Oleh Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
Apakah ada perasaan yang lebih mengecewakan selain kisah Layla Majnun yang dibuat oleh Syeikh Nizami dalam novelnya itu? Entahlah. Yang jelas kita dilahirkan karena perasaan kasih sayang yang mendalam dari kedua orangtua. Dibesarkan juga dengan kasih dan sayang. Lalu kalau kemudian kita mendapati hidup dalam kesialan, mungkin hanya Tuhan yang mampu menjawabnya. Sebab tak ada kuasa yang melebihi kuasanya selain memang mereka orang-orang yang bebal, angkuh dan tak pernah mau mendengar msaukan orang lain. Dan hal itu semakin hari semakin banyak. Mereka bicara ketuhan tapi Tuhan yang ada dalam dirinya sendiri justru kerap mereka ingkari. Kontras memang. Tapi rahwana bisa apa.
Dan malam itu, aku hanya bisa memandang keluar sambil menghela nafas panjang dalam-dalam. Situasinya sudah tak segampang dulu. Tapi juga tak serumit yang dikira. Ada banyak persoalan tapi semuanya berakhir mengasikan. Hanya yang satu ini saja yang masih menjadi tanda tanya dan slalu mengganjal. Untuk terus bertahan dengan kekacauan yang sudah tidak penting lagi. Menjelaskan secara sederhana juga tak akan bisa. Rentang waktu yang ditarik sudah semakin jauh mundur. Hanya tinggal kenangan saja yang masih melekat dan menjadi tanda kalau dahulu kita pernah bersama. Dalam banyak hal. Dalam banyak kesempatan. Dalam banyak pembicaraan. Maupun dalam banyak pertentangan-pertentangan kecil yang kerap singgah.
Tak ada kata yang bisa di teruskan bila memang sudah tak ada yang bisa diterima. Hanya kesia-siaan yang akan terjadi dan semakin membuat persoalan makin menganga. Diam adalah jalan terbaik. Cukup dengarkan pejelasannya dan mengangguk sebagai wujud penerimaan dari segalanya. Sudah cukup perdebatan. Tak perlu lagi ada penyanggahan. Dan aku memilih untuk mengucap ‘iya’ tapi menjeda masalahnya, daripada harus membantah yang itu bisa membuat masalah semakin tak jelas arahnya.
Membayangkan hal yang telah berlalu memang begitu indah. Kenangannya hadir dan memenuhi setiap lembar dalam ronga-rongga ingatan. Bahwa kita pernah mekar dengan begitu cantiknya. Bahwa rasa kita pernah tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Tapi itu dahulu. Itu cerita sebelum semuanya kini berakhir sebagai masa lalu. Dan aku tak ingin lagi tenggelam pada ingatan itu. Karena kutahu tenggelam dalam kubangan masa lalu itu ternyata sangat berbahaya. Bukan mimpi buruk yang mengerikan dalam hidup kita, tapi justru kenyataan yang buruk itulah ancaman yang paling nyata dari busuknya kualitas hidup kita – begitu seorang kawan pernah berpesan di ujung perbatasan jalan ini. Dan hal itu kini begitu terasa nyata. Segala kecaman yang ditarik mundur adalah akumulasi perasaan yang terluka. Tabungan itu sekarang sudah dipecah dan sudah pula ditumpahkan semua isinya.
*
Malam ini – setelah aku diusirnya secara kasar – aku kembali mencoba tertawa meskipun getir. Setidaknya aku mentertawai diri sendiri kalau memang tak ada orang lain yang bisa di tertawakan. Pengusiran yang sarkas itu benar-benar membekas di ingatan. Tadinya aku tak terbayangkan kalau ia sampai begitu tega melakukannya. Sama sekali tak terbayangkan. Apalagi kutahu bagaimana sifatnya selama ini. Sedikitpun aku tak pernah menyangka. Karena aku tahu ia orang yang baik. Hanya saja dunia yang sedang berjalan ini tidak sedang baik-baik saja.
Aku sebenarnya kecewa. Bukan pada siapa-siapa, tapi pada diri sendiri. Tapi biarlah. Kita memang harus selalu mengakrabkan diri dengan segala kekecewaan yang ada. Kita kecewa pada negara yang sering merampas paksa hidup masyarakat kecil. Kita kecewa pada aparat yang memanfaatkan kuasa seenak jidatnya saja. Kita kecewa dengan hukum yang kerap berat sebelah. Kita kecewa. Kita kecewa pada nurani yang berkebalikan dengan faktanya. Bahkan lebih banyak lagi dari itu. Tapi kita harus tetap menerimanya.
Saya berbeda dengan Nelson Mandela – kata Pramoedya Ananta Toer, seorang Sastrawan itu – Saya sudah menyerahkan segalanya pada negara ini, bahkan hidup saya. Tapi apa yang saya dapatkan? Saya ditahan tanpa proses peradilan selama bertahun-tahun. Pram, sapaan akrabnya, adalah orang yang begitu kecewa dengan negeri ini. Ia adalah orang yang membawa kecewanya sampai ke akhirat. Dan tak pernah sekalipun ia mau memaafkan penguasa tatkala itu yang dianggapnya telah melakukan kedzaliman yang teramat sangat buruk dan busuk untuk seorang dan banyak orang yang di tuduh sebagai antek komunis. Ia disiksa habis-habisan dan lalu dipenjarakan di tanah buangan yang ganas. Perlakuan yang diterima di penjarapun tak ubah seperti kebun binatang. Tapi ia dan kawan-kawan yang lain harus menjalaninya. Sampai akhirnya ia dibebaskan dan dijemput oleh keluarga dan anak-anaknya yang pada saat ia ditangkap masih kecil tapi saat penjuemputan sudah tumbuh dewasa. Itu salah satu kisah Pram – sastrawan besar kita yang melegenda – yang melahirkan banyak novel yang luar biasa. Dan aku bisa menceritakan padamu lebih banyak lagi kisah-kisah lainnya.
Tapi malam itu aku sedang tak ingin bercerita. Aku hanya ingin membaca saja sambil ditemani musik yang aku suka. Mungkin dengan begitu tragedi pengusiran tadi bisa sedikit tak berasa. Membaca mungkin bisa membantuku mengubur ingatan tentang tragedi itu. Syukur-syukur aku bisa melupakannya.
Tapi tak juga harus dengan membaca buku. Kadang aku menguburnya dengan membaca peristiwa-peristiwa dari berita online. Seperti kisah seorang petani yang dibunuh oleh ‘anjing-anjing’ penguasa tanah perkebunan. Mahasiswa yang ditangkap aparat karena menolak undang-undang omnibuslaw. Termasuk yang jadi salah tangkap dan sebagainya. Belum lagi pemerintah menginstruksikan agar semua aktivitas hari ini dibatasi. Mengingat penyebaran virus corona yang semakin meluas. Sekolah menjadi daring. Semua pusat belanja harus tutup setelah isya. Termasuk kedai-kedai dan kafe. Tapi pemerintah hanya bisa memerintah saja. Dan tak memberi solusi pada kemiskinan yang ibarat dua sisi mata uang yang berbeda dengan corona; sama-sama mengancam kehidupan nyata. Malah aparat bersenjata seperti polisi, tentara, bahkan Satpol PP diberi dana dan kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang kerap berujung refresif dan melanggar hak asasi manusia. Itu yang terjadi. Ya, tapi malam ini aku hanya ingin membaca. Meskipun kutahu semakin kubaca semakin sengak aku melihatnya. Aku bukannya tak memikirkan apa yang terjadi diluar sana. Apa yang terjadi dengan masyarakat kecil, kaum minoritas yang menggantungkan hidup dari orang yang belanja pada apa yang dijualnya di pinggir jalan sana. Bukan. Bukan aku tak memikirkannya. Aku hanya bisa memikirkan bagaimana bisa membaca dan setidaknya tragedi pengusiran tadi bisa hilang walau sementara di dalam ingatan ini. Itu saja.
Tapi saat sedang asyik membaca, beberapa pesan tampak mengusk dan menginterupsi kekhusuyukanku saat membaca. Pemberitahuan dari berbagai grup berseliweran. Meskipun tak ada yang serius juga. Hanya sapaan dan bercanda malam saja. Tak jarang sesekali aku melihat pesan-pesan tersebut. Tertawa. Geli. Dan macam-macam. Seorang waria tertangkap basah sama warga sedang ‘begituan’. Dan tampak memelas agar perekaman terhadap dirinya di hentikan. Ada juga pesan yang bertanya tentang cara membuat stiker, lalu di balas dengan yang lainnya secara lucu dan kocak. Begitulah. Dan begitu kadang interupsi itu juga bisa menyenangkan. Menenangkan.
*
Waktu semakin menunjukkan wajah kelamnya. Tak ada bintang yang terlihat di ujung langit. Maklum cuaca sedang tidak cerah. Sedari sore gerimis sudah berguguran satu persatu. Hanya bunyi-bunyi kodok yang tampak bersahutan riang dengan tetes-tetes air yang berjatuhan tersebut. Jangkrik yang kadang ikut bersuara tak mau kalah dengan seteru malamnya tersebut. Jalan-jalan basah. Pengendara berselimut plastik-plastik agar tak ketiban akibat dari gerimis itu; basah.
Aku melihat dan melihat sekelling. Sambil kembali menyalakan rokok yang sudah makin menipis. Rokok juga sangat mengecewakan. Saban waktu harganya selalu naik. Sementara kita tidak tahu kemana keuntungan dari pajak, cukai dan semuanya terkait rokok tersebut. Kalau pun sakit, berobat ya tetap bayar sendiri. Paling-paling ke puskesmas kalau mau sedikit agak murah. Tapi namanya juga puskesmas, pelayanannya sangat terbatas. Selain hanya jadwalnya hanya setengah hari buka, batasan pelayanan juga terasa mengganggu sekali. Terutama untuk aku yang kerap sakit gigi karena ada beberapa bagian yang memang sudah bolong. Berharap biaya agak lebih murah, tapi malah dokter puskesmas bilang agar aku pergi kerumah sakit untuk dilakukan penanganan lanjutannya. Hari ini puskesmas hanya bisa memeriksa saja. Tapi penangan intensipnya harus dilakukan di rumah sakit. Dan itu alamat untuk pembiayaan yang tak perlu di bayangkan lagi – sudah pasti mahal tentunya. Apalagi bagi seorang penganggur sepertiku.
Karenanya kadang aku suka menulis protes terhadap itu semua. Aku kadang membuat puisi kecil sebagai ekspresi dari apa yang terjadi. Hanya itu yang bisa jadi penghiburan secara gratis, selain membaca. Dan malam ini aku juga berkeinginan membuat sebuah puisi untuk seorang kawan yang ‘akan pulang kembali’. Berharap ia bisa baca dan menangkap harapan yang ada. Kuberi judul puisi tersebut ‘Aku Hanya Ingin Senyum, Itu Saja!’.
Larut berlalu, pagi tiba meniba saat adzan-adzan itu sahut menyahut,
Dan mata pun tak hendak berdiam,
Satu persatu puntung-puntung itu memenuhi asbak diatas meja.
Tak banyak kata, tak ada pembicaraan,
Hanya senyum-senyum yang mengisyaratkan pola,
Nilai-nilai yang betapa absurd dan tak berguna,
‘kau ingin pulang, silahkan’, ujarku, ‘barangkali rindumu masih menunggu disana’.
Awal yang terlanjur menjadi asalmu,
‘aku mungkin juga akan kembali lagi tuk sekedar menghitung langkah, jejak kebermulaan yang pernah dilalui’.
Sampai jumpa, sampai bertemu kembali. Sampaikan salamku untuk semua yang ada disana. Dan pada saat kita bertemu kembali, saat mata itu beradu pandang, sungguh, tak banyak yang akan kulakukan, selain melempar asa, menebar kisah, menanti hujan reda di bawah rindang pepohonan, sambil tersenyum. Sekali lagi, Dan aku hanya ingin senyum, itu saja!.
Selamat jalan kawan, selamat sampai tujuan,
Tak lupa teruslah berbahagia,
Sampai kita bersua kembali.
Mungkin bagi seorang sastrawan, puisiku belumlah layak dianggap sebagai sebuah karya sastra. Karena hampir semua puisiku hanya berkutat pada emosi jiwa yang selalu menampakkan wajah yang penuh amarah. Walau aku juga mencoba untuk memasukkan unsur romantisme. Tapi masih terlalu kasar. Aku sering memaki semua-semuanya. Dengan kata-kata yang teramat kasar. Sehingga setiap orang yang melihatnya mungkin saja berpikiran yang tidak-tidak. Atau bagi yang sudah terbiasa akan menganggapnya sebagai tanda bahwa aku masih hidup. Karena ‘kalau tidak seperti itu mungkin kami gak tahu dirimu bagaimana’ begitu kata mereka yang sering mengejekku dengan apa yang kubuat. Tapi bagiku tak masalah. Itulah yang namanya kehangatan. Yaitu apabila engkau bisa bertahan dengan segala kekuranganku. Termasuk tentang kekecewaanku. Karena kecewa itulah yang mendewasakan kita. Jadi bukan karena umur atau berbagai sertifikat-sertifikat yang berhasil didapatkan sebagai ukuran kedewasaan. Kemampuan menerima, memahami dan menyalurkannya pada hal positif itulah yang akan menuntun prilaku jadi lebih baik lagi. Kekecewaan itu lebih baik dari kebencian – begitu yang pernah kubaca dari salah satu puisi. Aku tidak benci tapi hanya kecewa – tulisnya.
Hanya orang yang berpandangan dangkal saja yang ketika kecewa ia berlari pada hal yang tak berfaedah. Mabuk misalnya. Karena jelas hal itu tak memberi jawab pada setiap kekecewaan pada dirinya. Malah semakin membuat masalah semakin bertambah. Dan aku mengamini nasehat seperti itu. Pun begitu saat tragedi pengusiran itu terjadi. Tapi aku sama sekali tak membencinya. Aku menyayanginya. Aku mencoba memahami perasaannya yang terakumulasi oleh masalah-masalah yang ada dan belum sempat di utarakannya padaku. Karenanya aku tak hendak berlari. Apalagi untuk melegalisasi kebiasaanku yang buruk dengan botol-botol tersebut. Karena botol-botol itu bagiku hanya bisa jadi teman saat sedang berbahagia saja. Tapi saat ada masalah, menyentuhnya adalah kesalahan yang lebih fatal dari masalah sebelumnya. Tidak. Aku bahkan sama sekali tak butuh minuman setan itu. Minuman itu bukanlah solusi dari semua kekecewaan yang ada. Aku hanya butuh sebuah ruang yang kondusif sambil mendengarkan alunan musik yang memang kusukai. Dan lalu merekam ingatan tersebut dalam banyak cerita. Hanya seperti itu. Simpel dan sangat sederhana. Dan aku mencoba untuk melupakan semua masalah yang ada. Aku selalu ditemani oleh kata-kata. Karena apalagi yang bisa dilakukan seorang penganggur sepertiku. Selain menghitung kata demi kata untuk kemudian dirangkai menjadi kalimat. Hanya itu. Karenanya, mungkin saja terdengar tak nyaman oleh sebagian orang yang membacanya. Tapi tak mengapa. Memang tak semua harus sepaham dengan jalan pikiranku yang absurd ini.
*
Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar.
Sahabat, masih ingatkah,
Kau.
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Dihati.
Lagu ‘Belum Ada Judul’ dari seorang musisi kawakan Iwan Fals itu masih mengalun pelan di depan layar monitorku. Adzan pun juga ikutan berlalu. Suara kicau burung mulai bersahutan di balik jendela kamar, kulihat terang sudah mulai mengintip perlahan. Fajarnya mulai menyingsing. Dan sepertinya pagi akan tampak cerah. Secerah para pengagumnya yang merindukan kehangatan yang dipercaya mampu menyehatkan tubuh. Tapi sayangnya pikiran belum hendak diajak rehat. Meski mata sudah mulai tinggal beberapa watt saja.
Pesan-pesan di grup mulai berdenting lagi. Ucapan selamat pagi bagi yang sudah bangun terasa begitu segar bugar. Dan aku masih juga belum tidur sampai sedini ini. Bahkan sampai mentari sudah mulai bekerja lagi. Tapi apapun jadinya, aku harus mengambil sikap. Aku harus istirahat. Meskipun yang lain sudah mulai bangun. Tapi setidaknya aku masih bisa menyambut mentari sama seperti yang lain walau kemudian hal itu akan kuingkari.
Maaf – begitu aku mengirim pesan padanya. Maaf atas semua yang terjadi. Atas semua pengingkaran. Atas semua ketidaknyamanan. Atas semua keraguan. Mungkin aku memang bukan yang terbaik. Tapi semoga engkau bisa menjadi yang terbaik. Dalam pekerjaan. Dalam pendidikan. Maupun dalam hidupmu yang lebih luas. Termasuk dalam harapan. Dan kalau ada kesempatan, semoga kelak kita bisa bertemu kembali walau sebatas orang yang punya memori. Sekali lagi maaf. Dan selamat beristirahat.
Aku lantas menutup malam yang panjang itu dengan sebuah kata ‘maaf’. Mungkin ini sepele sekali. Tapi aku sangat yakin bahwa ‘maaf’ adalah kata yang tepat untuk mengukur pribadi kita. Walaupun hanya empat hurup dan dua suku kata saja, tapi ia punya makna yang baik. Meskipun kadang malah orang lain yang membalasnya. Karena bagiku, ‘maaf’ bukan sekedar kata tapi sekaligus prinsip dalam hidup. Dan itu yang kulakukan kali ini sebelum kemudian beranjak ke dunia lainnya.
Pingback: book hotel