Prabowo Subianto tak pernah mengetahui kapan takdir akan menjemputnya sebagai Presiden. Yang jelas, ia tampak begitu yakin. Yang jelas pula, ketika ia mencoba peruntungan kali ketiga, dengan elektabilitas konon jauh melesat dari kandidat lain–sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya—usianya sudah tak lagi muda. Berbanding Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, keduanya 54 tahun—sama dengan usia Prabowo saat ia mengikuti konvensi calon presidennya yang pertama di Partai Golkar, nyaris dua puluh tahun silam—Prabowo, 71 tahun, tampak seperti benda usang yang dilesakkan dari masa silam.
Benarkah begitu? Media justru banyak memoles citranya sebagai kandidat paling dekat dengan anak muda—atau, seperti kata mereka, milenial. Dan itu tak sepenuhnya salah. Para pesohor berusia muda—atau mereka yang cukup tua, tetapi masih digemari orang muda—banyak yang mengucapkan dukungan kepada Prabowo secara terang-terangan. Prabowo sering menjamu mereka, memotret diri, lalu membagikan momen itu di media sosial. Feeds Instagram-nya pun tak sesak. Banyak dipuji karena dinilai estetik, sesuai dengan selera orang muda. Kita boleh curiga survei tak sepenuhnya jujur. Namun, tak dapat disangkal, setidaknya di media sosial, Prabowo tampak berupaya—dan mendapatkan hasil dari upayanya—untuk merangkul orang muda.
Namun, pada saat yang sama, Prabowo tampak tak sepenuhnya yakin. Ia menyisakan keraguan. Meski ia, dalam batas-batas tertentu, dianggap mampu memoles diri sebagai sosok “orang tua yang baik dan peduli di mata orang muda”, ia tak bisa membohongi publik bahwa usia, bagaimanapun, berpengaruh. Dalam uraian-uraiannya—yang tak sesering dan seatraktif kandidat lain—ia tampak tak mampu benar menangkap keinginan orang muda. Gagasan-gagasannya usang. Kesehatan mental, yang banyak dipermasalahkan orang muda, dia tanggapi dengan pernyataan “kita harus gembira”. Ia menambahkan akar masalah kesehatan mental ialah gizi tak baik. Itu sebabnya, solusinya adalah makan gratis—program yang banyak ia jual di mana-mana. Program itu terdengar masuk akal jika diucapkan oleh Nani Soedarsono, Menteri Sosial era Orde Baru, nyaris empat puluh tahun silam.
Lalu, apa yang dilakukan Prabowo? Ia memerlukan figur muda. Dalam usia, tetapi terlebih dalam gagasan. Bonus apabila sosok itu mampu membantu mendongkrak elektabilitas. Kriteria itu ada pada Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo, putra Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia muda, dinilai merepresentasikan orang muda yang sukses di jalur politik, dan media sosialnya tak menjemukan—ia membiarkan wajahnya menjadi bahan meme dan menolak pose ngapurancang dengan setelan necis berpeci hitam untuk foto profilnya. Dan, lebih penting, ia seolah meneguhkan dukungan Jokowi kepada Prabowo—sesuatu yang sangat diidam-idamkan Ketua Umum Partai Gerindra itu. Namun, persoalan tak sesederhana itu. Gibran, saat ini, berusia 36 tahun. Undang-undang mensyaratkan kontestan Pilpres minimal berusia 40 tahun. Gibran—atau keinginan Prabowo—terganjal regulasi. Untungnya, entah komando dari mana, sejumlah partai dan mahasiswa di Solo mengajukan uji materiil aturan ini kepada Mahkamah Konstitusi atau MK. Gugatan ini digadang-gadang untuk memuluskan jalan Gibran menjadi cawapres.
Gibran, kemudian, tak ubahnya seorang anak yang mau mendaftar sekolah. Ketika usianya tak cukup, ia bisa mengubah dokumen—sesuatu yang jamak terjadi. Dalam urusan Pilpres, ia tak bisa hanya mengubah akta kelahiran agar dianggap lahir empat tahun lebih awal. Namun, MK bisa memberi harapan. Ketua MK saat ini, Anwar Usman, merupakan suami dari Idayati, adik kandung Jokowi. Kita membayangkan mereka, secara teknis, bisa membicarakan itu di grup. WhatsApp keluarga besar. Namun, setelah tujuh bulan, MK tak kunjung mengambil keputusan. Pada saat yang sama, Prabowo—juga Ganjar—belum memutuskan pendamping. Prabowo, belakangan, menyatakan ingin menunggu hasil Putusan MK. Senin, 9 Oktober 2023, beredar kabar MK akan mengabulkan gugatan soal usia capres dan cawapres. Kabar itu kemudian disusul dengan konfirmasi bahwa MK akan ketok putusan pada Senin, 16 Oktober 2023. Banyak pihak mengkritik jika mengabulkan gugatan itu, MK bukan lagi Mahkamah Konstitusi, melainkan Mahkamah Keluarga.
Saya justru ingin menyorot gugatan usia capres dan cawapres tampaknya mustahil hanya sebuah kebetulan—mumpung ada yang menggugat, Prabowo menunggu Putusan MK untuk umumkan cawapres. Gugatan MK hanya satu dari sekian banyak contoh para politisi kita berusaha sangat, bahkan mungkin terlalu keras untuk menggaet pemilih muda. Suatu waktu ketika sedang jalan kaki di sebuah tempat di Jakarta Selatan, saya melihat spanduk caleg, mengklaim dia bestie rakyat. “Kuy pilih saya,” kurang lebih bunyi spanduk itu. Saya ingat pula baliho besar yang selalu muncul, bahkan jauh sebelum Pemilu, yang mengklaim dia merupakan “pemimpin zaman now”. Gugatan MK bisa kita tumpuk satu kardus dengan contoh-contoh tadi, ketika politisi kita “berusaha terlalu keras” merangkul orang muda, pemilik lebih dari 50 persen pemilik suara dengan tidak pada tempatnya.
Padahal, seandainya saya memilih, sebagai konstituen muda, saya tak mempersoalkan usia secara harfiah, apa pula citra dan tampilan luar. Pandangan saya pasti tak merepresentasikan orang muda secara keseluruhan, tapi saya membayangkan ada harapan untuk memiliki pemimpin yang memahami dan menjawab permasalahan orang muda, alih-alih mereka yang berusaha keras mendekatinya sebagai lumbung suara. Dan, permasalahan itu sangat interseksional, tak bisa dipukul rata, serta mustahil diselesaikan dengan obat mujarab bernama “kerja keras”.
Menyelesaikan permasalahan orang muda, artinya menghapuskan ketimpangan sosial. Para kandidat harus menjawab permasalahan beban berlapis orang muda tanpa privilege di satu sisi, dan permasalahan orang muda kelas menengah pada saat bersamaan. Bukan sekadar menonton konser, berfoto bersama pesohor, dan menyulap aturan main agar orang muda masuk ke dalam gerbong mereka.
Penulis: Han Revanda Putra
Iluatrator: Hisam