Oleh Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
**
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Saatnya bergegas ke stasiun kalau tidak mau ketinggalan kereta. Soalnya kalau berangkat dini hari seperti ini agak menjadi masalah bagiku. Kalau di hitung, entah sudah berapa kali aku ketinggalan kereta pagi sepanjang perjalanan di kota ini. Dan sudah berapa kali pula aku harus membeli tiket lagi walau secara biaya itu tidaklah seberapa. Tapi pagi ini aku sudah niatkan untuk tidak akan terlambat. Bahkan jauh sebelum keberangkatan aku akan duduk manis santai sambil ngeteh dan merokok di depan stasiun. Sedapnya. Hehehehe…
Sebenarnya, perjalanan kali ini bukanlah perjalanan yang penting-penting amat. Kami hanya berkunjung main dan silaturahmi saja ke rumah seorang kerabat. Kebetulan ajakan tersebut sudah dari beberapa waktu yang lalu. Akan tetapi baru kali ini bisa terealisasikan. Dan kunjungan ini tidak juga terlalu jauh. Hanya sekitar seratus kilometer-an saja dari kota Jogja. Moda transportasi pun lancar. Bahkan sekarang ada kereta api khusus yang memang jurusannya itu-itu saja. Dan Prameks – akronim dari Kereta Api Prambanan Ekspress – akan membawa kami ke sebuah kota kecil di sebelah barat kota pelajar ini; Kutoarjo.
‘kita berangkat jam enam saja ya biar tidak kepagian’ ujarku pada Sinta.
“aku sih manut saja bang, yang penting kita dah oke semua nih’ Sinta menimpali.
‘tapi mending jam empat pagi aja sekalian. Takutnya kalau jam enam itu kita malah bisa ketinggalan kereta nanti. Kalau berangkat jam empat, sekalian aja kita tidak tidur malam ini. Ntar kita tidur di dalam kereta saja’ kata Adi ikut bersuara.
‘ya, kiranya aku sepakat saja sama Adi’ ujar Zul, ‘kita berangkat pertama jam empat saja biar asyik. Nanti sampai di stasiun Kutoarjo kita masih bisa menikmati pagi disana, sambil makan soto dan sebagainya’
‘ok sip ya’
‘sip’
Akhirnya, dari pembicaraan itu kami bersepakat untuk berangkat jam empat pagi. Kami akan berangkat lewat stasiun Tugu yang berada tepat di samping lokalisasi legendaris di kota pelajar tersebut; Sarkem alias Pasar Kembang. Ini lokalisasi yang mungkin harganya terbilang murah dan terjangkau. Karena mungkin kebutuhannya juga disesuaikan dengan siapa yang ada di kota ini; Mahasiswa. Tapi tak hanya di lokalisasi, di kos-kos an pun mahasiswa lebih banyak lagi melacurkan dirinya atas nama cinta. Dan itu bukan rahasia umum lagi. Kata sebuah penelitian beberapa tahun lalu, bahkan hampir 90 persen mahasiswi di Jogja tak perawan. So what gitu lho dengan keperawanan. Hehehe…
Dikarenakan keretanya akan berangkat awal pada pukul empat pagi, kami berencana membeli tiket on the spot saja. Biar memastikan siapa saja yang ikut. Takutnya kalau beli secara online, nanti malah ada yang tidak jadi berangkat karena satu atau dua alasan. Dan itu sering terjadi. Aku pun sebenarnya manut saja. Beli online juga boleh. On the spot atau beli di stasiun juga boleh. Yang penting besok aku akan keluar sementara dari hiruk pikuknya kota Jogja menuju pinggiran yang mungkin saja bisa lebih menenangkan. Maklum hari-hari ini semua sibuk dan tegang. Otak pun ikut-ikutan tegang dengan banyaknya persoalan yang ada. Menepi adalah rinduku yang sering terlewatkan, kata sebuah puisi.
Akan tetapi beberapa malah sudah membeli tiket secara online. Zul juga sudah membeli tiket untuknya dan beberapa kawan lainnya. Aku juga sudah dibelikan tiket oleh Sinta. Akan tetapi karena aku tidak melihat pesan yang masuk di hape, malah aku tidak tahu kalau tiket kereta sudah di belikan. Dan ketika di stasiun aku malah membeli lagi tiketnyai. Sialan memang. Gara-gara tidak sempat buka hape, terlanjur beli lagi tiketnya, ujarku ngdumel dalam hati.
‘tapi kok sepi sekali stasiun ini, mana belum ada yang datang juga’ ujarku dalam hati. Nampak beberapa orang saja yang ada di stasiun saat itu. Dan beberapa pekerja yang sedang tidur-tiduran di kursi luar dan di samping. Menggulung tubuhnya dari dingin dengan selimut yang ada. Dan kadang itu hanya bundelan pakaian-pakaiannya saja. Entahkah sudah dipakai hari ini atau kemarin. Yang penting hawa dingin harus dihalau dahulu, meskipun berselimutkan kain yang kotor. Dan juga hampir kesemuanya yang kulihat pagi itu adalah mereka yang berusia lanjut. Membayangkan tulang tua yang renta itu aku tak sampai hati. Dengan kulit yang makin tipis dan mengkeriput, mereka masih saja berjuang mati-matian demi bertahan hidup. Apalagi dengan situasi pandemi seperti sekarang ini. Pilihannya tak banyak; mati karena korona atau mati karena kelaparan. Sungguh suatu pilihan hidup yang pahit yang tak pernah beranjak semenjak republik ini berdiri.
Inilah realita hidup di negeri ini. Bahwa masih banyak yang terpaksa mengais rezeki dalam dingin dan pagi seperti ini. Andai saja pemerintah dengan seluruh APBN nya yang ada itu mau sedikit saja membantu masyarakat, tentu takkan sampai ada orang yang di usianya yang sudah begitu renta tapi masih saja mendayagunakan segala fisik yang ada di dirinya. Tulang kaki, tulang tangan, tulang belakang mereka masih saja dipaksa untuk bekerja lebih keras meskipun sendi-sendi sudah mulai berkurang fungsinya. Tapi semua harus berlangsung. Semua harus hidup, kalau tidak untuknya, masih ada anak dan istri di rumah yang menunggu.
Dan di koran-koran, radio, tipi dan sebagainya, masih banyak politisi yang memanfaatkan semua keadaan seperti ini untuk kepentingan politiknya. Demonstrasi mahasiswa yang menolak undang-undang omnibuslaw yang di anggap tidak pro rakyat di jadikan panggung oleh sebagian politisi bangsat untuk mendulang simpati pada pemilihan pilkada. Kekerasan, pemukulan, propaganda dan anarkisme menyaru menjadi satu yang susah untuk dicari dalang sesungguhnya. Lagi-lagi mahasiswa yang menggelar demo yang menjadi kambing hitamnya. Mereka di kecam, mereka di intimidasi bahkan mereka di jebloskan ke dalam tahanan dan kemudian di siksa seolah-olah merekalah dalang dari semua kerusuhan yang ada. Ada yang bocor kepalanya. Ada yang patah tangannya. Ada yang memar-memar. Ada yang iritasi karena tembakan gas air mata. Dan banyak lagi. Preman-preman partai dan ormas-ormas vigilante ikut-ikutan menyalahkan pendemo. Padahal mereka adalah penjilat dan pemakan uang haram yang di gelontorkan majikannya yang sengaja membuat masalah di negeri ini.
Sementara itu, kepulangan sang idola, imam, bagi mayoritas umat beragama di negeri ini seakan menjadi peristiwa yang paling besar dalam peradaban. Setelah sekian lama mengungsi di luar negeri karena kasus-kasus yang ditimpakan padanya, kini sang imam akan kembali memimpin perjuangannya seperti dahulu kala – Revolusi Akhlak. Semua media penuh dengan berita tersebut. Puja puji beriringan serentak dengan caci maki. Pendukungnya berkoar-koar secara berapi-api. Begitupun dengan penolaknya, tak mau kalah juga berkoar dengan dahsyatnya. Ada yang sambil berucap syukur, bersembah dan lain-lain atas kepulangan sang imam. Ada pula yang mengutuk mati-matian, dan berharap sang imam tak perlu lagi pulang ke tanah air karena dianggap hanya akan menjadi pemicu masalah horizontal yang lebih luas lagi.
Masyarakat awam hanya menjadi penonton pada drama politis seperti ini. Mereka juga bingung dengan adanya kekerasan sipil yang dilakukan ormas vigilante yang mengatasnamakan masyarakat. Tapi mereka tak mampu berbuat banyak. Kekerasan rupanya adalah hukum yang berlaku di negeri ini. Dan majikan yang memberi makan adalah rajanya. Beani menyentuh majikan, maka jangan salahkan kalau akan digigit oleh anjing-anjing peliharaannya. Itulah praktik hukum negeri ini sekarang.
Tak hanya atas nama sipil biasa, atas nama agama pun sekarang semuanya menjadi keras dan kaku. Jarang kemudian kita mendapat pencerahan yang lembut, halus dan damai. Adanya yaitu caci maki pada pemerintah, dan pada orang yang berseberangan dengan perjuangan mereka saja. Kata-kata kasar, yang justru dihindarkan oleh pemuka lainnya, kini menjadi hidangan pembuka para pesohor-pesohor instan. Dan itu seakan menjadi keharusan kita untuk menyantapnya setiap bangun di pagi hari. Sungguh peristiwa yang menggelikan sekaligus mengerikan. Penegakan atas nama syariat menjadi ujung tombak dan alasan. Karena itu mereka tak segan menghalalkan segala cara untuk mengobati dahaga kekerasannya. Makanya tindakannya selalu brutal dan barbar. Intinya, siapa saja yang tidak sehaluan, akan dihajar habis-habisan. Sentimen keyakinan benar-benar telah termakan propaganda yang keras. Orang-orang bahkan bersedia apapun demi membela yang namanya keyakinan. Dan tafsir itu dikendalikan oleh segelintir orang saja yang justru punya kepentingan politis yang tersembunyi. Makanya yang tadi jarang terlihat, hari ini hadir seperti pejuang dan pahlawan. Yang tadi tidak terdengar apa-apa, hari ini tampil di semua media sebagai narasumber yang sahih. Yang tadi tidak pernah kita dengar kata-katanya, hari ini tampil sebagai penceramah kondang. Yang tadi tidak pernah kita lihat sepak terjangnya, hari ini sudah jadi pasukan tempur saja. Yang tadi tidak pernah kita dengar pendidikan ke-santriannya, hari ini sudah jadi ustadz dan ustadzah saja. Luar biasa.
Dan masyarakat, termasuk aku, bingung dengan semua ini. Selain juga muak melihatnya. Terlalu banyak klaim kebenaran sehingga kebenaran itu sendiri menjadi kabur entah kemana. Situasi seperti ini mengingatkanku kembali pada petuah Oliver Wendell Holmes – Mantan Hakim Agung Amerika Serikat – bahwa ‘apa yang terletak dibelakang kita dan apa yang terletak di depan kita adalah persoalan kecil dibandingkan dengan apa yang terletak di dalam kita’. Sesuatu yang terletak dari dalam kita itulah yang kini meledak sehebat-hebatnya menjadi sebuah pertarungan baru negeri ini setelah ratusan tahun melawan penjajah. Dan kini – seperti pesan Bung Karno – kita berjuang semakin sulit lagi karena melawan sesama anak bangsa sendiri yang masing-masing punya kehendak yang sama-sama dipaksakan.
Karena itu, dengan peliknya masalah akhir-akhir ini, serta tuduhan-tuduhan yang tak mendasar pada siapa saja yang terlibat dalam demonstrasi, kritis terhadap kebijakan pemerintah, haluan yang berbeda dari sang imam, pendatang yang dianggap biang kerusuhan – termasuk aku – memang sebaiknya menepi dahulu barang sejenak. Mungkin dengan menepi akan sedikit memberi ketenangan secara psikologis dan melepaskan lelah yang menempel di pikiran maupun psikis. Dan Kutoarjo jadi pilihan yang baik untuk itu semua sekaligus silaturahmi. Mengingat kota kecil di pesisir pantai selatan di Jawa ini banyak akar kesejarahannya. Kota yang kini secara administratif masuk dalam kabupaten Purworejo, lekat dengan sejarah tentang kerajaan Mataram Islam di pulau Jawa. Beberapa buku dan babad mejelaskan bagaimana dahulunya kota ini bermula. Di zaman dahulu, Kutoarjo adalah wilayah yang terpisah dari Purworejo. Dan Kutoarjo masuk dalam keresidenan Bagelen. Di zaman dahulu juga nama tempat ini bukan Kutoarjo. Melainkan Semawong. Nama Semawong sendiri diambil dari nama seorang saudagar benang dari Cina. Seiring perjalanan waktu kemudian baru berganti menjadi Kutoarjo. Dan masuk dalam administrasi kabupaten Purworejo.
‘maaf, aku telat bangun ini’, kata Sinta, ‘soalnya alarm lupa dipasang’
‘oh ya sudah, nanti kalian menyusul saja dengan kereta berikutnya’ kudengar Zul berbicara dengan Sinta di telpon. ‘kalian naik kereta jam enam saja, nanti kami tunggu di stasiun Kutoarjo.
Tepat beberapa menit sebelum kereta berangkat, aku dan Zul akhirnya masuk ke dalam Prameks yang akan mengantarkan kami ke Kutoarjo tersebut. Dari rencana ber-enam, pagi ini hanya kami berdua saja yang akhirnya berangkat. Adi dan adiknya juga telat bangun. Begitupun Sinta dan adiknya. Tapi mereka berjanji untuk menyusul. Kalau sampai tidak menyusul dan tidak berangkat, maka tak tahu apalah yang akan terjadi. Bisa-bisa pecah perang dunia ke dua lagi. Hahaha… Tapi sebenarnya tadi itu hampir saja aku berangkat sendirian. Kalau saja Zul tidak datang buru-buru. Kulihat ia begitu tergopoh-gopoh. Rambutnya masih terlihat acak-acakan. Mungkin ia bangun diluar jadwal yang seharusnya. Tapi karena jarak tempatnya dengan stasiun tidak begitu jauh, ia bisa menyusul cepat. Tapi dengan terburu-buru. Kupanggil ia yang saat itu hendak langsung naik ke kereta. Kubilang bahwa belum ada yang lainnya. Ia pun terlihat bingung. Padahal hanya dua menit lagi saja kereta akan berangkat. Tapi ya sudahlah. Kami putuskan untuk naik dan berangkat. Patokannya, kalau seandainya yang lain tidak jadi berangkat, maka sesampai di Kutoarjo nanti kami akan pesan tiket untuk langsung pulang ke Jogja lagi. Dan tak lama kereta pun akhirnya melaju. Pelan-pelan-pelan lalu melesat kencang. Aku hanya bisa berujar dalam hati ‘dulu Iwan Fals sang musisi itu pernah mengkritik bahwa kereta sering terlambat itu sudah biasa. Tapi hari ini – bahkan setelah reformasi – justru orangnya yang sering terlambat’. Memang tak semua masalah bisa di selesaikan dengan reformasi. Kekuasaan Soeharto memang sudah tumbang setelah 32 tahun berkuasa. Akan tetapi warisan mentalnya masih bertahan sampai hari ini.
**
‘andai saja engkau hadir di perjalanan ini tentu aku akan lebih senang dan bahagia lagi. Rasa kantuk pun bisa kita usir. Dan kita bisa berdiskusi panjang, tapi sayangnya engkau tak ada. ach sungguh sayang sekali, padahal banyak sekali yang bisa kuceritakan dan kujelaskan padamu nantinya’. Aku sambil membayangkan seorang kawan yang tidak ada di kereta dalam perjalanan ini. Padahal dahulu kami sering bersama-sama. Kemanapun itu. Kerja atau pun main. Bahkan tak jarang makan-pun kami sering bersama. Panas dan hujan tak jadi persoalan. Jauh dan dekat juga biasa. Tapi sekarang ia tidak ada disini. Padahal dialah partner terbaik yang bisa diajak ngobrol tentang apa saja. Dari cerita yang unfaedah sampai persoalan hangat yang sedang terjadi. Ia lulusan salah satu universitas swasta ternama; Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dengannyalah aku menaruh separuh kepercayaan yang ada pada diri ini.
‘alhamdulillah, mereka menyusul, bang’ kata Zul yang mengagetkan lamunanku tentang seorang kawan tadi. Aku pun lega. “ok , baik, mari kita istirahat dulu kalau begitu, soalnya sudah semalaman ini kita belum tidur sama sekali’ ujarku pada Zul. Zul hanya mengangguk. Ia juga lelah dan capek. Selain karena juga terburu-buru saat hendak berangkat tadi. Dan tak lama pun kami sudah terlelap diatas kereta yang akan membawa ke Kutoarjo. []
Komentar ditutup.