan, terutama mIsael menarik semua kemanannya dari Gaza dan Yerikho.
Agustus 1993 – Hingga suatu hari saat Terje menerima telpon dari pejabat kementerian luar negeri Israel yang mengabarkan bahwa “ayah’ akan menghadiri makan malam di Swedia dan setelahnya akan menemui Terje dan tim untuk segera merealisasikan perdamaian antara Palestina dan Israel. Terje dan timnya diminta untuk datang ke Stockholm Swedia untuk menyambungkan pembicaraan antara Simon yang mewakili Rabin untuk berbicara dengan otoritas tertinggi PLO Yasser Arafat. Dan setelah jamuan makan malam usai, peristiwa penting tentang fakta-fakta perdamaian tersebut dibicarakan. Meski hanya melalui sambungan telepon dan tidak bertatap langsung tapi keduanya sepakat untuk berdamai dan mengakhiri konflik. Dan pada September 1993, deklarasi perdamaian tersebut dtandatangani di Amerika Serikat dengan didampingi oleh Presiden AS Bill Clinton. Kesepakatan perdamaian ini disiarkan ke seluruh dunia.
Inilah perdamaian pertama kalinya antara Palestina dan Israel. Perdamaian yang semula hanya dilakukan secara rahasia akan tetapi mampu melampaui berbagai upaya yang dllakukan banyak pihak yang ada. Akan tetapi perdamaian ini tidak berlangsung lama. Pertentangan-pertentangan dari berbagai kelompok dan pihak yang berbeda pandangan di Israel semakin meningkat. Bahkan Yitzhak Rabin selaku Perdana Menteri Israel kemudian harus terbunuh oleh kelompok ekstremis yang ada di Israel sendiri. ‘Aku sangat syok terhadap kejahatan terburuk dan mengerikan ini terhadap salah satu pimpinan paling berani Israel. Dan seorang pencipta perdamaian – ujar Yasser Arafat. Seketika setelah terbunuhnya Yitzhak Rabin menjadikan konflik Palestina dan Israel pecah kembali.
‘Juli 2020 – At a summit at Camp David, the two sides convene to settle all remaining issues, determine the fate of Jerusalem, and create a Palestinian state. No agreement is reached. September 2020, Violence re-erupts in the occupied territories. The second intifada begins’. Dunia sangat menyesalkan terbunuhnya tokoh perdamaian tersebut. Karena pasca terbunuhnya Yitzhak Rabin, perdamaian antara Palestina dan Israel belum tentu bisa dilakukan kembali oleh siapapun. Hanya mereka yang berjiwa besar yang bisa dan mampu menyatukan kedua negara bertetangga itu. Karenanya, atas jasa yang ditorehkan, dunia menghargai kedua pimpinan tersebut dengan memberikan nobel perdamaian atas dedikasi dan kebesaran jiwaya untuk menyatukan dan mendamaikan kedua negara.
***
‘Atas upaya setiap orang untuk menjembatani kebencian mereka selalu disambut oleh beberapa orang yang menolak dengan tegas. Tapi apapun kesalahan yang dibuat, apapun peristiwa yang tidak diinginkan telah terjadi, aku tetap yakin jalur ini tetap layak untuk diperjuangkan. Karena jika kita tak duduk berseberangan dengan musuh kita, mendengar mereka, dan melihat mereka sebagai manusia, akan jadi seperti apa kita’.
Film OSLO adalah dokudrama yang diangkat langsung dari kejadian yang sebenarnya dari perjalanan perdamaian antara Palestina dan Israel. Film yang disutradarai oleh Bartlett Sher dan ditulis oleh J.T Roger dengan para pemain Andrew Scott sebagai Terje, Ruth Wilson sebagai Mona dan Jeff Wilsburg sebagai Uri Savir, Salim Daw sebagai Abu Ala, Sasson Gabai sebagai Simon Peres, berhasil memerankan dengan baik alur cerita, sejarah dan konflik-konflik yang ada. Meskipun keteganganya tidak begitu hebat, akan tetapi film ini sangat layak ditonton oleh kalangan mudan dan milenial. Sebab bukan tak mungkin banyak yang tidak tahu atau kurang memahami bagaimana konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel berlangsung. Serta secara fakta pernah ada upaya perdamaian yang terjadi antara keduanya. Film dokudrama ini mampu mewakili kesejarahan antara kedua negara yang sama-sama punya harapan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Akan tetapi harapan tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sebab di balik harapan tersebut, ternyata masih ada yang tidak menginginkan perdamaian antara keduanya.
Menonton film ini juga penting bagi kita agar terhindarkan dari konflik lainnya yang tidak perlu antara kaum muslim dengan yahudi ataupun keyakinan-keyakinan lainnya karena terprovokasi oleh banyaknya informasi yang berseliweran di jagad medsos dan sebagainya. Sekaligus dari film ini membuat kita untuk merenungkan kembali serta bertanya, apa mungkin karena keyakinan yang berbeda menjadikan kita pecah, umat muslim selalu berkonflik dengan yahudi, lalu darah tak henti tertumpah? Atau jangan-jangan memang hanya manusianya yang tidak berharap ada perdamaian dan tak pernah menginginkan untuk hidup berdampingan antara Palestina dan Israel. Saya pikir ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus mulai kita pikirkan dalam diri masing-masing. Selain juga persoalan tentang ekonomi dan upaya kapitalisme yang mencengkeram seluruh lini kehidupan disana; termasuk bisnis keamanan.
Pingback: https://vhnbio.com