Cinta lebih akbar dan lebih mulia di tengah cobaan (Gabriel Garcia Marquez)
Terlalu banyak cinta sama parahnya dengan tidak ada cinta sama sekali (Gabriel Garcia Marquez)
***
Di tahun 1982 Gabriel Garcia Marquez diganjar hadiah nobel. Pria yang punya kelebihan dalam bercerita. Narasinya selalu mengejutkan, imaginatif dan berbau magis. Baca novelnya seperti kita diajak untuk melucuti kepercayaan diri sendiri. Ia bukan berkisah tapi menghakimi pembaca.
Jatuh cinta kisah yang umum. Bisa dipupuk dengan gaya apapun: di sini ada Tere Liye hingga Habbiburrahman. Mengabadikan kisah cinta lewat bahasa agama: hangat, menggugah lalu berakhir dengan rasa bahagia. Film yang mengangkat cerita mereka banyak, bahkan berlebihan. Misalnya ayat-ayat cinta yang jadi fenomenal.
Cinta itu dihadapi dengan hati berbunga. Dilemanya sekedar memilih. Ancamanya keyakinan atau kebimbangan. Rasanya jatuh cinta seperti orang belajar naik sepeda: kadang lancar tapi lebih banyak beresiko jatuh. Lalu seperti biasa doa dan Tuhan jadi kartu untuk memuluskan semuanya.
Gabriel merombak cerita yang kering semacam ini. Florentino Ariza menyaksikan wajah yang mengubah segala keyakinanya. Mula-mula laki-laki itu hanya diminta mengantar surat. Saat zaman sedang terkagum dengan temuan telegraf. Surat itu dibawa pada rumah yang mirip biara.
Disanalah pria ini jatuh cinta saat melihat seorang gadis membaca buku. Gabriel melukiskan adegan itu:…tapi si gadis melirik untuk melihat siapa yang lewat dekat jendela, dan lirikan singkat itu menjadi awal kehancuran cinta yang masih belum berakhir separuh abad kemudian’.
Gadis itu bernama Fermina Daza. Siswa sekolah agama: Akademi Presentasi Perawan Suci Penuh Berkat. Sekolah yang mengajarkan tekhnik menjadi istri yang penurut. Florentino muda yang jatuh cinta memutuskan menjadi pemburu gadis dengan cara mengejutkan: mengiriminya surat berpuluh-puluh halaman.
Dibacanya surat itu berulang-ulang sesudah ditulis. Ia sampai hapal luar kepala. Isinya bukan hanya kutipan syair tapi juga janji kesetiaanya yang total. Fermina Daza diserbu oleh aksara yang membuat hatinya tertawan. Mereka saling berbalas surat dengan kegigihan. Lalu cinta itu mendidih hingga membakar Lorenzo Daza, bapak si gadis.
Gabriel membuat kita merasakan kepedihan Florentino: dilarang, diancam hingga dijauhkan. Tapi cinta tak punya terminal final: tulisan Flarentino terbang mengikuti jejak Fermina Daza. Terkaman aksara itu memang membawa hubungan hangat antara Florentino dengan Fermina. Berdua mereka disatukan oleh aksara yang membuat cinta itu menyala.
Perang saudara hingga konflik kekuasaan tak memadamkan api cinta itu. Hanya sebuah tindakan dan pandangan yang mengubah segalanya. Fermina Daza kelak sadar kalau ia hanya menyimpan ilusi. Gabriel memberitahu pada pembaca: ‘Saat melihatmu hari ini, aku sadar apa yang ada diantara kita hanya ilusi’
Kisah cinta diawali dari babak derita. Saya seperti lelah menyaksikan keputus-asaan Flarentino. Ia tak hanya patah tapi juga marah sekaligus dendam. Sumpahnya untuk tetap perjaka dibunuh dengan tindakan duniawi: menikmati perempuan mana saja. Cintanya pada Fermina berubah jadi perburuan pada bayanganya.
Fermina memilih pria yang selalu sama: mapan, dingin dan berkecukupan. Dr Juvenal Urbino. Borjuis yang saleh sekaligus pria yang banyak punya jasa. Ia menulis surat pada fermina dalam bahasa yang tertib, kering dan datar. Urbino mengharumkan kota karena tindakan heroiknya: menyelamatkan warga kota dari terkaman wabah.
Cinta bukan gejolak tapi kenyamanan. Gabriel melukiskanya: ingatlah selalu, hal paling penting dalam pernikahan yang baik bukanlah kebahagiaan melainkan stabilitas. Fermina mengaitkan diri dengan Urbino yang membawa dirinya pada pengembaraan sebagai pasangan borjuis.
Berlembar-lembar halaman kita diseret menjadi Flarentino yang lelah tapi teguh memegang cinta. Pada Fermina Diaz yang meyentuhnya dengan aroma asmara. Tak pernah luntur, pudar bahkan berkurang sedikitpun. Kisah yang bisa membuat kita ditawan oleh cinta pertama.
Gabriel Garcia Marquez seorang pendongeng yang memukau: diubah kita bukan hanya oleh cerita tapi menjadi saksi kekuatan cinta. Pada usia yang memasuki pintu maut Fermina bertemu dengan Flarentino. Usia mereka telah menua, keriput dan bibir mereka sudah tak mampu mencicipi indahnya asmara.
Tapi cinta tak punya kata tamat. Mereka berdua menentang semua anggapan dan memutuskan untuk memasuki belantara cinta dengan semangat muda. Sungguh ini novel yang bisa membuat kita tertegun malu karena perasaan cinta mendapatkan penghormatan begitu rupa.
Kalau kita membaca novel ini yang kita mengerti bukan sekedar rasa cinta tapi keteguhan pribadi manusia. Bisa koyak atau rapuh hanya oleh asmara tapi dapat melawan badai juga karena cinta. Bukan hanya perasaan cinta yang dimanja tapi petualangan melawan dunia yang coba menghalanginya.
Kau tak bisa membaca novel ini dengan harapan bahagia. Kisah cintanya beda: tragis tapi juga penuh semangat. Para tokohnya seperti barisan hilir mudik yang berusaha untuk menahan, menelan atau menampik cinta. Cerita yang tak sekedar mengilhami tapi menghasut pembaca untuk jatuh cinta dengan gaya berbeda.
Sebuah novel rapi, cerdik dan jenaka yang pantas dibaca oleh siapa saja yang pernah jatuh cinta.
Komentar ditutup.