Oleh Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
Aku ingin mendengarkan lagu rock – kata Malik – sore ini. Dentuman yang keras itu mungkin akan sejenak membuat ia melupakan apa yang sedang meluap di pikirannya. Semuanya kacau. Semuanya rusak. Tidak hanya negeri ini. Bahkan orang-orangnya pun turut meremukkan semuanya. Di tipi mahasiswa remuk di hajar aparat karena menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Di koran dan radio berseliweran pendapat yang mengatakan mahasiswa yang melakukan tindakan anarkis, membakar halte, pos polisi dan menghancurkan kaca-kaca yang ada di gedung dewan. Di pesbuk, masyarakat saling caci dengan membawa isu rasisme, maunya mengusir mahasiswa pendatang yang di anggap biang kerusuhan. Belum lagi yang ada di dalam hatinya, Malik merasa remuk karena ternyata telah di bohongi oleh teman permpuannya sendiri. Teman yang tadinya mengaku menyesal atas apa yang dilakukannya. Berjanji tidak akan mengulangi lagi. Berjanji tuk tidak membuka kesempatan lagi kepada lelaki yang telah menyakitinya. Tapi janji itu hanya omongan manis belaka. Karena ternyata hanya sandiwara. Dan Malik tertipu mentah-mentah dari semua omongan manis tersebut. Bahkan rencana dan janji untuk membicarakan hal yang serius di sore ini pun di ingkarinya tanpa alasan. Malik akhirnya hanya menunggu ketidakpastian. Sebelum akhirnya ia kecewa sendiri. Dan tak berharap ada pesan masuk dari perempuan tersebut. Karena apapun alasannya, maka itu sudah terlambat. Malik sudah terlanjur kehilangan mood nya pada sore ini. Marah? Tidak. Ia hanya sedang merasa berjalan di atas bara. Panas.
Semua bermula dari pertemuannya dengan Santi di sebuah kafe pada dua malam sebelumnya. Santi adalah teman lama Malik dari dulu, dari masih menjadi pengurus asrama mahasiswa daerah di Jogja sampai hari ini. Dan singkat ceritanya, Santi protes kepada Malik tentang hal yang dianggapnya bahwa Malik selalu membela salah satu dari teman perempuan mereka. Dan teman yang dimaksud tersebut adalah perempuan yang mengingkari janjinya untuk bertemu dengan Malik sore ini. Karena menurut Santi, perempuan tersebut tidaklah patut dibela. Perempuan ini hanya manis bicaranya saja. Belum kering omongan itu dbibirnya, hal yang sama diperbuatnya lagi. Karena itu Santi protes dengan keras. Karena memang selama ini Malik selalu membela dari apa yang terjadi padanya. Selain ia ingin menunjukkan tabiat perempuan tersebut yang kerap membuat Malik buta pada kenyataan yang ada.
“Abang sudahilah membela ia terus. Abang tidak tahu kalau ia hanya manis dibibir saja. Gayanya aja sok menyesal, takkan mengulangi dan blablabla itu”
“Lho, emangnya kenapa coy? Kok kayaknya sewot amat. Minum dulu teh mu itu. Keburu dingin nanti”
“Abang tidak tahu kan?”
“Apanya?”
“Abang tidak tahu kalau sore tadi, mantan pacarnya datang lagi. Mereka masuk kamar dan langsung tutupan. Coba, apa yang dilakukan? Ngomong aja kan kemarin kalau ia menyesal. Lalu bilang takkan mungkin balik lagi. Tapi ternyata apa”
“Hahahaha…jadi itu masalahnya. Aku sih terserah saja. Mau ngapain aja dia ya terserah. Kekerasan bukan aku yang dapatkan. Bukan aku yang lakukan. Tapi ia sendiri. Aku sudah katakan bahwa sangat naif dan keterlaluan bodohnya kalau sampai kembali lagi dengan bajinguk itu. Tapi kalau ia memilih untuk bersamanya, ya mau apa lagi”
Kemudian mereka asyik kembali menyeruput teh hangat yang sudah dingin itu. Lama bercerita membuat teh sudah serupa minum es. Sambil percakapan terus berlanjut. Cerita tadi rupanya panjang sekali. Tampak kekesalan Santi malam ini. Ia geram. Berulang kali ia memotong kalau Malik lagi bicara. Dan lagi-lagi menurutnya itu adalah pembelaan Malik saja. Dan ketika Malik mencoba mengubah topik yang berbeda, Santi berdalih bahwa itu hanya alibi Malik saja untuk tidak membahas tentang perempuan yang sedang mereka bicarakan tersebut.
Santi berulang-ulang kali menginterupsi. Bibirnya selalu mengeluarkan kata ajisaktinya ‘tai’ ketika sedikit saja Malik coba menerangkan secara bijak. “Tai tai tai”, ucapnya lagi, “tai semua itu bang. Tak usahlah bang Malik sok bijak. Pembelaan abang tu tai”. Santi kesal karena Malik masih saja coba membela perempuan tersebut.
***
Malik sebenarnya menaruh perasaan yang berlebih kepada perempuan teman Santi tersebut. Tapi bukan karena itu ia terlihat selalu membelanya. Justru bagi Malik, ia tidak mungkin membela hal yang tidak sepatutnya dia bela. Ia hanya mendedahkan pendapatnya saja yang berharap semua tidak berprasangka negatif pada apa yang terjadi. Dan pada anggapan Santi kali ini, Malik punya cara sendiri untuk memberitahukan perempuan tersebut. Diluar Malik memang tampak membelanya. Tapi sesungguhnya – jauh di balik layar – Malik sering memberi masukan pada perempuan tersebut. Tentang apa yang seharusnya jadi sikap yang harus di ambil. Atau tentang apa saja yang menurut Malik tidak pantas apa yang dilakukannya. Bahkan Malik biasa mengiriminya pesan panjang, yang kadang bernada marah, kesal, kecewa dan sebagainya. Pernah pula ia mendiamkannya, tak berkomunikasi dengannya. Semua dilakukan agar perempuan tersebut bisa memilih dan memilah secara lebih baik lagi dari apa yang dilakukannya. Jadi bukannya Malik berupaya untuk membelanya. Hanya saja Malik tidak mau seolah-olah pembicaraan yang tidak melibatkan orangnya secara langsung berubah menjadi lahan ghibah yang tak penting.
Santi pun tahu tentang perasaan yang di miliki Malik kepada perempuan temannya tersebut. Berkali-kali Santi pernah membicarakannya. Hanya saja Malik tidak berterus terang kalau ia suka dengan perempuan yang berjilbab itu. Malah Santi kerap protes karena perlakuan spesial Malik ke perempuan tersebut. Tidak hanya membelanya, tapi juga yang lain-lain. Semisal, kalau makan suka berdua. Nonton bioskop suka berdua. Kemana-mana berdua. Berbeda kalau dengan yang lainnya. Rame-rame dan bayar sendiri-sendiri. Tapi dengan perempuan tersebut, tak jarang Malik yang merogoh koceknya untuk membayar apa yang mereka lakukan.
Dan keakraban diantara mereka seolah membenarkan bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan Malik dan perempuan tersebut. Malik yang setahu Santi suka diajak kemana-mana, kini jadi aneh. Dan dari beberapa pengamatan yang dilakukan, Malik mau ikut kalau perempuan tersebut ikut. Kalau perempuan tersebut tidak ikut, kadang Malik punya berbagai alasan untuk tidak ikut. Atau ikut tapi kelihatan sedikit terpaksa.
Santi pun pernah membaca – secara tidak sengaja – secarik kertas ketika masuk ke dalam kamar kos temannya itu. Kebetulan kos mereka berhadapan. Dan sasa itu ia juga sedang keluar. Tampak bahwa kertas itu terlihat baru saja dibuka dan dibaca. Belum ada patahan dari lipatan kertas. Artinya baru saja di keluarkan dari dalam buku. Biasanya hal itu dilakukan untuk menjaga kertas agar tidak terlipat, salah satunya ialah dengan memasukkannya ke dalam halaman buku. Dan kertas itu akan terjaga utuh. Tapi ketika Santi mencermatinya, kertas tersebut ternyata bukan surat. Tapi itu sebuah puisi. Dan di bawah judul puisi tersebut tertera jelas nama perempuan itu. Disebutkan dalam isinya bahwa betapa Malik jatuh hati dan mencintai perempuan tersebut. Mamandangnya, Malik sudah senang. Dan Malik akan berusaha membuat perempuan tersebut selalu dan selalu merasa nyaman. Ia sering melihat aktivitasnya, dan lain-lain. Secara utuh isinya begini;
aku tidak perlu bilang cinta,
cukup memandang matamu saja,
aku tahu.
–
aku tidak perlu bilang sayang,
cukup membuatmu nyaman saja,
aku tenang.
–
aku tidak perlu bilang rindu,
cukup lihat di insta-story mu,
aku lega.
–
aku tidak perlu ini dan itu,
aku hanya perlu kamu tidak khawatir,
aku hanya perlu kamu tidak ada masalah,
aku hanya perlu kamu tidak malu,
aku hanya perlu kamu tidak kecewa,
aku hanya perlu kamu tidak merasa rendah,
aku hanya perlu kamu bangga,
aku hanya perlu kamu bahagia,
itu saja.
***
Dari puisi itulah yang semakin meneguhkan Santi bahwa Malik memang benar-benar mencintai teman kos nya tersebut. Bahkan sampai ke dalam tulisan pun Malik sedikit berubah. Atau jangan-jangan ini hanya yang tidak diketahui Santi saja. Tapi menurutnya, Malik tidak sepuitis itu dalam membuat puisi. Ia biasanya meledak-ledak dan penuh kemarahan kalau sedang membuat tulisan. Termasuk puisi. Gaya bahasa yang dipakainya pun tidak dibesar-besarkan. Dan apa adanya. Bahkan kadang terkesan jorok bagi orang awam. Semua itu karena Malik seorang demonstran. Dan hampir di keseluruhan mengenalnya dari awal, menurut Santi, Malik adalah orator yang berapi-api pada masanya. Ia lantang berteriak tentang kemiskinan. Ia lantang berteriak tentang ketidakadilan. Ia lantang berteriak membela hak asasi manusia. Makanya melihat tulisan di secarik kertas itu, apalagi puisi yang isinya sangat romantis tersebut, Santi nyaris tidak percaya.
Santi mencoba meminta Malik untuk membuatkan puisi untuknya. Ia ingin tahu apakah Malik bisa membuatkannya sebuah puisi romantis atau tidak. Tapi ia tidak bilang kalau sudah melihat puisi yang ditulis untuk teman kos nya tersebut. Santi ingin membandingkan puisi seperti apakah yang akan dibuat Malik kalau kepadanya. Apakah akan seperti Malik yang dikenalnya, seorang yang lantang berbicara kritik kepada semua yang berkuasa, atau justru memang sudah berubah aliran dan keyakinannya. Karena itu Santi berkirim pesan pada Malik agar ia di buatkan puisi untuk dibacakannya dalam suatu acara. Dan biasanya Malik dengan senang hati membuatkan hal tersebut. Karena selama ini seperti itu yang terjadi. “okay” kata Malik.
Malik tidak pernah lama bila diminta membuat sebuah puisi. Otaknya cukup cair dan encer untuk hal itu. Apalagi memang semua isi di kepalanya seperti gudangnya makian dan cacian. Ia tak pernah kehabisan stok kata-kata. Dan yang paling menakjubkan bahwa puisinya berbeda dengan yang lain. Kalau yang lain cuma singkat, tapi puisi Malik biasanya agak panjang dan bercerita. Hampir mirip sebuah artikel bebas. Katanya tidak ada definisi pasti dari sebuah puisi. Semua bebas menafsirkan dan membuatnya. Bahkan satu kata pun bisa jadi puisi. Hal itu tergantung dari bagaimana kita membacakannya. Apalagi ditambah nada. Akan tetapi puisi yang asli adalah walaupun ada nada atau tidak, puisi selalu memiliki getaran dan kekuataan tersendiri ketika di bacakan. “Semacam ada sihir tersembunyi di balik sebuah kata-kata dari sebuah puisi. Itulah sejatinya puisi” begitu penjelasan Malik ketika di tanya tentang puisi. Jadi jelas kelihatan idealismenya. Akan tetapi Santi masih menunggu puisi yang akan dibuatkan oleh Malik.
Satu jam setelah permintaan itu, ponsel Santi berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk. Dan ketika dilihat itu dari Malik. Katanya puisi sudah dikirimannya ke email. Karena memang agak panjang, jadi tidak bisa dikirim lewat pesan whatapps saja. Santi membuka laptopnya dan langsung masuk ke email. Ada satu pesan yang masuk dan tertulis dikirim dengan nama kreativa. Jelas itu adalah Malik. Setelah di download, barulah Santi membuka puisi tersebut. Dan Santi hanya tersenyum-senyum saja melihatnya. Sebuah puisi yang lagi-lagi isinya adalah sindiran tajam dan telak bagi penguasa. Dan ini dikirim oleh Malik sang orator tersebut.
CERITA DARI NEGERI API
Aku slalu bertanya, apa benar kita hidup di negeri agraris? Tapi mengapa tanah tempatnya sayur mayur tumbuh subur pun sering dirampas dengan sangat buas dan ganas. Katanya negeri ini kaya raya, Ber-per-adab-an tinggi, Tapi mengapa ada segelintir orang yang mendikte ratusan juta nasib orang lainnya.
Kita hidup pada negeri tropis, Yang nasibnya hanya menyisahkan dua musim; Kemarau Kemanusian dan Banjir Dusta. Penampilan modern tapi prilaku tak pernah beranjak dari kubangan primitif primordialnya. Kesombongan, kemunafikan, ketololan, bahkan fakir pengetahuan menjadi karnaval tontonan yang dibanggakan.
Aku sangsi kita hidup dengan sistem yang berjalan hari ini, Demokrasi yang katanya orang-orang bebas bersuara, bebas menyatakan pendapat, tapi untuk mengatur nasibnya sendiri begitu diharamkan. Kalau saja memang demokrasi itu baik, mungkin saja tak ada kasus Kendeng, Juga mungkin tak ada kasus Urutsewu, Kinipan bahkan Papua. Tapi demokrasi rupanya tak lebih serupa hayalan, karenanya semua menjadi kering, Lihatlah semua kekeringan ini, air tanah bahkan air mata semuanya sudah habis terbuang percuma, Untuk yang namanya demokrasi.
Kita mudah percaya pada kata-kata yang indah, Kata-kata manis dari para pesohor yang mahir merebus nasib kaum miskin dalam panci-panci penderitaan, Dan dipanggang oleh bara kebohongan yang panas. Lalu, setelah matang, kata-kata itu dijual dalam lembar-lembar pada banyak cerita, pada banyak lantunan-lantunan lagu, yang dipoles sedemikian rupa untuk menghasilkan pundi-pundi berhala yang bernama cuan.
Kita kerap ditipu oleh pesohor gadungan, Pesohor jenius yang candu akan pragmatisme, Pesohor yang mendaku pejuang padahal pecundang, Pesohor kapitalistik yang haus pujian dan popularitas. Serupa kita ditipu oleh pemuka yang cabul dan biadab, Yang selalu mengingatkan tentang neraka tapi doyan mencicip selangkangan yang ranum merah, Yang tetap dihormati, dikagumi, dan nasehatnya bagaikan sabda yang tak pernah salah, tak bisa dipersalahkan, tak tersentuh hukum, apalagi karib kerabat dan yang terbiasa menetek padanya.
Karena itu aku mengamini nasehat pendahulu, bahwa yang pertama adalah tragedi, Selanjutnya hanyalah lelucon. Kini kita bukan lagi untuk mempertanyakan apakah hidup ini adil atau tak adil. Tapi kita sendiri yang harus mencari dan menggali keadilan itu; hidup atau mati!
Sungguh sesuatu yang kontras yang dilihat Santi dengan puisi yang ditulis Malik untuk temannya tersebut. Kalau puisi yang dikirim ke perempuan tersebut Santi jadi kurang percaya kalau itu dibuat Malik. Tapi kalau melihat puisi yang tuliskan Malik untuknya, itu jelas sekali Malik yang sangat di kenalnya. Malik yang berkali-kali menjadi target penangkapan karena sering menyinggung secara langsung aparat yang sedang berjaga saat ada aksi massa. Malik yang tak segan menyebut kata ‘maling’ pada elit politik dan ‘bangsat’ bagi para aparat yang bersekongkol dengan elit tersebut.
Tapi Santi termasuk yang takjub dan bangga dengan Malik. Bahwa dari balik dapurnya yang meledak itu, rupanya masih ada sisi romantismenya juga. Dan itu yang dilihatnya dari tulisan yang dikirimkannya pada teman kosnya tersebut. Santi pun kerap membanggakan Malik dengan kawan-kawannya. Bahkan tak heran diantara mereka sendiri keluar gojekan – bercandaan – yang seolah-olah mereka berdua adalah pasangan kekasih. Di kantor, di lingkaran teman daerah bahkan di lingkungan organisasi mereka berdua – Malik dan Santi – sudah dianggap pasangan ideal. Yang satu suka masak, dan yang satunya suka makan. Klop. Bahkan tak jarang teman-teman ikut menawarkan membantu membuat design surat undangan kalau seandainya mereka mau menikah. Sungguh bercandaan yang keterlaluan dan absurd. Hahaha…
Tapi dasarnya Malik yang urakan, Santi tidak akan pernah percaya kalau Malik mau cepat menikah. Ia masih menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang teramat sangat sakral. Karena itu menikah bukan untuk main-main. Dan selama ini banyak orang telah melacurkan arti pernikahan yang membuatnya menjadi tak berarti. Beberapa kalangan menyebutkan hal itu sebagai dinamika. Seperti terjadinya keributan dan semacamnya. Tapi berbeda bagi Malik. Ia justru melihat hal tersebut sebagai rendahnya pemahaman orang-orang yang tidak mengerti ritual dan esensi dari sebuah pernikahan. Santi dan Malik pernah berdebat tentang hal ini. Dan Malik memang teguh dengan prinsipnya. Tapi bukan berarti Malik menentang atau menolak suatu pernikahan. Cuma Malik punya prinsip yang menurutnya hal itu sangat memungkinkan dipahami. Tapi justru menurut Santi hal tersebut sangat utopis sekali. Malik mengatakan bahwa menikah itu hal yang tingkatan sakralnya tinggi. Dan orang-orang yang telah memilih untuk menikah seharusnya paham dengan itu. Sehingga kalau sudah paham maka sudah tidak ada lagi keributan bahkan kekerasan dalam rumah tangga yang sejatinya itu tidak perlu. Persoalan ekonomi yang banyak melatarbelakangi keributan – bahkan sampai dengan tega melakukan pembunuhan – seharusnya tidak terjadi lagi bila orang tersebut sudah benar-benar masuk ke dalam pemahaman yang dalam tentang pernikahan. Tapi kalau pernikahan hanya sebatas membuka selangkangan, lalu berketurunan, maka itu bukanlah pernikahan. Tapi itu adalah perbudakan seksual yang dilegitimasi oleh keyakinan. Malik kekeuh dengan argumennya itu. Bahkan tak jarang ia kuatkan dengan bermacam teori sosial lainnya.
Itulah Malik. Lelaki yang tak pernah peduli pada keadaan dirinya. Malah ia lebih peduli pada keadaan orang lain. Ia peduli pada mereka yang dimiskinkan oleh struktural. Mereka yang terpaksa menderita karena semua tanahnya di rampas oleh yang berkuasa, yang meminta aparat bersenjata untuk turut melakukan intimidasi kalau masyarakat bersikeras tidak mau menjual tanahnya. Mereka yang bekerja mati-matian mempertaruhkan nyawanya sampai ke luar negeri yang di tipu dengan istilah pahlawan devisa. Mereka yang jadi korban tindakan refresif aparat dan fitnah elit politik yang culas. Semua itu yang justru lebih Malik perhatikan dibandingkan dirinya sendiri. Dan salah satunya juga yang termasuk pada apa yang di pedulikannya juga ialah teman kos nya Santi tersebut. Dan karena itulah Santi berusaha menceritakan beberapa hal yang penting kepada Malik. Termasuk pembicaraan yang dibicarakan mereka di kafe malam itu.
***
Mendapat informasi dari Santi kali ini, bagi Malik penting juga untuk melihat permasalahan yang sesungguhnya. Supaya tidak jadi pembelaan sepihak saja. Supaya tidak jadi suudzon atau prasangka buruk. Karena kalau memang benar apa yang dikatakan Santi, maka itu benar-benar keterlaluan. Karena apa yang sudah berusaha di jelaskannya selama ini, rupanya hanya jadi pepesan kosong saja. Hanya buang-buang waktu dan umur. Walau apapun yang terjadi – sekalipun benar – Malik pun tak bisa juga menghentikan hak yang bisa dilakukan perempuan tersebut. Karena sejatinya tidak ada ikatan pasti diantara mereka. Yang ada adalah ikatan perteman. Tapi justru ikatan pertemanan itulah yang seharusnya tidak untuk di abaikan. Terkadang, seorang teman bisa lebih berarti dari seorang pacar. Karena kadang tak bisa di pungkiri – yang namanya pacar – tak lebih hanya sekedar teman dengan keuntungan saja. Friend With Benefit. Dan selalu begitu. Dan lagi-lagi yang jadi korban adalah perempuan. Karena keuntungan yang dimaksud ialah bukan saja berapa banyak materi yang berhasil di porotin dari sang perempuan, tapi juga pakaiannya kalau bisa di pelorotin juga sehingga kepuasan seksual yang liar jadi tersalurkan. Tanpa bayar. Walau harus di paksa sedikit.
Memang karena dasarnya Malik adalah orang yang tidak terlalu mudah percaya, maka banyak hal yang di lewatkannya begitu saja. Tapi kali ini ia mencoba untuk merangkai kembali apa saja hal-hal yang terjadi belakangan ini. Terutama tentang perempuan yang pernah di tulisnya dalam sebuah puisi tersebut. Malik mencoba mencocokkan kejadian dari beberapa waktu yang lau, dimana si perempuan tersebut menanyainya secara intens. Sederhana memang. Ia hanya bertanya apakah Malik sayang padanya. Dan Malik menjawab sayang. Lalu Malik di todong lagi dengan pertanyaan seperti apa rasa sayang itu ia lakukan, apakah sebagai ini dan itulah. Malik hanya tersenyum. Ia hanya menjelaskan bahwa pokoknya ia sayang saja. Terserah mau dimaknai seperti apa, tapi harapannya, perempuan tersebut bisa paham dari apa maksud gestur yang di tunjukannya selama ini. Dan kemudian perempuan tersebut mengaku mengapa ia bertanya dengan Malik seperti itu karena ia tidak hendak Malik berprasangka buruk terhadapnya karena salah satu aplikasi di ponselnya di gunakan mantannya dahulu untuk melakukan siaran langsung. Perempuan itu tak mau kalau Malik menganggapnya ia balikan lagi pada mantannya.
Lalu besoknya lagi – selepas isya – Malik tiba-tiba di telpon lewat saluran video. Mereka ngobrol dan bercanda seperti biasanya. Perempuan tersebut tidak sedang berjilbab. Rambutnya yang agak panjang terlihat sedang terurai. Ia sesekali berbicara manja. Tapi yang Malik paham bahwa tidak ada perempuan yang tidak senang di puji kalau ia cantik. Dan Malik pun begitu. Termasuk dengan perempuan ini. Mereka cukup lama ngobrolnya. Perempuan tersebut sangat girang sekali. Entahlah karena apa. Bisa jadi karena ia telah selesai mengerjakan tugas kuliahnya. Atau bisa jadi ia sedang dapat rezeki yang berlebih. Malik pun tak hendak menginterupsi kebahagian itu.
Dan dua hari berikutnya lagi, sang perempuan tersebut kembali menghubunginya. Kali ini ia sedang pulang ke desanya. Ia menawarkan apakah Malik jadi mau makan pisang goreng di rumahnya di desa. Kalau mau maka dia akan memasak pisang goreng tersebut. Tapi nasib kurang beruntung bagi Malik. Entah mengapa lehernya tersengat serangga yang berbahaya. Sehingga membuat sebagian leher depannya terasa panas, perih dan melepuh. Dan itu yang membuatnya tak bisa kemana-mana.
Malik mencoba merangkaikan hal-hal itu. Ia mengingat kembali apa-apa yang dibicarakan diantara mereka. Apa saja reaksi yang ada dari keseluruhan gestur dan raut wajah yang tampak. Apa-apa saja yang terlintas dalam intearksi mereka. Dan puncaknya, Malik mencoba mengatakan dan mengajak perempuan tersebut untuk bicara serius dan hanya mereka berdua saja. Tapi karena perempuan itu masih di desa, maka rencananya setelah ia pulang ke kosnya nanti baru bisa di rencanakan lagi. Dan dua hari berikutnya Malik mengabari ulang apakah mereka bisa ketemu. Karena Malik sudah tahu kalau perempuan tersebut sudah ada di kos nya.
Karena ditanyakan lagi, perempuan tersebut mencoba mengulik isi dari rencana bertemu dan yang mau di obrolkan secara serius itu apa. Tapi Malik enggan untuk menceritakan atau membocorkan isi dari rencana itu nanti. Malik bersikeras agar mereka bertemu saja dulu. Biar semuanya menjadi lega kalau sudah di obrolkan. Karena bagi Malik hal ini penting untuk di obrolkan. Agar semua arah menjadi jelas. Dan kemudian jadilah janji untuk bertemu itu sore besok. Tapi sebelumnya diharapkan agar saling berkabar lagi. Disitu Malik merasa ada yang janggal. Kata ‘saling berkabar lagi’ menurutnya adalah satu bentuk yang tak lazim untuk menolak. Mungkin saja perempuan itu sudah menebak kemana arah yang akan di bicarakan. Dan karena dia tahu makanya ia tidak menolak langsung akan tetapi dengan sedikit menghaluskan bahasa. Yang intinya sama saja. Tapi Malik tetap bersabar menunggu. Ia menepiskan apa yang dipikirkannya. Ia masih saja menganggap semua positif saja. Sampai akhirnya tiga jam lebih ia hanya menanti hal yang tak pasti. Dan bahkan sampai sore bahkan hampir magrib pun tak ada kabar sama sekali. Malik kecewa. Ia lalu memutuskan untuk tak perlu lagi bertemu. Toh juga semuanya sudah tak berarti lagi.
Tapi sesedih apapun yang dialami Malik, ia tak hendak orang lain tahu. Bahkan kalau di tanya langsung, Malik masih akan tetap menjawab dengan sangat positif. Bahwa mungkin saja ada alasan lainnya yang mendesak yang tak sempat di kabarkan. Itu saja jawabannya. Dan karena itulah Santi kerap menjadi kesal pada Malik, teman lamanya tersebut. Tapi sekuat apapun Malik, tetap masih bisa dilacak kesedihan itu. Walau tidak di tunjukkannya secara langsung. Dalam hal ini Santi sudah sangat hapal dan paham. Ia coba menelusuri jejak digitalnya Malik. Dan benar sebuah puisi lirih sudah terpampang di dinding sebuah website. Ia kirim melalui media online yang biasa ia lakukan. Judulnya ‘Sang Pejalan’.
Orang bilang banyak jalan menuju Roma ,
Tapi aku tak hendak kesana,
Juga tak ada rencana untuk kesana,
Ku hanya ingin terus berjalan,
Menyesap malam ini dengan damai,
Tak merendahkan diri untuk mendapat perhatian,
Tidak berbesar diri,
Tak ada lagi kecurigaan yang berbisa.
–
Aku kan terus menjalani hidup apa adanya,
Sang pejalan yang terdampar jauh di lautan angan-angan,
Yang melintas ruas diantara perasaan,
Tertumbuk ke-sanksi-an tak berujung.
–
Untung tak dapat kuraih,
Malang tak mampu kuhadang,
Hanya ada malam yang mulai kehilangan rembulan.
–
Dan, bila jalan sudah berbeda,
Mungkin itulah babak akhir dari sebuah cerita.
–
Tapi, aku akan tetap menyusun bait-bait ini,
Dalam selarik puisi yang realistik,
Sebagai penghibur diri,
Sekaligus balasan bila memang terpaksa undur diri.
–
Perayaan tak selalu tentang kemenangan,
Bisa juga tentang kehilangan,
Atau yang memang untuk dihilangkan,
Karena mungkin hadirnya sebatas bayang.
Tertera nama penulisnya ‘Al Maliki’, seorang yang mendaku hanyalah seorang pejalan. Dan ini jelas ungkapan kekecewaan Malik terhadap perempuan tersebut. Dan ternyata di laman medsosnya sendiri rupanya Malik menunpahkan segala kekecewaannya dengan begitu panjang. Dan ini adalah hal yang baru pertama kali Malik melakukannya. Karena tidak biasanya di laman medsosnya sendiri ia menulis seperti ini. Kalaupun ada, biasanya itu makian kepada elit politik saja. Tapi yang kali iini sungguh berbeda.
“Dalam banyak hal, kadang kau membawa- bawa nama Tuhan. Sgala perkataan-lah, sgala penampilan-lah, semuanya dimirip-miripkan dengan anjuran Tuhan. Bangga lulus dari kampus keagamaan, berpura-pura culun, ngaku gak pernah gitu, sok belagu nganjurin orang agar beribadah-lah. Helloooo? Percaya Tuhan kok ngono sih. Silit. Gaya boleh aja tertutup, tapi semua dah tahu kalo dalem-dalemnya dah dinjak-injak, remuk, rongsok, ringsek, bobrok, tau. Dan udah begitu masih bilang biarlah Tuhan yang tahu, biarkan Tuhan yang menilainya. Kampret. Gak kau bilang pun Tuhan sudah tahu sebatas apa kau layak diberinya nilai. Tak usah playing victim, seolah jadi korban. Pemangsa itu tahu apa dan siapa buruannya. Dan takkan dimangsa kalau orang itu lebih baik dari dirinya. Pemangsa itu tidak hanya memangsa yang lemah, tapi memangsa yang memang layak dimangsa, selain memang keseluruhan dari diri yang dimangsa itu memang lemah dan rendah. Rendah, tau? Makanya banyak bergaul. Bukan gembus aja yang di gaul-gaulkan. Gembus ya gembus. Semakin lama makin tak berharga. Dingin, mengkerat, bau lagi. Sekarang aja karena masih hangat, makanya orang masih melirik. Besok kalau sudah kering, sudah tak ada arti lagi. Tinggal diberi-berikan saja sembarangan itu. Dan belum tentu orang pun mau. Kalaupun mau, bukan untuk di banggakan lagi, ya hanya untuk ‘darpada tidak’ aja. Minimal daripada tidak, masih ada yang bisa di main-mainkan lah. Hehehe… Bergaul Cuk. Inilah pentingnya bergaul meluas dan melebar, bukan sekedar bisa meluaskan dan melebarkan gembus basi itu aja. Wawasan perlu dibangun. Otak perlu di asah. Biar pikiran tidak fakir. Apalagi sudah sarjana. Malu sama yang gak sekolah kalau cara berpikirmu masih dangkal. Sudah dangkal, susut pula. Malu. Dan malu-maluin. Weiittsss….kok begono? Ya memang begono. Gak usah tersinggung. Ini bukan sekali dua kali aku ngomong begini. Dan masih mending aku bicara seperti ini. Justru karena aku sayang makanya aku ngomong begini. Biar kau paham arti hidup. Walau kau sendiri lebih banyak gak bergunanya dalam hidup. Buruk ya buruk saja. Gak usah sok di apik-apik-kan, apalagi minta penilaian Tuhan. Wong kamu aja baru berTuhan kalau lagi sulit kok. Minta pengampunan lah, minta agar kebodohan ini tidak sampai terjadi lagi. Minta cobaan agar segera berakhir (ya iyalah, hidup itu memang cobaan, kalo saweran itu namanya dangdutan). Coba kalo lagi bahagia, atheis, tak berTuhan. Bego pula. Yang diingat hanya uh ah uh ah aja. Hahaha..pedes kali!. Jadi, ini sekedar ocehan saja ya, kalau kau mau masuk neraka, ya silahkan. Buat apa pula berbuat baik tapi itu hanya bohongan aja. Lebih kacau lagi mau coba-coba bohongin Tuhan. Dikira Tuhan bisa di begoin hanya dengan pakaian yang sok menutup aurat? Dikira mudah bohongin Tuhan dengan pura-pura berkata baik, jujur, sopan, dan seolah suci sesuci-sucinya. Sudah begitu belagak pilon juga dengan berpura-pura bijak, sok gak mau kalau kekerasan yang dialami berujung ke hukum, berpura seperti intelektual, berpura nangis meratapi penyesalan atas yang terjadi, berpura sayang untuk menutupi sifat yg sesungguhnya ‘jibangan’. Hello Hello Hello? Jangan menipu petugas administratifnya Tuhan dong. Juga jangan lewat jalur yang standar aja kalo memang minat dan tertarik masuk neraka. Minimal, masuklah lewat jalur prestasi kek, semisal. Buktikan kalau dirimu mampu. Lalu jangan lupa bila perlu sekalian mendaftar beasiswa disana nanti. Biar dirimu jadi warga yang terhormat dan dibanggakan. Dan bisa jadi contoh bagi yang lainmya. Ngono, Cuk. Dosa kok di tutup-tutupi. Cowok yang suka begitu-begitu denganmu itu yang perlu kau tutupkan pintu kamarmu bila ia sudah masuk ke dalam. Sejam atau dua jam gak apa-apalah. Udah lemas bahagia itu. Kenikmatan udah bukan lagi mengucur, tapi udah muncrat kemana-mana. Ngono kan. Jadi gak perlu malu mengakuin itu. Malu itu dosa. Sini, ditiup-tiup dulu biar tahu yang tersembunyi itu masih kacang pilus, atau jangan-jangan udah jadi boba. Hehehehe…”
***
Entah kepada siapa dan untuk apa tulisan yang sangat sarkas itu ia buat. Soalnya disana tidak menyebutkan nama sama sekali. Tapi yang jelasnya tulisan tersebut sangat menggambarkan kekecewaan yang mendalam dari seorang Malik. Tapi itu juga bukan kekecewaan pada negeri ini yang kerap dikritiknya. Sepintas di baca itu lebih dekat merujuk pada persoalan personalnya. Dan sekali lagi gaya bahasa nya kali ini memang tak mengikuti aturan. Atau tertata seperti biasa ia menulis kritik pada penguasa. Tulisan ini mungkin saja di tulisnya dengan ponselnya dan lalu dibagikna langsung tanpa melalui editan atau sensor terlebih dahulu. Akan tetapi, Santi sangat paham. Dan ia tahu tulisan itu dialamatkan kemana. Dan itu tidak jauh. Hanya dalam lingkaran yang serupa. Tapi tak hendak juga ia bertanya pada Malik. Sekalipun itu hanya untuk memperjelas seperti yang biasanya ia lakukan. Santi memilih untuk memahaminya saja. Selain ia juga paham pada apa yang dialami Malik, teman kentalnya sendiri.
Dan setelah dirasa cukup menelusuri jejak digital dan membacanya, Santi pun menutup layar ponselnya. Ia tak hendak berkomentar atau membagikan tulisan itu. Ia juga tidak mau membagikannya ke grup whatapps seperti yang selama ini mereka lakukan. Santi memilih diam, pulang ke kos nya dan lalu tidur. Sebab tak selamanya diam itu berarti tak peduli. Adakalanya diam adalah suatu kebaikan ditengah kebingungan apa yang harus dilakukan. Tapi disini Santi diam bukan karena ia bingung, tapi karena ia sudah benar memberitahukan hal tersebut sebelum semuanya berlanjut lebih jauh lagi. Itu saja.
Komentar ditutup.