Oleh: Luthfian Haekal (pecinta kucing dan pegiat Social Movement Institute)
“Tidak hanya mas-mas Kiri c*bul, akhi-akhi juga ada yang c*bul. Namun, jangan salah paham. Tidak semua akhi-akhi seperti itu.”
***
Apa yang kita pikirkan tentang sebutan ‘akhi-akhi’ atau ‘ikhwan-ikhwan’? Cap yang akan diidentikkan pastinya sholeh, taat beribadah, menjaga pandangan, menolak berjabat tangan dengan lawan jenis, penghapal Al-Qur’an, penghapal Hadits, pegiat dakwah, sampai seputar jenggot panjang, celana cingkrang, dan sandal gunung. Cap itu tidak sepenuhnya salah, karena beberapa yang kita identikkan sebagai akhi adalah pegiat lembaga dakwah di kampus yang menjadi Tarbiyah.
Beberapa tahun lalu ketika masih menjadi mahasiswa baru, saya pernah terlibat di Lembaga Dakwah Kampus tingkat Fakultas. Tetapi, saya tidak cukup untuk bisa disebut sebagai ‘akhi-akhi.’ Hal itu karena saya bergaul dengan ahli hisap (mahasiswa yang suka merokok), rambut gondrong, celana jeans, memakai kaos, jarang memakai jaket lembaga dakwah kampus, dan sudah terbata-bata ketika membaca huruf Arab Pegon. Sebab lainnya, suara saya tidak bisa dikonversi menjadi suara pemilihan ketua BEM KM UGM; pilihan elite lembaga dakwah kampus lewat liqo’.
Meski saya tidak cukup untuk disebut ‘akhi,’ saya mengucapkan terima kasih kepada lembaga dakwah yang saya ikuti. Tanpanya, cerita dari salah seorang ‘akhi-akhi’ yang saya kenal tidak akan bisa ditulis. Cerita itu adalah ‘akhi-akhi’ c*bul—yang dipergoki kawan saya ketika tengah melakukan aksi c*bulnya. Sebenarnya cerita ini telah lama dia pendam (mungkin sekitar tiga tahun), karena tidak mau mengumbar aib saudara sendiri. Perumpamaannya bak memakan bangkai saudara sendiri.
Cerita ini dimulai ketika saya melihat instastory Instagram salah satu kenalan akhi yang tengah curhat mengenai fenomena akhi-akhi maupun ukhti-ukhti kebelet nikah muda tanpa ilmu yang mumpuni. Semua masalah akan terselesaikan ketika Anda menikah muda, begitu kiranya. Skripsi akan terselesaikan ketika menikah, karena ada penyemangat. Kemiskinan akan terselesaikan ketika menikah muda, karena menikah akan menyempurnakan separuh agamamu. Menjadi kaffah dan anak adalah pembuka pintu rezeki.
Tanpa pemahaman atas Kitab Qurrotul ‘uyun atau Fikih Perempuan yang ditafsirkan oleh berbagai ‘ulama, tren nikah muda menjadi toxic bagi akhi-akhi maupun ukhti-ukhti. Mulai dari seminar, kajian, atau poster dakwah isinya tentang nikah muda. Kita bisa mengeja berbagai judul seminar nikah muda, mulai dari “Menjemput Jodoh Impian” sampai-sampai “Membina Keluarga Islami di Era Industri 4.0”. MasyaAllah, saya kemudian membayangkan anak-anak dari keluarga itu dididik oleh Kecerdasan Buatan (AI) dan dilatih analisis Big Data.
Berangkat dari fenomena itu, teman saya bercerita mengenai fenomena yang menjangkit akhi-akhi. Virus itu mulai dari ‘akhi-akhi wibu,’ akhi-akhi membayar handshake dengan salah satu personil JKT 48 tetapi tidak bersentuhan tangan, sampai akhi-akhi c*bul. Saya tidak cukup tersentak ketika ia mengatakan akhi wibu, karena saya sering mendapati tipikal itu. Perawakan dicitrakan ‘Islami,’ tetapi isi laptop penuh dengan kumpulan anime yang ia unduh dari berbagai situs web. Bahkan beberapa kali saya mendapati ada yang menonton anime di masjid. Namun, yang mengejutkan saya adalah fenomena akhi-akhi c*bul.
Waktu itu, tengah ada forum di dalam kampus. Semua akhi maupun ukhti berkumpul untuk mengikuti forum itu. Saat itu, teman saya mendapati salah seorang akhi di sebelahnya tengah memotret secara sembunyi-sembunyi ukhti-ukhti yang ada di forum itu. Padahal, perawakan akhi-akhi itu dicitrakan sangat ‘Islami,’ mulai dari cara berpakaian hingga bertutur kata. Ia tidak mau berjabat tangan dengan lawan jenis. Pada saat itu, teman saya menegur, “kalau kamu suka, nikahin aja. Tidak usah memotret secara sembunyi-sembunyi”.
Ternyata, yang ia jadikan objek foto bukan hanya satu ukhti-ukhti saja. Ada beberapa foto ukhti-ukhti lain yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Foto yang ia ambil secara sembunyi-sembunyi itu terlihat candid. Sialnya—ketika teman saya bercerita tentang akhi-akhi c*bul itu dan menyebutkan siapa saja ukhti-ukhti yang pernah dijadikan objek foto, ada beberapa ukhti yang saya kenal. Mereka itu adalah orang baik dan tidak layak untuk dijadikan objek foto secara sembunyi-sembunyi. Bahkan tidak hanya ukhti-ukhti, semua perempuan yang ada di bumi Allah tidak berhak dijadikan objek foto tanpa adanya konsensus.
Pada saat itu, titik kulminasi su’udzan saya mencapai pada taraf ingin melakukan hukum rajam terhadap akhi-akhi itu. Sebutan akhi-akhi c*bul langsung saya lekatkan padanya. Padahal, dalam salah satu kesempatan saya mendapati ia tengah berbicara mengenai Islam yang memuliakan perempuan. Kemudian, pada titik itu saya meragukan apakah si akhi ini benar-benar menerapkan nilai-nilai Islam yang menghargai perempuan. Jangan-jangan seperti kata Sayyid Qutb, ia masih Jahilliyah. Ia tidak mengikutsertakan nilai-nilai Islam ketika bertindak dalam kehidupan keseharian.
Cerita lain berasal dari kawan perempuan saya. Ia berjilbab dan menutup auratnya. Pada suatu waktu, ia menerima pesan lewat Instagram yang tertulis, “bibirmu indah….” (saya tidak mau melanjutkan karena terlampau merendahkan perempuan dan membuat jijik). Setelahnya, ia membuka profil laki-laki itu. Tidak disangka, isi Instagram laki-laki tersebut berisikan tentang dakwah; misalnya keutamaan Tauhid, keutamaan memuliakan perempuan, dan lainnya. Sontak ia terkejut dan langsung memblokir akun itu.
Beberapa lainnya melalui candaan nikah seperti ‘sudah halal.’ Candaan ini sangat lah sering saya dengarkan di berbagai pojok kegiatan keseharian dalam dakwah. Candaan yang sebenarnya merendahkan derajat perempuan. Dalam candaan itu, perempuan ketika sudah menikah akan menjadi ‘halal’ bagi suaminya. Seolah-olah ia tidak berdaya dan mampu di-‘apa-apa’-kan oleh suaminya. Sami’na wa ‘atha’na (aku mendengar dan aku patuh) terhadap suaminya.
Tulisan ini juga merupakan titik kulminasi kemarahan saya terhadap akhi-akhi semacam itu. Semoga mereka segera sadar dan meminta maaf; tidak hanya pada Allah dengan Taubatan Nasuha, tetapi juga meminta maaf pada ukhti-ukhti yang telah ia jadikan objek foto secara sembunyi-sembunyi. Taubatan Nasuha adalah titik transenden permintaan maaf. Sementara, titik imanennya adalah meminta maaf pada ukhti-ukhti itu. Apakah meminta maaf sudah cukup? Wallahu’alam.
Fenomena akhi-akhi c*bul ini menunjukkan bahwa semua perempuan entah apa yang ia pakai rentan terhadap pelecehan, tidak terkecuali di lingkungan yang dicitrakan ‘Islami.’ Pelecehan bekerja bahkan pada taraf yang sangat kecil. Bukan hanya berupa sentuhan tanpa adanya konsensus, tetapi juga menjadikan perempuan sebagai objek foto secara sembunyi-sembunyi. Tidak hanya itu, pelecehan juga bekerja ketika kita berpikir untuk ‘ngapa-ngapain’ bersama si perempuan itu. Tidak ada yang tahu pikiran manusia selain manusia itu sendiri dan Allah.
Saya berpikir, untuk apa akhi-akhi itu membincangkan ‘Islam memuliakan perempuan’ jika ia saja tidak bisa memuliakan perempuan? Menjadikan ukhti-ukhti sebagai objek foto secara sembunyi-sembunyi jelas perbuatan yang tidak Islami sama sekali. Islam mengajarkan untuk menundukkan pandangan. Tetapi, bukan berarti menundukkan pandangan ke handphone yang isinya foto-foto ukhti yang ia ambil secara sembunyi-sembunyi. Perintah menundukkan pandangan itu ada untuk mengelola hawa nafsu manusia. Apa susahnya menahan libido seksualmu itu ya akhi-akhi c*bul?
Tentu, tidak semua akhi-akhi demikian. Beberapa yang akhi yang saya kenal selalu menjaga pandangannya. Ia setidaknya bisa benar-benar meresapi bagaimana Islam memuliakan perempuan. Rasulullah pernah bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729). Kalimat itu adalah pesan bagi seluruh umat manusia untuk memuliakan perempuan. Maka, sebagai orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW, hendaknya kita mematuhi perintah Rasulullah.
Apa yang saya tulis adalah hal-hal ‘kecil’ –tapi hal kecil itu menjadi kebiasaan yang terbiasa. Saya berharap ada tulisan-tulisan lainnya tentang hal ini. Terima kasih.
Terakhir, semoga Allah mengampuni dosa kita semua. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuhu.
———
Versi tulisan ini adalah versi yang belum diedit oleh Magdalene. Versi yang telah diedit editor Magdalene bisa dilihat di https://magdalene.co/story/hati-hati-ukhti-akhi-akhi-cabu
Komentar ditutup.