Janganlah kamu melewati batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melewati batas (QS Al Baqarah: 190)
Apakah selamanya kalian/tak pernah mengaca?/ bukankah baju yang kalian kenakan/ terlalu indah dan kebesaran? (Baju II, M Mustofa Bisri)
***
Pak Jokowi sedang murah hati. Digelontorkan THR (Tunjangan Hari Raya) dan gaji ke -13 ke rekening para pejabat negara, aparatur sipil negara, tentara dan polisi. Juga para honorer atau pegawai kontrak di Instansi Pemerintah Pusat. Total yang digelontorkan untuk semua itu mencapai Rp 36,2 triliun.
Ini melonjak hampir 70% dari tahun yang lalu. Ada yang tak setuju itu normal. Juga ada yang gembira, terharu dan senang itu pasti. Yang setuju para pegawai negeri. Mereka yang kinerjanya masih belum cemerlang tapi dapat pelumas istimewa. Bayangkan jika kita kutip laporan daya saing global yang diterbitkan World Economic Forum selalu sebut kinerja birokrasi Indonesia buruk!
Buruknya itu sejak laporan diluncurkan dari 2004 hingga 2018. Tanpa laporan itu saja masyarakat tahu bahwa kinerja PNS belum memuaskan. Tak hanya itu pak Jakowi keluarkan Peraturan Presiden No 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Pejabat Badan Pembina Ideologi Pancasila. Disana tertuang aturan gaji yang membuat rakyat kecil terperangah.
Pak Mahfud hingga pak Makruf Amin dapat gaji 100 jutaan/bulan. Kita bisa berdalih ini semua demi untuk amankan ideologi Pancasila yang terancam. Diteror kanan kiri dan disalah-gunakan Orba Pancasila musti dibangkitkan lagi. Cara membangkitkanya adalah dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Badan inilah yang menggelontorkan gaji raksasa. Diberikan untuk figur yang tak kekurangan apapun. Pak Mahfud bukan penganggur, Buya Syafii juga bukan orang miskin dan kyai Makruf Amin tak pula tergolong Dhuafa. Mereka adalah figur yang malang melintang di media, pendapatnya didengar dan banyak yang menjadikanya idola.
Besaran gaji itu malah meluncurkan kewibawaan. Uang itu memang selalu bawa masalah: baik ketika diberikan maupun saat diterima. 100 juta itu besar nominalnya tapi itu kalah besar dengan nama baik, harga diri dan kehormatan yang kini disandang oleh mereka.
Bisa dinalar juga untuk apa gaji 100 juta bagi pak Mahfud. Anak-anaknya sudah dewasa bahkan mungkin kerja. Buya Syafii begitu pula. Ibu Megawati, kyai Maruf Amin hingga bapak Tri Sutrisno telah merasakan kenikmatan dalam hidup: menjabat, berpengaruh dan punya kuasa.
Pada usia yang sudah separoh baya pantas jika mereka meniru Moh Hatta: hidup sangat sederhana bahkan tak mampu bayar listrik segala. Berkiblat pada Haji Agus Salim yang hidup apa adanya dengan keyakinan: memimpin adalah jalan derita. Soekarno sang penggagas Pancasila di usia tuanya tak memiliki apa-apa.
Usia tua tidak membuat mereka hidup mewah dan kecukupan. Sjahrir bahkan meninggal di tanah asing dengan harta tak seberapa. Bung Tomo di Mekkah meninggal dengan kekayaan yang tak banyak. Hal sama terjadi pada Moh Natsir yang saat menjabat bajunya tambal sulam. Hidup mereka sederhana, kekurangan tapi banyak penghormatan.
Mereka itu hidup dalam benak pikiran rakyat hingga hari ini. Para perintis yang mau mengurbankan dirinya untuk kebesaran Republik. Tauladan seperti itulah yang bisa membuat kata Pancasila itu perkasa. Hidup bukan karena acara tapi perangai para pemukanya. Besar Pancasila tidak karena diskusi tapi aksi sederhana yang nyata.
Kita malu kalau uang 100 juta diperdebatkan begitu rupa. Besaran uang itu memang mewah di mata rakyat jelata. Hidup mereka masih jauh dari rasa aman dan nyaman; maka jangan buat keadilan seperti diperdagangkan. Baiknya para petinggi itu menolak gaji sebesar itu karena mereka sudah mendapat lebih dari itu semua.
Tengoklah tetangga kita Malaysia. Hari ini bangsa yang serumpun itu berdiri berwibawa: mengadili mantan PM nya, memotong gaji pejabatnya dan memastikan pada rakyat akan keadilan dalam makna sebenarnya. Belajarlah dari mereka dalam urusan yang prinsip dan sederhana.
Keadilan itu bukan sebuah kata. Keadilan itu tidak semboyan. Keadilan itu bukan propaganda. Keadilan itu bisa berujud melalui tanda: berikan rakyat apa yang diharapkanya dan desak penguasa untuk memenuhi apa yang dijanjikan. Tuntunlah rakyat dengan tauladan dan ajari penguasa untuk tidak mengikuti ketamakan.
Demikian!
Komentar ditutup.