Saya penasaran dengan buku ini karena pengantar yang ditulis oleh John Rossa. Ilmuwan yang menghasilkan karya menganggumkan seputar peristiwa 30 September. Dari John Rossa kita mengetahui guliran peristiwa 30 September dan kekacauan lapangan yang berakibat tragis. PKI ditunjuk sebagai dalang yang hingga sekarang ditancapkan sebagai musuh abadi. Salah satu sumber referensi penting tulisan John Rossa adalah karya Siauw Giok Tjhan. Eks ketua Baperki yang tajam serta detail dalam menjelaskan berbagai peristiwa. John Rossa menyebutnya esai-esai ini sebagai tulisan yang jernih, analitik dan berani. Terutama pada topik mengapa PKI tidak melakukan perlawanan. Bahkan dengan kerendahan hati tulisan ini juga menyatakan kalau beberapa hal sang penulis memang tak punya informasi yang cukup.
Saya terperangah sejak awal bab dimana PKI dilukiskan sebagai kekuatan politik yang paling berpengaruh tapi dengan kepemimpinan yang lemah. PKI yang anggotanya berlipat ganda itu kekuatanya terlampau bersandar pada Sukarno ketimbang ketaatan pada ide Marxisme. Ibaratnya sebagai gerakan komunis Asia dirinya tidak menyiapkan diri untuk memimpin melainkan menunggu situasi yang memungkinkan.Tampil sebagai kekuatan politik terbesar di Asia tentu PKI mengkuatirkan negara seperti Amerika. Diturunkanlah seorang duta besar yang berpengalaman melakukan kudeta di Korea Selatan lewat pengangkatan penguasa militer yang keji, Park Chung Hee. Dubes AS itu namanya Marshall Green yang dikenal piawai dalam menangani pemberontakan serta terlatih bekerja sama dengan militer. Kehadiran sang Dubes ini tidak banyak dicurigai karena PKI merasa jadi kekuatan politik raksasa yang sulit untuk dibekuk begitu saja. PKI yang telah jadi aktor politik utama kurang jeli dengan situasi ini. Kepemimpinan jadi congkak dan tidak tanggap atas situasi bahaya.
Diantaranya DN Aidit: sosok yang selalu dipuja bahkan dianggap sebagai aktor utama. Di mata penulis DN Aidit dilukiskan sebagai pemimpin yang terlampau percaya diri, kurang mendengar pandangan orang lain dan tidak berani mengambil resiko. Sejak awal DN Aidit sudah diperingatkan oleh Mao Tse Tung terutama pada pengelolaan organisasi. Mao sempat bertanya pada DN Aidit berapa kekuatan buruh kecil yang mendukung PKI: Aidit tidak menjawab karena tak ada data mengenai itu. Hal yang sama diingatkan oleh Mao agar jangan sampai PKI jatuh ketiga kalinya: dua perlawanan sebelumnya sudah gagal dan jika terjadi ketiga kalinya PKI pasti binasa. Mao tepat sekali membuat ramalan karena DN Aidit melakukan petualangan yang bahaya dengan membuat operasi yang hanya melibatkan Biro Khusus. Biro yang tidak diketahui oleh banyak anggota PKI serta hanya dipimpin oleh Aidit bersama tiga wakilnya: Sjam, Supono dan Subono. Mustahil muncul revolusi yang dilahirkan oleh sebuah biro yang misterius.
Operasi 30 September yang kacau itu membuat situasinya berubah drastis. Pasukan yang diperintahkan untuk melakukan penculikan itu persiapanya tidak matang: ada pasukan yang diganti mendadak, pasukan tidak diberi makan sejak operasi tengah malam hingga pagi hari dan lagipula Aidit saat di Halim tidak bisa bertemu dengan Soekarno. Jika itu disebut sebagai operasi PKI tentu sangat ironis karena Aidit sendirian berada di lapangan Halim tanpa ditemani satupun anggota Politbiro. Lagipula tidak ada manfaatnya bagi PKI-yang saat itu jadi penyeimbang Militer-untuk mencetuskan pemberontakan. Disinilah tulisan ini punya kelebihan: Aidit yang dianggap sebagai aktor utama itu tampak kebingungan hadapi situasi di 30 September. Walau ada pengumuman tentang Dewan Revolusi dimana Aidit tidak masuk di dalamnya tapi itu tetap tidak membantah skenario PKI penanggung jawab 30 September. Aidit yang sudah merasakan gelagat kegagalan memutuskan diri untuk terbang ke Jawa Tengah. Disanalah cerita Kusno, pengawal Aidit jadi penting: Aidit tak bisa memberi pengarahan pada anggota PKI, percaya penuh pada Soekarno yang akan mengatasi ini dengan pendekatan politik dan saat perburuan Aidit mengalami keletihan psikis dan sakit. Terpaan kesulitan itu yang membuat dirinya menjadi panik: bahkan kesaksian pengawal pribadinya, Aidit mulai kehilangan semangat untuk melakukan kepemimpinan pada saat yang paling dibutuhkan.
Kekuatan buku ini adalah menguliti bagaimana aktor-aktor PKI itu berusaha untuk bertahan dan sebagian lain memutuskan untuk berkhinat. Selama di penjara penulis menyaksikan bagaimana seorang itu kemudian mengubah peran dengan merusak martabatnya sendiri melalui cara yang keji: melaporkan temannya sendiri, mengintograsi kawanya hingga ikut melakukan penyiksaan. Tentara dipermudah membongkar seluruh jaringan PKI karena ada anggotanya yang bersedia untuk membagi informasi apa saja. Terlebih para pemimpin PKI yang tidak mengetahui situasi tidak segera melakukan inisiatif perlawanan. DN Aidit yang ragu-ragu telah membawa PKI pada situasi yang dikuatirkan oleh Mao. Partai komunis yang tidak siap memimpin revolusi bahkan ketika situasinya sedang sekarat akhirnya dihancurkan dengan cara yang amat keji.
Buku ini memberi perspektif pada kekuatan pribadi para anggota PKI yang ternyata tidak memiliki keyakinan kuat pada Marxisme. Sebuah tulisan yang langka karena secara terbuka memberi lukisan yang kelam pada PKI yang pernah di masanya menjadi partai komunis besar di Asia. Apalagi dengan memberi peran leluasa pada Sjam, yang dituduh sebagai agen ganda, membuat PKI terasa kehilangan sendi ideologi kiri. Sjam, Soeharto hingga Aidit disajikan dalam sebuah tulisan yang kritis sehingga pembaca bisa mengetahui motif di balik peran mereka semua dalam kisah 30 September. Soeharto bukan orang yang pintar tapi sosok yang sejak dulu secara cerdik memanfaatkan segala situasi. Politisi kejam itu selalu berusaha untuk mengambil peran yang menguntungkan dirinya sendiri bahkan jika itu harus mengorbankan temannya.
Kesimpulan buku ini lugas: 30 september adalah konflik internal AD dan Orde Baru tegak diatas genangan darah mereka yang dituduh sebagai komunis. Tanpa pengadilan yang terbuka, jujur dan adil maka semua keputusan politik Soeharto di masa itu adalah pelanggaran HAM. Gaya tulisan yang terbuka, terus terang dan sistematis itu menyerang dengan keras politik Orde Baru yang tidak menghormati hak asasi manusia. Hingga dalam perkembangannya Orde Baru melakukan praktek kenegaraan dengan melanggar semua kaidah hukum bahkan tanpa mempedulikan isi konstitusi. Kebringasan Orde Baru berlanjut hingga pada praktek korupsi, nepotisme dan meluasnya peran militer. Kepingan neraka yang dibangun Orde Baru itu tersusun dengan bantuan senjata, negara maju hingga meluasnya praktek kekerasan. Semua itu dilakukan dengan mudah karena elemen kekuatan kiri yang dulu mampu mengimbangi politik tentara sudah dibinasakan.
Lama saya tercenung membaca buku ini. Pelajaranya bukan saja bagaimana seorang aktivis itu dibentuk oleh keyakinan dan pengalaman tapi juga upaya untuk menarik pelajaran dalam setiap situasi. Siauw Giok Tjhan telah memutuskan diri untuk menjadi aktivis bahkan ketika situasi menggodanya untuk mengubah pandangan. Ia bertahan dengan moral seorang pejuang: tidak mudah takluk, terus meneguhkan keyakinan dan memberi pelajaran pada generasi berikutnya. Bahwa perlawanan pada sebuah rezim otoriter itu harus dilakukan dengan segala upaya bahkan ketika situasinya tidak memungkinkan: kita tetap teguh mengambil posisi dan pendirian. Mungkin itu yang membuat saya membaca buku ini bukan hanya sebagai sebuah analisis tapi warisan keyakinan dari seorang yang berjuang untuk menegakkan yang hak dan adil. Sebuah buku yang bisa menjadi santapan rohani untuk mereka yang hari ini memilih jalan sebagai seorang aktivis. (EP)
Komentar ditutup.