Islam bukanlah seperangkat aturan, melainkan sebuah cara kita dalam memandang kehidupan dan dunia ini (Nouman Ali Khan)

Bila ingin bicara, berpikirlah dahulu. Jika nyata adanya maslahat, bicaralah. Jika masih ragu, diamlah hingga jelas maslahatnya (Imam Syafii)

Kebohongan yang mendatangkan kebaikan, lebih baik daripada kebenaran yang membawa kekacauan (Orang Bijak)

***

Departemen Agama meniupkan kontroversi; menerbitkan daftar 200 ustadz yang bisa jadi rujukan. Hasilnya lebih banyak menuai debat ketimbang dukungan. Bolak balik menteri agama jelaskan yang malah buat panjang masalah. Yang ada dalam daftar maupun yang tak terdaftar ribut.

Ironis tapi juga memprihatinkan. Ironis karena Departemen Agama seperti kehabisan cara. Membendung arus pandangan agama yang  dianggap radikal dengan menerbitkan daftar. Prihatin karena soal ini bisa dibereskan dengan komunikasi tapi malah ruwet karena muncul debat dimana-mana. Semua bicara ikuti kehendaknya sendiri.

Kita jadi ummat yang cerewet. Para ustadz baik yang di daftar maupun tidak tak bisa meredakan suasana. Masing-masing komentar mengikuti kemauanya: ada yang bilang prihatin namanya masuk daftar, ada yang dengan percaya diri tak masuk daftar karena jadwalnya full hingga ada yang kecewa kenapa ada daftar macam itu.

Setidaknya soal ini menunjukkan kita memang sedang krisis ustadz. Yang bisa diterima oleh pemerintah belum tentu jadi idola massa. Yang digemari massa belum tentu sesuai dengan keinginan Pemerintah. Wajar kalau kemudian Presiden mengangkat staf Kepresidenan yang tampilanya mirip ustadz: Ali Muchtar Ngabalin. Ustadz kini jadi kebutuhan siapapun: pemerintah, oposisi hingga massa.

Terutama kebutuhan untuk memahami situasi, meyakini sebuah perbuatan hingga rujukan dalam sikap. Bukan hanya untuk ceramah agama tapi juga sandaran idola. Sehingga tindakan apa saja dari seorang ustadz selalu dipahami sebagai buah kebajikan: naik motor cermin rendah diri, polygami karena ikuti sunnah nabi hingga diusut polisi dianggap kriminalisasi. Ustadz itu selalu benar: kata katanya, perbuatanya hingga ucapanya.

Tapi apa yang sesungguhnya membuat ustadz jadi istimewa hingga massa memujanya begitu rupa? Benarkah karena semata-mata pengetahuan agama yang dimiliki? Ataukah karena retorikanya yang lugas, berani dan tegas? Tak ada survai yang mengusutnya dan belum banyak riset mengenainya. Tapi yang kita tahu ustadz saat ini punya posisi yang sangat istimewa.

Istimewa karena ustadz telah jadi suara yang berbeda: melihat soal dalam sudut pandang agama dengan landasan kitab suci. Maka tak mudah untuk mempertanyakan suaranya atau bahkan menyangsikan perbuatanya. Bisa-bisa kita dipukuli oleh ummatnya atau malah dilaporkan ke polisi. Kitab suci itu sesuatu yang kebenaranya pasti sehingga peryataan apapun yang bersumber darinya ‘pasti benar’.

Selalu ‘benar’ begitukah logikanya? Mungkin waktunya anda mendengar sejenak ceramah Nouman Ali Khan. Ceramahnya selalu merujuk Kitab Suci. Dihidupkan dengan dasar argumentasi yang tajam dan bersemangat. Qur’an itu bukan kitab untuk mengadili tapi mengubah pembacanya dan lingkunganya. Mengubah untuk menjadi lebih baik.

Bangunan logika inilah yang dibawakan secara cerdas oleh Nouman Ali Khan. Pria tampan dan tidak gemuk ini punya jejak hidup yang unik. Hidup berpindah-pindah: Saudi, Pakistan hingga Amerika. Dibesarkan di negeri Donald Trump malah membuatnya mencintai Qur’an. Tidak dibawakan dengan marah tapi lembut, lucu dan meyentuh.

Nouman mengkritik perangai ummat Islam yang serupa Yahudi: merasa benar sendiri, meyakini kalau pasti masuk surga dan suka menghina keyakinan yang lain. Kritiknya sama dengan para pembaharu tapi yang membedakanya adalah cara. Nouman mahir dalam bahasa Arab klasik sehingga kita seperti memahami agama tidak dalam warna hitam dan putih.

Saksikan topiknya tentang pendidikan Islam yang baginya makin otoriter, kurang diskusi dan tidak memberi ruang leluasa untuk anak muda. Melalui kisah Zakaria diajarinya kita untuk bersyukur atas apa yang sudah kita jalani hidup sebagai manusia. Lewat surat Al Kahfi diajarkan pada kita agama yang dibawakan dengan rendah hati. Qur’an tidak menghakimi tapi menuntun dengan kasih sayang, lembut dan gembira.

Saya bisa menangis mendengar khutbahnya. Mengingatkan bahwa menjadi Muslim itu harus jadi tauladan, jadi contoh untuk semua manusia. Kini perangai seperti apa yang bisa kita perbuat sehingga layak untuk jadi tauladan bagi semua penduduk Bumi? Pertanyaan Nouman begitu menggigit sehingga kita rasanya tidak sedang mendengar khutbah tapi sebuah gugatan pada diri sendiri.

Itulah ustadz: bukan membuat pendengar puas tapi membawa kita untuk berefleksi. Pada keyakinan agama yang tak sekedar jadi sumber pembenaran tapi kilang kearifan. Sehingga jika diamalkan agama itu dirasakan tidak untuk diri sendiri tapi yang utama terhadap yang lain. Implikasinya Islam itu memberi perlindungan pada siapa saja dan tidak menyakiti siapapun.

Nouman itu seperti jubir Qur’an: diajaknya kita menyelami firman dalam bahasa yang mudah serta meyentuh. Mendengarnya kita seperti tidak diadili, menatapnya kita seperti bukan pendosa dan memahaminya membuat kita jadi tergugah. Ustadz memang sebaiknya tidak bersikap mengadili, mengutuk dan menghakimi.

Tindakan yang membuat agama didekati dengan keyakinan buta serta diamalkan seenaknya. Harusnya ustadz bercermin dari apa yang dilakukanya selama ini: kenapa ceramah agama BERKALI-KALI tak membuat bangsa ini punya akhlak sosial yang santun, toleransi pada yang berbeda serta melindungi mereka yang lemah dan miskin.

Yang kita butuhkan bukan daftar ustadz tapi mendidik ustadz sehingga bisa jadi ‘motivator, inspirator dan tauladan’ bagi masyarakat pada umumnya. Tak hanya bicara untuk ummat Islam saja tapi juga dengan ceramahnya mampu membuat ummatnya hormati ummat yang lain. Marilah kita mulai mengubah cara kita berdakwah, tak lagi menghakimi tapi memahami. Persis seperti yang dinyatakan ustadz Husin Nabil:

Siapa memandang makhluk dengan mata syariat akan murka padanya. Siapa yang memandang makhluk dengan mata hakikat akan maklum kepadanya.

 

Komentar ditutup.

Scroll to Top