BKini Corona menghantui negeri ini. Ratusan nyawa melayang. Tenaga kesehatan ikut jadi korban. Kepanikan melanda di mana-mana. Presiden seperti kebingungan. Ukuran kinerjanya kini dibandingkan dengan presiden negara lain. Lagi-lagi kita kalah dalam semua hal: kemampuan melakukan test, banyaknya korban yang meninggal, hingga kepatuhan warga. Tekanan sana sini membuat rupiah terjun bebas. Semua cemas.
Kecemasan itu karena memang kita tak mengenal virus itu lebih dulu dan lebih dalam. Waktu merebak pertama kalinya di Wuhan kita mengabaikanya. Menteri Kesehatan sendiri yakin virus itu mampu ditangani. Publik waktu itu ikut percaya dengan semua pernyataan pejabat yang percaya diri. Bahkan saat semua negara mulai membatasi kunjungan kita malah mendorong stimulus pariwisata. Kenapa kita seperti orang konyol?
Malcolm Gladwell mengajak kita untuk mencari tahu kenapa kita sering salah menilai orang. Presiden Jakowi mengapa bisa pilih Terawan jadi Menkes padahal sudah pernah diberi sanksi oleh IDI. Sama halnya dengan pimpinan KPK yang kini banyak dihujani kritik kenapa dulu dipilih parlemen. Secara motif bisa saja kita mengatakan kalau itu adalah pilihan politik. Tapi—kenyataannya—salah menilai orang sudah jamak dalam interaksi sosial sehari-hari.
Kisahnya dibuka dengan menarik: Sandra Bland seorang Youtubers yang sering beri motivasi sedang mengendarai mobil. Saat keluar dari kampus ada polisi yang menghentikan mobilnya. Mula-mula hanya komunikasi ringan. Lama kelamaan serius, debat dan berpuncak pada penangkapan. Sandra Bland masuk penjara. Tiga hari kemudian, gadis yang menamatkan pendidikan sebagai sarjana Magister Ilmu Politik itu gantung diri. Gantung diri dengan tali plastik dalam penjara.
Apa yang terjadi? Polisi itu rasis karena Sandra Brand perempuan muda Afrika-Amerika? Atau Sandra Brand frustasi melihat dirinya yang di-dzalimi? Bunuh diri itu meluapkan protes pada perangai polisi. Pengusutan berlangsung pada Brian Enciana, polisi yang menghentikan mobil Sandra. Malcolm Gladwell mengajak kita menelusuri jalan panjang bernama prasangka. Sikap yang sering tumbuh ketika berhubungan dengan orang asing.
Terpupuk bukan karena situasi saja tapi bawaan personal yang tak disadari. Mudah sekali kita tertipu oleh penampilan luar. Charles Darwin menulis buku pertama kalinya tentang emosi: The Expression of the Emotions in Mand and Animals, 1872. Gagasanya sangat intuitif: wajah adalah papan pengumuman untuk hati. Anak-anak tersenyum ketika bahagia, cemberut ketika sedih dan tertawa saat terhibur. Bukankah begitu?
Patrick Dale Walker, seorang yang tak punya catatan kriminal menodongkan pistol ke mantan pacarnya. Pistol itu macet dan tak meledak. Walker dibawa ke pengadilan. Hakim iba melihat wajah sesalnya dan sikap sopanya. Ia pria yang baru pertama kalinya punya pacar, pintar, juara kelas dan lulus kuliah. Hakim memberi vonis penjara 4 bulan. Empat bulan kemudian setelah bebas dari penjara, Walker menembak mati pacarnya.
Nah apa yang terjadi sebenarnya? Kita mudah sekali tertipu oleh penampilan. 1 November 2007 terjadi pembunuhan pada Meredith Kercher dan tertuduh utamanya adalah teman sekamar Amanda Knox. Amanda bersama pacarnya yang menemukan mayat Meredith. Sayang Amanda tak terlihat seperti ‘harapan kita’ kalau temanya sekamar tewas. Amanda tak menunjukkan simpati, malah berciuman dengan pacarnya dan menyebut pembunuhan itu dengan nada dingin. Kita percaya Amanda pelakunya!
Amanda dihukum 4 tahun. Padahal bukan dirinya yang membunuh. Ia bebas setelah ditemukan pembunuh sebenarnya, Rudy Guede. Amanda dihukum karena sikapnya. Banyak orang menilai orang lain berdasar sikap. Tiap melihat orang ramah, mudah menyapa, ringan bicara dan suka tersenyum kita langsung percaya pada orang itu. Cara menilai orang yang keliru dan lebih banyak mengundang masalah.
Chamberlain adalah PM Inggris yang bisa bertemu dan bicara dengan Hitler jauh sebelum meletus PD II. Saat Hitler mengeluarkan peryataan akan meyerbu Sudentenland, bagian Cekoslowakia, Chamberlain ingin bertemu Hitler dan mengajaknya bicara. Di Jerman, Hitler menemuinya dan itulah pertemuan yang paling menyesatkan. Chamberlain terpesona dengan sang Fuhrer bahkan percaya kalau Hitler tak mungkin melakukan serangan. Penilaian yang keliru dan kelak disesalinya.
Malcolm Gladwell membuka banyak gambaran tentang kesalahan kita menilai. Melalui sejumlah riset yang unik ditemukan gambaran komplit. Kita ternyata dalam berinteraksi selalu sulit untuk keluar dari menganggap orang jujur selama tak ada asumsi tegas yang menyatakan sebaliknya. Dalam berhubungan dengan orang, kita mengawali dengan rasa percaya, terutama kalau kita sudah mengenalnya atau memang tak ada alasan lain untuk meragukannya.
Sebaliknya juga tak mudah kita percaya dengan informasi yang benar jika yang membawanya kita anggap bermasalah. Harry Markopolos, seorang ahli angka, agak aneh dan terobsesi dengan kecurangan. Baginya: ‘matematika adalah kebenaran’. Sejak awal mencurigai Bernard Madoff yang kelak dikenal dengan penipuan skema Ponzi. Tapi siapa percaya Markopolos? Orang yang sulit untuk berkomunikasi secara normal dan merasa Madoff akan memburunya. Padahal Markopolos sosok yang bisa membongkar para penipu bursa.
Inilah kehebatan Gladweel. Pemecahan soal prasangka tak bisa dengan jalan tunggal. Markopolos memang orang yang mampu bongkar kejahatan. Tapi bagaimana kita percaya dengan sosok paranoid ini. Sama halnya dengan bagaimana kita bisa percaya dengan mudah pada Amanda yang tampak cuek dan tak sopan. Gladweel mengajak kita bahkan untuk meyelidiki kasus bunuh diri pada dua perempuan yang mempesona: penyair, cantik, dan mapan. Bunuh dirinya tak ada kaitan dengan kegalauan tapi pengadaan gas kota. Anda pasti bingung, kan?
Buku Gladwell memang bukan berisi saran langsung. Kelebihanya adalah membongkar persoalan selembar demi selembar. Kecakapanya dalam menuang pemahaman lebih detail, berlapiskan data dan menarik kesimpulan secara hati-hati membuat bukunya selalu unik dibaca. Sejumlah bukunya yang saya baca mengajak kita untuk percaya bahwa ada berbagai pendekatan dalam mengatasi problem sosial. Kita tak hanya percaya dengan apa yang dinyatakan secara terbuka tapi membongkar data yang tak kita sangka.
Di buku ini bukan hanya kita sering berprasangka tapi juga kita mudah sekali percaya dengan pendapat kita sendiri. Berbagai contoh unik dipaparkan untuk memberikan penjelasan pada kita kalau kebenaran itu bukan sebuah benda keras yang berkilau. Terang, jelas dan mudah dikenal. Tak seperti itu. Intrograsi pada tersangka teroris membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh tersangka—setelah melalui siksaan—sesuai harapan para penyidik. Tapi perkataan itu bukan kebenaran melainkan bualan.
Saya suka termangu membaca buku Gladwell. Saranya adalah jangan mudah percaya dengan apa yang secara resmi dikatakan otoritas. Peristiwa bunuh diri Sandra Brand bukan sekedar rasisme. Lebih jauh dari itu berkaitan dengan buku panduan kepolisian yang meletakkan ‘cara bertindak dan pembawaan’ seseorang merupakan dasar untuk menentukan bersalah atau tak bersalahnya seseorang yang tak kita kenal. Memang Brian Encina petugas polisi yang brengsek, tapi buku panduan itu yang menjerumuskannya.
Pandangan strukturalnya itu yang membuat kita diajak untuk menyaksikan berbagai buku panduan intograsi, kebijakan pengadaan gas hingga pembangunan jembatan. Semua keputusan politik itu ternyata memberi efek luar bisa pada aparat pemerintah utamanya dalam hadapi masalah. Bisa saja apa yang dianggap sebagai jalan keluar malah itu sebenarnya bisa menjadi pemicu persoalan berikutnya. Keputusan politik apapun perlu menimbang berbagai aspek sehingga tujuanya tidak kemudian ditempuh melalui sarana yang bahaya. Buku ini tak memberi saran praktis tapi mengajak kita berfikir kritis dan argumentatif.
Buku ini memberitahu betapa mudahnya kita dikelabui. Corona itu meyentuh pejabat satu demi satu dan merontokkan bangunan ekonomi kita. Semua prediksi dan keputusan politik musti direvisi. Bahkan cara penanganan Corona pun dianggap lamban dan tidak mampu mengatasi kepanikan yang jadi gejala di mana-mana. Salah langkah kita bukan sekedar pada kepemimpinan tapi struktur birokrasi yang dibangun memang tidak didesain untuk menghadapi situasi darurat bahkan untuk melayani rakyat yang paling membutuhkan. Kita terlampau lama berada dalam zona nyaman demokrasi dan ekonomi pasar. Kita hari ini dihukum oleh rasa congkak diri kita sendiri, terutama para pejabatnya.
Saat baca buku ini Corona makin bawa korban yang luar biasa. Saya tahu ada banyak informasi yang bertebaran di mana-mana. Kita semua tersengat oleh ketidak-siapan pemerintah dan resiko pada diri sendiri. Corona itu tumbuh dalam ruang pergaulan sosial. Pencegahanya batasi komunikasi bahkan anjuran utamanya tinggal di rumah saja. Tapi mustahil masyarakat kita mampu melakukanya. Di koran Kompas ditemukan masih banyak orang nongkrong dan tak peduli. Anjuran untuk tak sholat Jum’at malah ditanggapi dengan pengumuman terbuka Jum’atan. Kenapa peringatan kita tak manjur dan anjuran kita tak mempan? Buku Malcolm Gladweel sedikit banyak mampu memberikan jawabanya. (EP)
Komentar ditutup.