Masyarakat Sipil: antara Aktivisme Borjuis dan Oposisi Sosial

Di tengah kekacauan pengelolaan Covid-19 oleh pemerintah, konsolidasi oligarki berlangsung sampai pada bentuknya yang nyaris sempurna.  Revisi UU Minerba, UU KPK, dan tentu saja pengesahan Omnibus Law, merupakan contoh vulgar keberhasilan konsolidasi mereka dalam menguatkan cengkramannya pada negara. Cara pemerintah mempertahankan mukanya yang coreng-moreng akibat hal itu adalah dengan menciptakan citra ilusif di dunia maya, sambil mengerahkan aparat untuk merepresi para pembangkang di dunia nyata.

Pemutakhiran informasi dan analisis mengenai fenomena-fenomena di atas sejauh ini hanya dimungkinkan oleh peran akademisi, masyarakat sipil, dan media massa kritis. Wabil khusus masyarakat sipil, dalam kaitannya dengan infrastruktur pengetahuan dan penelitian sebagai modal utama keberadaan mereka, kita masih dapat berharap pada beberapa hal ke depan, terutama terkait dengan advokasi kebijakan.

Bersamaan dengan itu, kritik terhadap posisi borjuis dari entitas sosial tersebut perlu adanya; sebagaimana yang disampaikan Abdil Mughis Mudhofir (2021a, 2021b) secara telak, ia berhasil menguliti persoalan –kalau bukan watak inheren- pada orientasi intelektual dan komitmen sosial para aktivisnya. Aktivisme borjuis, bagi Mudhofir, adalah aktivisme oleh kelas menengah yang reformis dan “…lebih berkepentingan mendorong perubahan-perubahan institusional dan melakukan perlawanan-perlawanan yang sporadis” (2021a), sehingga “…kurang berkepentingan melahirkan perubahan-perubahan fundamental terkait struktur kekuasaan ekonomi-politik” (2021b). Baginya, aktivisme jenis ini tidaklah revolusioner.

Namun setelah kritik tersebut terlontarkan, adakah yang tersisa dari masyarakat sipil dan harapan bagi banyak orang tentang kualitas demokrasi yang lebih baik? Dengan tetap mengamini kritik tersebut, tulisan ini akan mengeksplorasi peluang dan tantangan bagi masyarakat sipil ke depan, dan berargumen bahwa peran masyarakat sipil masih diperlukan dalam menghadapi perusak demokrasi di depan mata. Sebagai tambahan, basis empiris atas keberhasilan dan kegagalan masyarakat sipil juga harus turut dipertimbangkan. Dengan demikian, setidaknya secara minimal, penguatan demokrasi oleh masyarakat sipil tetap layak diapresiasi terutama dalam upaya mewujudkan apa yang Max Lane sebut sebagai oposisi sosial.

Oposisi Sosial

Analisis terhadap akar sosio-historis kelas menengah, sebagai aktor utama yang mengisi pelbagai aktivisme masyarakat sipil, menunjukkan pada kita bahwa orientasi ideologis mereka berbeda-beda. Tanpa posisi kelas yang jelas, terutama karena terputusnya generasi intelektual Kiri setelah Tragedi 1965, Mughis menunjukkan bahwa yang tersisa hanyalah penganut paradigma Weberian, yang bertindak secara sadar berdasarkan rasionalitas dan liberalisme dalam mewujudkan tatanan “yang baik.” Dengan paradigma ini, demokrasi liberal menjadi persoalan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan supremasi hukum, seiring dengan kawalan masyarakat sipil sebagai perantara masyarakat dan negara.

Dengan situasi seperti itu, capaian masyarakat sipil pada tingkat advokasi banyak menunjukkan keberhasilan struktural –meski tak sampai pada taraf revolusioner. Laporan-laporan tahunan YLBHI dan jaringannya se-Indonesia, sebagai contoh,  membawa kabar keberhasilan advokasi kepada pelbagai kalangan rentan di tingkat lokal. Di tingkat nasional, YLBHI juga sudah lama menjadi pusat konsolidasi unsur-unsur gerakan sosial, dari tingkat buruh sampai mahasiswa, dan tentu saja sesama elemen masyarakat sipil. Para penggiat isu agraria dan lingkungan masih terus mengadvokasi banyak daerah terdampak industri ekstraktif, perampasan lahan oleh negara/korporasi, dan kampanye di tingkat pendidikan publik. Semua itu banyak menghasilkan mobilisasi protes yang besar, suatu oposisi sosial dalam bentuknya yang masih seminal.

Max Lane melihat secara positif praktik oposisi sosial ini. Ia optimistis dengan peran serikat pekerja dalam oposisi sosial, bersanding dengan masyarakat sipil dan pelajar (siswa dan mahasiswa), meski momentum yang menjadi sorotan atau bingkai tampak berbeda-beda sebagai respons atas isu yang bermunculan. Meski masyarakat dihantam pandemi, mobilisasi protes  tetap berlangsung di banyak kota, dan dukungan terhadap demonstrasi sebagai artikulasi protes tersebut menguat (Lane, 2020a). Salah satu ukurannya adalah pembentukan “Fraksi Rakyat Indonesia” yang menghimpun sisa-sisa kekuatan demokratis dengan memanfaatkan sarana paling memungkinkan bagi konsolidasi sekarang:  beberapa platform media sosial dan Zoom.

Yang masih perlu dipikirkan ke depan terkait oposisi sosial, menurut Lane, adalah infrastruktur organisasi untuk mengantarkan polarisasi masyarakat vis a vis negara ke batas terjauhnya dalam waktu dekat (Lane, 2020a). Awalan yang baik dari oposisi sosial, yakni independensi mereka dari partai politik arus utama, perlu segera membuahkan koalisi pemerintahan alternatif yang potensial (Lane, 2020b). Langkah yang perlu ditempuh adalah suatu konsolidasi oposisi sosial itu sendiri, seperti telah dimulai oleh pembentukan aliansi-aliansi gerakan rakyat. Percepatan penggunaan media sosial yang ditopang peningkatan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi dapat memuluskan hal tersebut. Sebagai contoh mutakhir, Juli lalu, di bawah koordinasi Asia Democracy Network, Konsolidasi Nasional Demokratik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil kritis terselenggara dan rekamannya dapat menjadi bahan pendidikan publik.

Pembacaan Lane dari kejauhan itu mungkin senaif harapan atas peran revolusioner masyarakat sipil dalam kritik Mughis. Namun di tengah situasi serba tak pasti sekarang, terutama akibat pandemi dan kesulitan ekonomi yang dihasilkannya, napas gerakan yang tersisa dalam mewujudkan demokrasi dalam wajahnya yang paling minimal mungkin tinggal kenaifan itu belaka. Karenanya, agar potensi-potensi yang ada tetap mengaktual tanpa patah arang sebelum waktunya, kita memerlukan acuan yang jelas bagi arus oposisi sosial ini. Penjelasan sosiolog-sejarawan AS, Charles Tily, mengenai definisi gerakan sosial bisa menjadi salah satu acuan itu.

Bagi Tily (dalam Tily, Castaneda, Wood, 2019), gerakan sosial sebagai bentuk politik perseteruan adalah usaha-usaha perubahan lewat interaksi yang mengandung perseteruan dan berkelanjutan di antara warga negara dan negara. Penekanan pada aspek perseteruan ini tidak membatasi diri pada orientasi ideologis apapun, tetapi sekaligus menarik garis tegas dari politik elektoral. Dengan kata lain, gerakan sosial boleh menampung orientasi ideologis dengan aktor berparadigma beragam –dari marxis sampai liberalis–tetapi harus tetap berjarak dari partai politik yang sudah ada ataupun yang kelak terbentuk sebagai kelompok aspirasi baru meski sesuai dengan isu yang ia perjuangkan. Ini sekaligus mengeksklusi para mantan aktor gerakan sosial yang memasuki tubuh kekuasaan dengan klaim mereformasi dari dalam.

Ada dua alasan utama mengapa gerakan sosial harus tetap berjarak dari partai politik. Pertama, secara ontologis, gerakan sosial harus bersetia pada definisi minimalnya sebagai politik perseteruan. Posisi ini berbeda secara fundametal dengan partai politik yang merupakan organisasi untuk meraih kekuasaan politis itu sendiri. Dalam logika, “perseteruan” dan “kekuasaan” berelasi dalam bentuk kontraris (berbeda dari relasi a-politis dan politis yang kontradiktoris), yang satu sama lain mengandaikan oposisi.

Kedua, secara historis, aktivis gerakan sosial pernah menaruh harapan besar pada sosok Joko Widodo di awal kehadirannya sebagai (calon) Gubernur DKI Jakarta dan (calon) Presiden RI, tetapi segenap intervensi mereka terhadap Jokowi dimentahkan dari dalam Istana sendiri akibat lobi oligarki yang lebih dominan. Tanpa menjaga oposisi dan di tengah politik oligarkis, agenda apapun di masa depan yang masih menggantungkan harapan terlalu tinggi pada partai politik tetapi melupakan watak politik perseteruan harus bersiap mengalami takdir yang sama.

Tily melihat gerakan sosial penting untuk mengangkat perhatian publik terhadap pelanggaran HAM, ketidakadilan dan eksploitasi terhadap individu, dan upaya menghakhiri ketidaksetaraan kategoris. Istilah terakhir ini mengacu pada pelbagai bentuk antiegalitarianisme yang merupakan penghambat laju demokrasi dalam wajahnya yang minimal, tetapi dapat pula dipahami secara Marxis dengan mengusung persoalan kelas sebagai akarnya. Dengan ataupun tanpa itu, apa yang diperlukan bagi oposisi sosial di Indonesia sementara ini adalah yang pertama, yakni mewujudkan-kembali demokrasi menuju wajahnya yang minimal.

Tiga ciri prosedural gerakan sosial yang ditawarkan Tily perlu ditempuh. Pertama, kampanye gerakan sosial sebagai upaya publik yang berkelanjutan dan terorganisasi untuk menciptakan klaim kolektif atas otoritas tertentu. Kedua, repertoar gerakan sosial berupa kombinasi bentuk protes yang dapat dikenali secara kultural oleh masyarakat, seperti protes, pemogokan, demonstrasi, dan sebagainya. Ketiga, kinerja publik yang terkoordinasi mencakup kelayakan, kesatuan, jumlah, dan komitmen para anggota dan pendukung gerakan. Masyarakat sipil bisa dan selama ini telah mengusahakan ketiganya. Generasi baru pelajar, baik siswa maupun mahasiswa, yang mulai terpapar isu-isu keadilan sosial sejak dini bahkan sebagiannya meradikalisasi diri secara mandiri –lewat bacaan atau konten media sosial- merupakan suatu keberhasilan dari tiga usaha di atas. Hal ini sekaligus membantah analisis sebagian orang yang mengatakan bahwa generasi Y (milenial) dan Z adalah apolitis.

Deretan keberhasilan di atas, serta acuan normatif mengenai gerakan sipil dan sasaran mewujudkan demokrasi yang minimal, adalah potensi yang perlu dijaga untuk selalu mengaktual di tengah watak aktivisme borjuis masyarakat sipil. Sematan borjuis pada aktivisme mereka bahkan harus ditunda: selain secara moral individual masih perlu diperiksa dengan lebih rinci, peran fungsional masyarakat sipil bagi gerakan sosial tetap dibutuhkan. Untuk saat ini, advokasi sosial dalam kerangka struktural, dan pendidikan publik dalam kerangka kultural, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat sipil itu. Kritik terhadap mereka, yang memang diperlukan, harus dibarengi dengan antisipasi munculnya apatisme masyarakat yang tengah bergairah dalam belajar dan menjadi bagian dari gerakan sosial.

Reformasi dan Revolusi

Tak semua masyarakat sipil memiliki orientasi revolusioner, tetapi semuanya sedang menyasar pemerintahan Jokowi yang mengacak-acak demokrasi. Coreng-moreng ini sudah menjadi ijma’ bagi siapapun yang waras ketika melihat kondisi negara. Perdebatan ideologis mengenai reformasi atau revolusi sebagai orientasi masyarakat sipil, di tengah kebutuhan penguatan oposisi sosial sebagai gerakan sosial, memang perlu dan mengasyikkan. Tetapi, kita sedang berkejaran dengan waktu, sebab konsolidasi oligarki masih berjalan bergendengan dengan pemerintahan yang menunduk sopan di hadapan para oligark.

Dengan mengarahkan perhatian pada sasaran minimal, yakni menguatkan demokrasi dan menjaga dinamika demokratisasi di tengah masyarakat, semangat reformasi akan terus terjaga. Jika berhasil mengawal setidaknya sampai indeks-indeks demokrasi menunjukkan perbaikan di Indonesia, debat ideologis tentang reformasi atau revolusi bisa dilanjutkan kembali. Karena itu, kita harus menguatkan terlebih dahulu oposisi sosial, dengan memaksimalkan kekuatan yang tersisa. Kalau tak berhasil mencongkel noda-noda di tubuh pemerintahan saat ini, hasilnya barangkali adalah kesadaran massa-rakyat yang menguat karena hak-hak mereka terbela, dan generasi baru yang lebih berkomitmen pada demokrasi sejak dalam pikiran. Lagi-lagi, pandangan ini memang terkesan naif, tetapi ini sekaligus langkah taktis paling rasional untuk hari ini.

Penulis: Ismail Al-‘Alam


Daftar Pustaka

Lane, Max. “COVID-19’s Impact on Indonesia’s Social Opposition: The Examples of Labour Rights and the Papuan Question”, ISEAS Perspective, 2020, No. 85.

Lane, Max. “Protests Against the Omnibus Law and the Evolution of Indonesia’s Social Opposition” ISEAS Perspective, 2020, No. 128.

Mudhoffir, Abdil Mughis. “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?”, projectmultatuli.org

Mudhoffir, Abdil Mughis. “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis-Liberal Dominan di Indonesia?”, indoprogress.com

Tilly, Charles, Ernesto Castañeda, dan Lesley J. Wood. 2019. Social Movements 1768-2018. London: Routledge.

Scroll to Top