Waktu adalah sungai yang mengalir dari masa lalu kita (Shape of Water)
***
Kamu pernah jatuh cinta? Dilanda rindu, terus ingin bertemu dan mudah sekali ucapkan kata kangen. Tiap saat wajahnya terhimpun dalam ingatan dan genggamanya abadi dalam jemari. Cinta itu campuran antara kegilaan, perhatian dan pengurbanan. Resep yang bisa membekalimu untuk menyaksikan film ini. Diganjar sebagai film terbaik tahun ini kamu bisa merinding, kaget dan terharu melihat adegan film ini. Kisah cinta dramatis antara perempuan bisu dengan monster yang mirip ikan.
Jangan nonton Dilan jika ingin mengerti soal asmara. Soalnya bukan tumpahan rayuan tapi cinta bisa punya akibat beda. Terlebih kalau kita mencintai monster. Mukanya, tubuhnya hingga ucapanya amat beda dengan manusia biasa. Hubungan diantara keduanya bukan pada pelukan, ciuman apalagi kata-kata indah melainkan perhatian serta resiko. Del Torro benar ketika mengatakan, manusia itu adalah monster yang sebenarnya.
Kamu bayangkan manusia bisa melakukan apa saja yang hina. Merampok uang yang bukan jadi haknya, menyita tanah yang harusnya jadi lumbung pangan bersama hingga membunuh anak muda yang punya pikiran beda. Manusia mampu pula menipu dengan menggunakan agama: seakan Tuhan menuntut manusia untuk menghina dan membunuhi siapa saja yang beda. Hanya manusia yang berani mengatas namakan Tuhan untuk berbuat seenaknya.
Tawaran cinta itu basi memang. Tapi del Toro membuatnya jadi unik dan berbeda. Kisah itu dibuka dari perempuan bisu yang hidup dengan hati bahagia tapi selalu dicandu rasa sepi. Punya tetangga seniman yang lukisanya tak pernah bisa laku. Tinggal di atas sebuah bioskop yang tak mampu datangkan penonton. Lalu hidup di sebuah zaman dimana Amerika dan Rusia saling pamer kekuatan. Komplit sudah situasi yang padat ironi dengan tokoh yang mudah dilukai oleh siapa saja. Del Toro selalu memihak pada yang beda, unik dan lemah.
Monster itu muncul untuk jadi uji coba. Manusia selalu mengukur batas ambisi dengan mengurbankan siapa saja. Datanglah serdadu yang pangkatnya jendral dengan tingkat kebodohan yang nyaris sempurna. Punya anak buah kemahiranya hanya mengancam dan menekan. Unjuk kebodohan itu dilakukan di tengah medan yang dipadati oleh intrik, lomba dan ambisi. Seperti biasa ada rakyat kecil yang ada di sekitarnya: perempuan yang bekerja jadi tukang bersih-bersih. Kegiatan sepele ini memahat cerita jadi unik karena keberanian dan kejenakaan bersumber disana.
Perempuan itu jatuh cinta pada monster. Yang dimulai dari perhatian pada suara, pada gerak dan pada misteri. Ia bukan perempuan yang menutup diri, tapi sosok yang selalu punya pikiran dan kesegaran dalam bertindak. Daya tariknya bukan pada wajah tapi sikapnya yang meyentuh dan tak mudah untuk takluk. Cinta meyentuh kenekatan sekaligus mengajaknya berpetualang. Ia jatuh hati tapi tidak dengan rasa rindu. Monster itu memandangnya dengan penuh hormat. Cinta itu mengubah pandangan pada dirinya sendiri. Hanya monster itu tetaplah spesies yang ingin dikendalikan: ditemukan untuk jadi landasan sebuah ambisi.
Monster itu mau digunakan untuk bertarung. Memenuhi ambisi negara yang hingga hari ini terus berseteru: Amerika dengan Rusia. Para agen intlejen, perwira hingga ilmuwan jadi barisan pengabdi. Kisah cinta yang menyembul antara monster dengan gadis itu jadi menegangkan: gadis itu ingin menyelamatkanya dan monster ini maunya tetap hidup berdua. Di tengah perburuan ambisi maka cinta keduanya itu jadi berbahaya dan musti menggadaikan nyawa. Del Torro mengeksekusi film itu dengan indah.
Kita lalu bertanya apa itu arti cinta, kesetiaan dan patriotisme? Silang sengketa itu menumbuhkan keyakinan pada penonton kalau cerita cinta tak pernah sederhana. Bukan dengan siapa cinta itu bertumpu tapi dalam situasi seperti apa cinta itu tumbuh. Begitulah Shape of Water memberi ilham kalau hidup manusia itu bukan potongan sederhana yang mengikuti aliran perasaan: bentangan hidup itu memandu imaginasi, keyakinan dan keberanian. Film ini bukan layak tonton tapi pantas jadi bahan renungan.
Komentar ditutup.