KARENANYA KITA HARUS BER-OPOSISI (1)

Sebelum menulis artikel ini, saya kerap terpikir tentang perjuangan hidup atau nasib kawan-kawan yang ada di sekitar saya, termasuk diri saya sendiri. Saya tidak percaya hal itu disebut dengan kata ‘nasib’, karena kata ‘nasib’ mengindikasikan penyerahan total dari sebuah puncak kekalahan. Ibaratnya, sudah tidak ada jalan lain lagi untuk berubah.

Lalu, bagaimana keadaan yang selalu terpikirkan tersebut? Mengapa saya tidak terlalu percaya pada sebuah kata yang dianggap ‘nasib’ itu? Lalu, apakah keadaan itu juga dialami oleh yang lain? 

Tulisan dalam artikel ini pada dasarnya akan berbicara tentang sebuah sikap, yakni tindakan yang mengambil peran pada keseimbangan yang diperlukan dalam kehidupan. Adanya ketimpangan ekonomi yang menyebabkan banyak persoalan, mulai dari pendidikan, kemiskinan, ketidakmampuan mengakses kesehatan, bahkan suburnya praktik kriminalitas yang banyak terjadi; hal itu tidak bisa dilepaskan dari penguasaan alat produksi, monopoli distribusi ekonomi, dan relasi kuasa yang mencengkeramnya. Seperti kata pepatah, tak mungkin ada asap tanpa ada api. Dan hari-hari kita selalu terjebak pada persoalan-persoalan tersebut. Saking banyaknya, persoalan tersebut membentuk karakter sendiri di tengah masyarakat, yakni upaya yang menganggap persoalan tersebut sebagai sebuah kewajaran. Dikipasi oleh iklan-iklan politis berbau SARA, keyakinan bahwa hal tersebut ‘wajar adanya’ semakin menguat. Bahwa adanya ketimpangan ekonomi, sosial dan politik dianggap sebagai takdir Tuhan yang bernama nasib. Dan dengan doktrinasi yang diwakilkan melalui para penghibur atau bintang iklan berlabel keyakinan, membuat kita ‘mau tak mau’ harus menerimanya. Sebusuk apapun itu.

Terlalu banyak kalau kita ingin melihat ketimpangan atau ketidakadilan yang dilakukan pemerintah atas segala hal yang ada di negeri ini. Banyak riset dan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemerintah memang sengaja mengabaikan kebijakan publik yang tidak semestinya. Seperti bagaimana politik pangan yang dilancarkan pemerintahan sebelumnya. Atau persoalan agraria dan tambang yang semakin marak pasca reformasi. Juga masalah hukum dan kebijakan publik lainnya yang justru jauh dari harapan masyarakat. Pendidikan mahal, harga kebutuhan bahan pokok yang selalu melonjak, produk perundang-undangan yang sangat kapitalistik, dan lain-lain. Termasuk sistem berdemokrasi kita yang sangat dipaksakan untuk memilih para kandidat yang sebenarnya sudah disiapkan oleh para kartel demokrasi bernama partai politik.

Makanya ketua parpol hari ini bahkan dengan vulgar dan kasar tak ragu menyatakan bahwa setiap anggota partai, mulai dari pejabat-pejabat daerah sampai pejabat pusat, anggota dewan, bahkan presiden, adalah petugas partai. Artinya, mereka semua yang notabenenya dipilih oleh rakyat adalah petugas partai dan harus tunduk pada kepentingan partai, bukan tunduk pada kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Apa pun yang menjadi masukan, kritik, saran dan pertanyaan-pertanyaan masyarakat selalu diabaikan dan tidak perlu digubris. Dan itu terjadi sampai hari ini. Apalagi saat kita mulai memasuki tahun politik pemilu presiden, anggota DPR, DPRD dan DPD. Bisa dipastikan, dari periode-periode sebelumnya tidak ada perubahan yang signifikan sama sekali pada bangsa ini. Justru bangsa ini terlihat sangat hipokrit di bawah cengkeraman para elite yang sekaligus oligarki yang menguasai hajat hidup ratusan juta rakyat Indonesia. 

Seperti Wadas Purworejo Jawa Tengah. Pemerintah dengan rencana pembangunannya yang dikenal sebagai Proyek Strategis Nasional, memaksakan untuk melakukan pembangunan bendungan raksasa yang diharapkan dapat menjadi pemasok air bagi proyek lainnya, termasuk bandara Yogyakarta International Airport. Walaupun sudah ada tantangan dari rakyat sekitar dan analisis akademik kaitan dengan penambangan batu andesit untuk pembangunan proyek bendungan itu, pemerintah tetap saja melanjutkannya. Bahkan sekalipun dalam gugatannya yang sudah dimenangkan para penolak, pemerintah tetap saja dengan arogansinya tidak mau menghentikan apa yang sudah direncanakan. Penambangan pun tetap berjalan dan proyek yang bernilai triliunan tersebut berlanjut. Walaupun dampaknya juga sudah terjadi nyata, dengan adanya proyek penambangan tersebut, Wadas yang selama ini tidak pernah kebanjiran, belakangan sudah mulai terhantam banjir.

Lalu ada juga persoalan tentang kekerasan hak asasi manusia (HAM) yang masih saja terjadi. Yang paling mencolok ialah terjadi di Papua. Sebagaimana dianggap bahwa perjuangan rakyat Papua, apa pun itu akan ditanggapi dengan cara-cara yang referesif oleh aparat keamanan kita seperti TNI dan Polri. Tercatat sepanjang tahun 2018 sampai 2022, ada sekitar 179 warga sipil jadi korban kekerasan dalam banyak bentuk, termasuk pembunuhan, pemenjaraan paksa dan sebagainya. Dan ada lagi sekitar  23 orang anggota kelompok pro kemerdekaan Papua juga menjadi korban karena tuntutannya. Cara-cara kekerasan dan militeristik seperti ini selalu jadi senjata utama dari aparat keamanan dengan dalih pengamanan dan menjaga kondusifitas. Sekalipun sudah dinyatakan dalam laporan resmi negara yang disiarkan oleh presiden bahwa negara mengakui adanya praktik kekerasan HAM tersebut, termasuk salah satunya di Papua, tapi kita tidak pernah mendengar adanya solusi dan tanggung jawab pemerintah tentang hal tersebut. Seolah hasil kajian dan siaran resmi itu adalah upaya formalitas semata yang tidak membuahkan hasil dan menguap begitu saja. Sama halnya dengan kasus Munir, pegiat dan pejuang HAM yang justru dibunuh dengan dan oleh fasilitas negara itu sendiri. Sekalipun sudah dibentuk tim gabungan pencari fakta, akan tetapi hasil dokumennya yang jelas-jelas sudah dilaporkan ke presiden, dianggap hilang begitu saja.  Alhasil, semua yang telah dilakukan oleh banyak pegiat, peneliti, analisa dan lain-lain, semuanya menguap begitu saja. Bahkan sampai hari ini. Bangsa besar ini belum menunjukkan tada-tanda adanya perubahan. Justru sampai hari ini bangsa ini masih di selimuti oleh awan gelap yang bernama demokrasi.

Yang terbaru ialah kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, para pegiat dan aktivis yang banyak menyuarakan tentang HAM, kebobrokan negara dan elite-elite yang bermain didalamnya, malah dikriminalisasi dan dituduh melakukan pencemaran nama baik salah satu pejabat elit negara. Haris dan Fatia kemudian dilaporkan ke meja hijau tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelidikan tentang apa yang dianalisa oleh kedua pegiat HAM tersebut. Semisal apakah yang dianalisa kedua pegiat HAM tersebut benar adanya, bahwa ada yang melakukan bisnis haram dan ilegal. Tapi sekali lagi bahwa pemerintah tidak suka ada yang melakukan upaya yang bisa merugikan mereka. Dan kalau ada yang melakukan atau mempertanyakan pernan pemerintah dan atau elit-elitnya yang berkuasa, maka pemerintah telah menyiapkan produk perundang-undangan untuk membungkamnya, yaitu UU ITE. UU ITE adalah UU yang sengaja disiapkan untuk mengantisipasi adanya perlawanan atau pertentangan dari rakyat pada pemerintah. UU ITE adalah cara pemerintah untuk melakukan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. 

Inilah yang menjadi bukti bahwa negara ini tidak pernah mengarah pada perubahan yang lebih baik, transparan, objektif dan berkeadilan. Dengan memegang semua kontrol semua yang ada di negeri ini dan ditambah dengan tidak adanya pengawasan dan perlawanan, menjadikan pemerintah yang berkuasa semakin menjadi monster dalam menguasai semua lini kehidupan. Sumber daya alam dijarah. Hukum dibuat untuk mengakomodir kepentingan elite. Aparat bersenjata dipakai untuk menindas dan berperang dengan rakyatnya sendiri yang melakukan protes. Kebijakan-kebijakan akademis dibuat atas pesanan dan keuntungan pemerintah yang berkuasa. Dan pemerintah dengan elite dan aparat sebagai instrumennya menjelma diri bagai Tuhan atau Dewa.

Tak ayal, dengan teror fisik dan psikologis yang dilakukan pemerintah yang begitu kuat, membuat rakyat terbungkam sedemikian rupa. Ditambah tidak adanya cantolan apapun yang bisa menjadi pegangan rakyat di pemerintahan dan kekuasaan (karena hampir semua parpol bersatu dengan pemerintah), perlawanan-perlawanan rakyat dengan mudah dipatahkan, aktivisnya dipenjara, diintimidasi, bahkan dibunuh. Walau ada satu atau dua orang yang vokal dalam berbicara mengkritisi pemerintah, akan tetapi hal tersebut tidak juga memecahkan solusi bagi ribuan atau jutaan orang yang terkena dampak dari arogansi politik pihak yang berkuasa. 

Lalu, apakah pemerintah senang dengan hal tersebut? Jawabnya pastilah pemerintah riang gembira. Dan karena lama tertindas, hal tersebut akan merubah pandangan rakyat yang tadinya berani melawan menjadi berbelok dan menganggap apa yang terjadi sebagai sebuah kewajaran yang diterima. Kasarnya sebagai nasib dan takdir. Daripada mengkritisi mahalnya bahan bakar minyak dan dampaknya pada kebutuhan bahan pokok, mindset rakyat berubah menjadi “tidak apa-apa yang penting barangnya ada’. Berharap secara politis, bergaul dengan anggota partai bahkan anggota dewan yang ada, sudah tidak memungkinkan lagi. Karena hampir semua parpol dan anggotanya adalah bagian dari koalisi besar yang mendukung penjarahan sumber kehidupan.

Makanya, membangun ruang perlawanan dengan membangun peran sebagai oposisi, menjadi hal yang mendesak dan urgent saat ini. Apalagi dalam waktu dekat sebuah gelaran – yang lebih tepat sebagai – malapetaka demokrasi yang bernama pemilu akan di helat. Dan pasca pemilu kita akan berjalan kembali seperti semula. Hanya bedanya, apakah kita berani melakukan kontrol pada pemerintah yang berkuasa dengan mengambil langkah sebagai oposisi. Oposisi bukan berarti menentang segala yang dilakukan pemeritah. Tapi sebagai upaya untuk melakukan penyeimbangan agar kekuasaan tidak menjadi sebuah monster kediktatoran. Perjuangan bukan tentang menang dan kalah, tapi tentang mendudukkan apa yang adil dan benar di tengah kehidupan rakyat dan bangsa yang merdeka. Tanpa itu, non sense.


Penulis: Melki AS

Penyunting: Revan

Ilustrator: Hisam

Komentar ditutup.

Scroll to Top