Kehinaan Negeri Sembako

Bagiku, Reformasi ternyata hanya melahirkan para pahlawan kesiangan serta Anggota Dewan yang cengegesan

Dongeng Negeri Sembako, Acep Z. Noor

Saudara-saudaraku sekalian, mulai saat ini kita harus membuka akal sehat kita. Bagaimana mungkin mereka para calon legislatif dan calon presiden menghina kita semua dalam lima tahun sekali. Mereka menghina rakyat dengan memberi slogan bak “sumbangsih kelam” yang tertempel pada muka-muka yang sangat jelek sekali. Rakyat selalu dihina dengan perlakukan simbolis dengan memberikan “sembako gratis”. Mereka berpikir dengan pemberian secara materil, dengan melakukan suapansuapan berunjung pada kebuntuan. Rakyat sudah cukup pintar dan tak bisa kalian bodohbodohi dengan seutas bahil itul Seutas yang tak akan cukup selama lima tahun mendatang memenuhi dahaga. Setelah itu, rakyat dipaksa memilih mereka dengan dalil bahwa telah diberi sumbangan. Mereka memperlakukan rakyat seperti barang dagangan yang dapat diperjualbelikan dengan harga yang murah meriah. Kita dapat membayangkan bagaimana mereka memetakan rakyat dengan kelas kelas yang tercekik. Mampu dan yang tidak mampu. Mereka yang tidak mampu lebih banyak hidup di pemukiman yang kumuh dan kemudian kalian eksploitasi dengan dalil dalil impian kesmemberi bantuan. Kita bayangkan selama mereka kemudian mendapatkan kekuasan, Apakah yang mereka pedulikan untuk orang-orang yang tinggal dipemukiman kumuh? Apakah mereka mendatangi mereka setelah proses pemilihan telah usai? Atau setelah mereka menang dalam perebutan kekuasaan itu?.

Saya melihat banyak masyarakat yang tinggal dipemukiman kumuh, sengaja dirawat tanpa ingin diselesaikan, tanpa ingin dibenahi, dan tanpa ada jawaban oleh semua elit politik juga pemerintahan baru yang kemudian berkuasa, agar mereka mempunyai alasan dan bahan untuk melakukan kampanye setiap menjelang pemilu.

Rakyat Menangis, Elit politik Tertawa

Beberapa hari ini, saya sering sekali merenung ketika melihat kesenjangan yang begitu nyata terpampang didepan mata setiap insan yang hidup di seluruh negeri ini. Disepanjang jalan, di seluruh Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke. Kita dapat menyaksikan senyuman para calon-calon menggrogoti pinggir dan ruang jalan yang ada. Hampir setiap baliho yangterpampang, merujuk pada simbalipul seyuman dengan gaya berpakaian rapi dan gagah maupun anggun. Senyum itu sangatlah aneh bagi saya. Bagaimana dapat anda bayangkan, ketika mereka mulai menebar senyum ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis. Masyarakat yang menangis ketika tanahnya dirampas, rumah-rumahnya digusur, kelaparan yang melanda, serta kemiskinan yang meraja lela. Itu semua diakibatkan oleh para korporasi yang sedang bertarung menjadi oligarki-oligarki yang akan lahir dan menjelma dalam dahaga kekuasaan untuk kelabuhi etika dan moral kemanusiaan. Lalu apa yang mereka tulis dibaliho-baliho itu? Apakah benar jika itu hanya sebagai umpan untuk menipu dan mengelabuhi rakyat. Atau memang mereka sengaja mengejek dan menginjak rakyat. Rakyat seharusnya sudah sadar bahwa para elit politik dan para calon legislatif yang datang ditiap sudut rumah dan lingkungannya, membawa dan memperalat mereka dengan tipu daya visual yang isinya hanya sebuah ilusi dan kebohongan yang sistematis. Sungguh tidak ada rasa kemanusiaan dalam diri meraka, melainkan tentang brandingbranding semu di media sosial. Alangkah hampir kita tidak menemukan para politikus maupun para calon legislatif yang tidak membawa tim medianya ketika melakukan blusukan di masyarakat untuk meramu citra dan menutupi kebengisan sejatinya.

Yang lebih parahnya lagi, mereka datang dengan berpakaian rapi dan tentu sangat nyaman jika dikenakan. Dari sini kita dapat melihat dan menganalisa, bagaimana ketimpangan politik dengan memanfaatkan kelas terjadi di Indonesia. Mereka datang dengan kendaraan- kendaraan bagus dan mutakhir, penuh dengan pengamanan dan keamanan yang ketat. Menipu memanglah kebiasaan para politikus, kalau anda percaya, siap-siap saja anda terjerumus dalam jurang kebuntuan untuk kesekian kalinya. Rakyat selalu jadi bahan legitimasi untuk mencapai kekuasaan. Hampir semua caleg akan berbicara tentang mensejahterakan rakyat, dengan berbagai cara mereka meyakinkannya. Walapun apa yang mereka bicarakan belum tentu mereka dapat pahami. Tapi begitulah politik hari ini, tidak harus memahami betul-betul substansinya, namun yang terpenting hanyalah gimmick dan bagaimana memikirkan strategi dan cara untuk memanipulasi kata-kata yang dapat menyentuh hati rakyat.

Ketika Pemilu Membunuhmu

Sudah berapa juta korban yang terbunuh dalam pemilu?, Sudah berapa juta rakyat yang terlantar karena rumahnya digusur untuk proyeksi dalam dalih pembangunan?, dan Sudah berapa juta anak-anak yang tidak dapat pendidikan yang layak? Itu semua pertanyaan-tanyaan yang dapat kita renungkan bersama. Mereka bilang peduli pada rakyat namun dibawah meja kebenaran, ternyata merekalah yang meminum darah rakyat. Pemilu begitu menyakitkan bagi rakyat, membuat batasan-batasan antara masyarakat secara terorganisir. Bahkan yang lebih tragis, ketika Pemilu tahun 2019 berlangsung, berdasarkan Data Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan setiap Provinsinya mencatat bahwa Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang jatuh sakit mencapai angka 11.239 orang dan korban yang meninggal didapati sebanyak 527 jiwa. Begitupun berdasarkan siaran Pers Kementerian Kesehatan yang berlangsung di Jakarta, Kamis (16/5/2019), seperti dikutip Antara, jumlah korban sakit dan meninggal merupakan hasil investigasi Kemenkes di 28 provinsi per tanggal 15 Mei 2019. Ini merupakan fakta bahwa tidak ada pemuli yang benar-benar jujur dan adil, melainkan penipuan serta kongkalingkong yang dilakukan oleh para elit kekuasaan. Hampir semua yang diumbar dalam media adalah manipulasi nirsubstansi untuk menghegemonikan rakyat agar rakyat dapat percaya bahwa pemilu merupakan jalan terbaik untuk demokrasi dalam memilih pemimpin. Kita bisa melihat bagaimana kebohongan yang dimainkan para elit di pemilu lima tahun yang lalu, antara kelompok Jokowi dan Prabowo. Mereka berdua dengan lihai mempertontonkan kebencian dan kemarahan dalam debat maupun kampayenya yang dilakukan para tim suksesnya teapi dibelakang layar ternyata mereka saling bersuap-suapan sangat mesra. Dan kita dapat melihat bagaimana mereka berdua sangat akur tanpa peduli sesutau yang kelam terjadi, dan seakan akan tidak terjadi apa-apa. Sehingga masyarakat menjadi korban karena telah berhasil mereka pecah belah.

Jelas Bukan Demokrasi Kita

Demokrasi yang kita gaungkan saat ini bukanlah demokrasi, melain mesin kehancuran. Terdapat banyak rakyat yang terpecah bela akibat demokrasi yang kita jalankan saat ini, setiap lima tahun sekali. Kita dapat melihat bagaimana sistem ini telah memecah belah kesatuan rakyat. Mulai dari sektor paling kecil, pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden. Sistem ini menjadi akumulasi sosial dan berujung pada masalah yang sangat urgent. Bayangkan saja, anda dapat bertengkar dengan tetangga karena terdapat perbedaan pilihan dan pendapat, Anda dan keluarga sendiri dapat tidak saling bicara karena berbeda keyakinan terhadap pilihan di pemilu, bahkan anda tidak sungkan dapat menutup jalan yang dapat dilewati tetangga; lantaran jalan yang dipakai adalah milik kelompokmu.Anda juga dapat membenci siapapun, yang tidak satu pilihan. Bahkan anda akan menyumpahi mereka. Begitulah demokrasi yang dijalankan saat ini. Lalu pertanyannya siapakah yang salah atas semua itu? rakyat atau para elit kekuasaan?. Hasutan dan keterhasutan berbasis agama maupun etnis bukanlah produk alami atau langsung dari keberagaman masyarakat, melainkan suatu pertunjukan yang sengaja dibuat oleh wirausahawan politik dalam upaya meraih kekuasaan. Demokrasi dalam pemilu juga menjadi gelanggang arena perjudian majemuk, sistem ini bukanlah demokrasi yang kita cita-citakan dalam Pancasila. Dimana pertarungan dzalim nominal nominal ini telah merajalela pada demokrasi yang ada, sehingga pemilu dapat dianggap sebagai ruang demokrasi dimana masyarakat bisa ikut terlibat dalam memilih pemimpinnya. Namun kini menjelma menjadi ruang pertarungan kemenangan taruhan. Kita semua harusnya sudah sadar dengan apa yang terjadi saat ini. Sudah saatnya kita melakukan perubahan dengan menggalang suara oposisi secara permanen, karena kekuatan oposisilah yang bisa menampar kegilaan para kekuasaan dan calon penguasa yang akan lahir.

Lantas Bagaimana Menjadi ‘Oposisi’ Permanen?

Oposisi merupakan gerakan yang menentang kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap rakyat, melawan semua ketidakadilan. Memilih jalan oposisi bukanlah hal yang mudah. Ya, karena harus bersiap dan megesampingkan kemapanan pribadi. Mengibahkan dirinya untuk terus berjuang dan melawan atas ketidakadilan yang sudah dan akan terjadi. Dalam menghidupkan gerakan oposisi kiranya kita perlu membagun kekuatan yang terorganisir dan ideologis dari orang-orang yang sangat militan. Kita bisa belajar mengapa gerakan Kiri di Indonesia, telah gagal semenjak kehadirannya di abad ke-20 hingga sekarang ini, tidak hanya pasca tragedi 1965, tetapi bahkan juga pasca tumbangnya Suharto mestinya juga patut diperhitungkan. Dan diskusi tentang insureksi pada bulan Oktober tahun 1917 tak sekalipun berhasil melampaui argumen-argumen standar tentang pemberontakan sampai saat ini. Kesadaran kita dalam membangun sebuah perlawanan sesungguhnya patut juga dipertanyakan dan diperdebatkan, bukanlah sekedar persoalan bagaimana sistem kapitalisme ini terus berjalan, melainkan juga kesalahan-kesalahan apa yang dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya sebagai bagian dari proletariat atau sebagai oposisi terhadap kekuasaan, yang melakukan tindak-tindak bersejarah.

Mengkritisinya artinya berusaha untuk tidak terjerat ke-dalam perangkap yang sama. Kekuatan oposisi harus benar-benar dihidupkan bahkan diimani dengan keyakinan yang teguh. Kita sama- sama melihat bagaimana oposisiabal-abal yang dilakukan oleh para elit politik maupun para aktivis tahun 1998 yang mengaku dirinya sebagai bagian beroposisi pada kekuasaan, namun hal itu telah runtuh dalam sekejab ketika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan berupa kekuasaan itu sendiri. Oposisi bukan lima tahun sekali, namun oposisi harus dihidupkan setiap hari, setiap detik jantung berdenyit, sebagai desakan kritis terhadap segala ketidakadilan yang merugikan masyarakat. Kalau oposisi kita hanya lima tahun sekali, terus apa bedanya kita dengan para pegiat partai politik; yang pura-pura oposisi agar hati rakyat dapat mereka tipu da perdayakan untuk pemilu selanjutnya. Untuk menjadi oposisi permanen, kita perlu membatasi diri dengan kekuasaan, karena dari situlah garis pembatas yang harus diperjelas, sebab sekarang ini, terdapat banyak orang yang menggaungkan oposisi namun tetap saja bersetubuh dengan kekuasaan. Hal semacam inilah yang perlu kita perlu perjelas kembali. Bahwa oposisi yang seperti itu bukanlah oposisi yang sebenarnya.

Melainkan oposisi itu merupakan oposisi yang mencari-cela agar dapat pembagian kekuasaan. Jalan satu-satunya untuk menjadikan oposisi permanen ialah untuk tetap terjaga dari kekuasaan, supaya kegilaan yang dilakukan oleh para elit politik dengan segala tipu daya muslihatnya dapat kita waspadai. Setidaknya dengan menjadi oposisi permanen, kita dapat tetap waras melihat kebathilan dan kita dapat memotong segala rantai tentang keinginan busuk yang mereka rencanakan.


Penulis: Abdurrahman
Ilustrasi: Hisyam

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top