Ceos Arendt (Ketua Forum Sekolah Bersama Yogyakarta)
“Perjuangan nominal tidaklah jauh berbeda dengan tindakan spontanitas yang membawa beban moral”
***
Perlawanan petani terhadap ketidakadilan dalam berbagai bentuknya telah muncul menghiasi perjalanan sejarah bangsa indonesia, khususnya di mulai ketika gelombang kapitalisme dan kolonialisme mulai menggerus ke dalam kehidupan pedesaan yang sudah sarat dengan beragam tekanan dan eksplaitasi feodalisme. Perlawanan-perlawanan yang berpangkal pada persoalan-persoalan ketimpangan penguasaan hak atas tanah, eksploitasi berlebihan, kemiskinan, dan ketidakpastian hukum. Beberapa bulan terakhir ini bermunculan gerakan-gerakan pedesaan yang juga di topang oleh gerakan perkotaan dengan isu yang sama, yakni “naikkan harga kopra”. Penurunan harga kopra terjadi di beberapa daerah, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Provinsi Riau, dan Jambi. Perlawanan-perlawanan yang bermunculan dikarenakan eksploitasi berlebihan yang di lakukan oleh pangsa pasar internasional atau permainan sistem ekonomi kapitalisme.
Jonathan Fox dalam pengantar editorial buku kumpulan tulisan tentang demokratisasi pedesaan di beberapa negara menulis “sebagian besar literatur mengenai politik petani di dominasi oleh marak dan hangatnya diskusi mengenai pemberontakan dan revolusi kaum tani atau beragam bentuk perlawanan sehari-hari” (Dari Lokal Nasional Kembali Ke Lokal: Dianto Bachriadi, Hal.2). Dalam hal ini, hemat saya adalah ketidakmampuan gerakan sosial dalam memberikan pendidikan politik sebelum terjadinya konflik agraria, yang akan menjurus pada lemahnya posisi kaum tani dalam melakukan perlawanan-perlawanan terhadap tuan tanah atau negara “hanya sebatas” ketika ada sejumlah perubahan yang akan membuat hidup mereka semakin sulit.
Hal ini dapat di buktikan dalam perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh beberapa daerah yang menuntut kenaikkan harga kopra. Hemat saya tidak menjadi persoalan ketika itu di maknai radikalisasi massa dalam memukul mundur politik neoliberalisme yang dimainkan rezim hari ini. Namun sejauh pengamatan saya adalah bahwa perlawanan-perlawanan yang dilakukan hanya sebatas pada radikalisasi massa saat konflik. Bukan menjadikan itu sebagai akumulasi perlawanan kaum tani berkelanjutan dalam segala bentuk sub-ordinasi. Ketika kemudian perjuangannya kalah atau menang, maka akan timbulnya stagnasi. Sampai terjadi konflik berikutnya terjadi. Landsberger dalam satu buku klasiknya mengatakan bahwa, memahami kenyaataan sosial dimana tidak atau belum ada perubahan-perubahan kelembagaan yang sangat penting untuk memahami penyebab-penyebab munculnya aksi-aksi kolektif dari kaum tani. Ia mengatakan “banyak peneliti gerakan-gerakan petani khususnya tertarik pada reaksi-reaksi kolektif petani yang secara eksplisit menolak perubahan-perubahan mendasar pada kelembagaan ekonomi dan politik yang dapat memperparah rendahnya status mereka, misalnya adalah sistem penguasan tanah…. Tetapi secara logis dan ilmiah satu-satunya cara untuk mengetahui penyebab aksi-aksi kolektif itu muncul, di banding yang lainnya, yakni kondisi-kondisi dimana gerakan yang menolak perubahan kelembagaan itu tidak muncul” (Landsberger 1969).
Menurut Skocpol, penting untuk menekankan bahwa aksi-aksi kolektif dalam berbagai revolusi tidaklah berbeda dengan aksi-aksi petani yang sering disebut dengan pemberontakan atau kerusuhan kaum tani. Manakala petani terlibat dan bangkit pada masa krisis yang mengarah kepada sebuah revolusi, sesungguhnya yang mereka lakukan sama polanya dengan pemberontakan-pemberontakan tradisional lainnya, seperti: kerusuhan-kerusuhan pangan, mempertahankan tanah-tanah komunal atau hak adat, kerusuhan-kerusuhan melawan pedagang penimbun atau tuan-tuan tanah, maupun perbanditan sosial (Dianto bachiadi, dari lokal ke nasional kembali ke lokal,hal.3).
Hemat saya dalam beberapa pandangan di atas menunjukan bahwa, perlawanan-perlawanan kaum tani seharusnya bisa dilihat secara lebih jeli lagi, melalui penelitian-penelitian tentang konflik agraria yang terjadi, dan membaca secara umum keadaan masyarakat; yang bukan hanya kaum tani saja. Ini agar perlawanan-perlawanan kaum tani tidak sebatas perjuangan nominal dan tidak menutup kaum tertindas lainnya untuk mengkonsolidasikan dirinya dalam keterlibatan perjuangan kaum tani.
Komentar ditutup.