Membaca mengubah mimpi menjadi hidup dan hidup menjadi mimpi…(Mario Vargas Llosa)
***
Kita tahu kemampuan Mario dalam menulis sastra. Kritis, imagis dan puitik. Di tanganya sebuah cerita seperti karpet terbang yang bisa membuat terpesona. Bahkan ketika cerita politik ditulisnya pembaca bisa dibuat geram, marah dan tertawa. Tiap cerita disusun tidak dengan fakta tapi ramuan imaginasi yang membakar.
Tulisan essainya ternyata tak jauh beda. Di kumpulan ini banyak cerita mengenai penulis. Seorang yang berusaha untuk menampilkan gagasan yang seringkali berbeda dengan hidup yang dijalaninya. Misalnya cerita perawan tua yang ketika meninggal mewariskan hartanya untuk himpunan penulis muda. Kisahnya unik: gadis anak orang kaya yang memilih tinggal di desa bersama ibunya lalu hidup untuk menulis roman tanpa pernah bergaul dengan sekitarnya.
Ia tak pernah punya kekasih. Sejauh mata orang awam memandang hidupnya pasti menjemukan: tinggal di gang buntu, bersama ibunya saja dan jarang bergaul. Ia adalah Margaret Elizabeth Trask. Usianya mencapai 88 tahun, memadati hidup dengan membaca roman sambil menulis karya. Ia seperti menciutkan hidupnya tidak dengan kenyataan tapi sebuah fiksi yang membuatnya hidupnya berbeda dengan orang kebanyakan.
Dunia fiksi itu bukan hanya berguna tapi bisa menawarkan realitas dengan cara beda. Mario mengutip kalimat agung Valle Inclan: ‘keadaan bukanlah seperti apa kita melihatnya, tetapi seperti apa kita mengingatnya’. Begitulah daya kekuatan sastra, bukan hanya membebaskan kita dari dunia keseharian tapi juga meyentuh alam fantasi yang membuat hidup itu menantang untuk ditaklukkan.
Benar bahwa ‘manusia tidak hidup dengan kebenaran semata; mereka juga butuh kebohongan; kebohongan yang dikarang dengan bebas, bukan yang dipaksakan..’ itulah yang membuat penulis itu mirip dengan nabi. Terutama ketika abad pencerahan dimana manusia tak percaya Tuhan lalu menjadikan para pahlawan sekuler sebagai petunjuk. Pahlawan itu diantaranya adalah penulis.
Mereka yang hidupnya bergulat dengan ide. Kebesaran ide itu bisa melumatkan hidupnya sehari-hari. Itulah Karl Marx-yang Mario Vergas menuliskanya dengan mengharukan. Dikutipnya utuh laporan polisi yang menyelidiki kehidupan Marx di tahun 1853, saat karya-karya terbaiknya ditulis: ‘tak ada satupun perabot yang bersih…manuksrip-manuskrip, buku dan koran-koran di sebelah mainan anak-anak, pernah-pernik keranjang jahit…memasuki kamar Marx, asap dan bau tembakau membuat mata berlinang..’
Kemiskinan, derita dan hidup yang tampaknya menyedihkan. Di Dean Strett, aktivitas politik Marx turun begitu rupa tapi kerja intelektual dan kreatifnya mencapai kemampuan adimanusiawi. Delapan jam tiap hari dirinya mengunyah buku di perpustakaan. Tanpa penghasilan dan dilanda utang bahkan lingkunganya terkena wabah Kolera. Banyak tetangganya pergi tapi Marx-karena kurang uang-terpaksa bertahan.
Derita itu harga yang pantas dibayar untuk sebuah karya yang menakjubkan: Das Kapital. Itulah penulis yang berusaha untuk meyakinkan kalau ada dunia lain yang mungkin bisa diciptakan. Mengutip Malraux, heroisme dan tindakan epik masih mungkin pada zaman ini. Maka menulis, seperti membaca, adalah protes atas ketidak memadainya hidup. Ikrar yang amat heroik. Itu sebabnya Mario menulis lengkap wasiat Marx untuk penulis:
‘penulis boleh menghasilkan uang untuk bisa hidup dan menulis, tetapi tidak seditpun ia boleh hidup dan menulis untuk menghasilkan uang. Tidak sedikitpun penulis boleh menganggap karyanya sebagai harta. Baginya, karyanya adalah tujuan dalam dirinya sendiri…sampai taraf tertentu, seperti yang diperbuat kaum alim ulama…penulis mengemban prinsip ‘patuhi Tuhan sebelum manusia’…’ Pesan yang dibaca oleh Mario berulang-ulang kali.
Tapi apakah memang ini zaman bisa membuat penulis mengikuti petuah Marx? Menjalani hidup dengan asketik dan meyakini ide dengan cara melawan apa saja yang tak meyakini gagasanya? Terutama ketika kaum fanatik muncul dan selalu curiga pada fiksi yang dianggapnya kabar bohong. Bahkan lebih tragis lagi ketika ekonomi pasar yang menjadikan hidup itu seperti rangkaian proses memupuk laba. Apakah memang penulis punya hari depan sehingga bisa menanam lagi mimpi tentang petualangan?
Itulah saatnya sastra memerankan diri: ia bisa menjadi cara untuk melawan kesulitan, memprotes, memberontak, kabur dari yang tak tertanggungkan. Sastra menjadi sumber pelarian dari petaka yang menghimpit. Terutama ketika suasana kediktatoran meraja-lela sastra bisa jadi kekuatan peletup yang mampu mendirikan perlawanan.
Tapi ini bukan lagi zaman diktator. Inilah peradaban tontonan. Dimana sumber kebahagiaan utama adalah bersenang-senang. Ortega dikutip oleh Mario zaman dimana Tuhan yang asoi, manja, dangkal dan menuntut loyalitas sempurna hadir. Iman kita beranjak dari kuantitas bukan kualitas. Inilah masa getir karena yang dihargai adalah yang murah, simpel, menghibur dan mengajak kita santai.
Sebuah massa dimana sastrawan, filosof hingga pemikir kalah jauh dari para bintang twitter hingga youtubers. Mario tulis, hari ini konsumsi massal ganja, kokain, sabu-sabu dan heroin bukan lagi manifestasi pemberontakan atas norma-norma yang mapan tapi dorongan untuk mencapai kenikmatan maksimal. Sastrawan kalah tenar dengan pelawak, bintang film bahkan pembawa acara.
Essai mengenai topik ‘peradaban tontonan’ ini ditulis dengan tajam dan penuh dengan kecaman. Mario sepertinya kecewa dengan dunia yang tak lagi menghargai gagasan tapi menyukai kecanduan yang memenuhi insting purba. Tawaranya adalah mencoba memandang itu semua dengan sinis sembari tetap meyakini sebuah nilai yang nyaris hampir musnah: hidup bukan hanya hiburan tapi drama, duka, misteri dan frustasi.
Mario Vargas bukan hanya seorang penulis tapi juga politisi di Peru. Diganjar hadiah nobel sastra, setelah Octavio Paz meraihnya tahun 1990. Kumpulan tulisan ini seperti menyegarkan kita tentang makna menjadi penulis. Ia meyakini kalau kehidupan yang membusuk oleh kapitalisme itu bisa dilawan tak hanya dengan gerakan tapi sejumput ide yang dipegang dengan penuh keyakinan.
Sastra, esai bahkan sebuah karya ilmiah kritis dapat jadi ‘pukulan’ yang menghentak kesadaran. Terutama saat kita berada dalam suasana yang dangkal: pendidikan yang menginginkan orang jadi kaya saja, lingkungan yang tak menghargai imaginasi atau berita yang dipadati oleh bencana. Hidup jadi layak dijalani dengan perlawanan atau pembangkangan, karena memang selamanya kenyataan, tidaklah seperti yang kita harapkan.
Essai yang terkumpul pada buku ini seperti potongan anjuran yang mewah. Kita diajari untuk berani melawan hidup yang normal, tidak usah terlalu mempercayai iklan yang ditawarkan sana sini dan yakinilah kalau perbuatan heroik itu bisa muncul dari siapa saja. Sebuah khutbah yang indah, ringan tapi memberi kepastian bahwa kepercayaan yang dijalani layak untuk disangsikan.
***
Matinya Seorang Penulis Besar
(penterjemah Ronny Agustinus)
Terbitan: Immortal Publishing dan Octupus, 2018
Pingback: ใบอนุญาตให้บริการของ Habanero Systems
Pingback: go right here