[Belajar hidup dengan John Steinbeck]
***
Konon novel ini ditulis dengan menggunakan 300 pensil, dimana per harinya 60 pensil dihabiskan. John Steinbeck seperti berusaha membuat monumen kisah yang bisa dikenang dari masa ke masa. Berkisah pada tempat yang selalu jadi bahan ceritanya: Salinas Valley. John Steinbeck dalam biografinya lahir disana. Kawasan yang dihuni pertama-tama oleh orang Indian, kemudian diusir oleh orang Spanyol lalu dikuasai oleh orang Amerika yang terkenal amat rakus. Steinbeck dengan sinis bercerita:
Lalu datang orang Amerika-lebih serakah karena jumlahnya lebih banyak. Mereka rebut tanah, dan merombak hukum untuk mengesahkan hak-hak kepemilikan mereka…tiap kali ada air mengucur dari tanah, sebuah rumah langsung berdiri di sana dan sebuah keluarga mulai bertumbuh dan bertambah banyak
Tumbuh dari tempat itu sebuah keluarga yang dikepalai oleh pria tampan keturunan Irlandia: Samuel. Steinbeck selalu piawai dalam mengisahkan profil Samuel: gagah, tampan dan selalu riang. Punya istri yang berbeda jauh: kecil, saleh dan tak suka menunjukkan perasaan. Keluarga itu hidup dengan dianugerahi anak-anak yang unik, berbeda dan kelak jadi saksi banyaknya perubahan. Tapi Samuel tak hidup sendiri karena ada sosok yang nanti menjadi mahkota kisah. Keluarga Adam Trask yang datang ke Salinas dengan uang berlimpah lalu membeli tanah berhektar-hektar.
Steinbeck selalu mengajak kita memahami watak manusia yang selalu berjuang melawan keadaan. Kedua keluarga itu tinggal di zaman yang penuh gejolak: perang juga krisis ekonomi. Guncangan zaman itu membentuk watak manusia untuk bertahan, beradaptasi atau berusaha mengail keuntungan. Keluarga Cyrus yang menjadi orang tua Adam merupakan figur pembuka cerita yang membuat kita trenyuh, sakit dan marah. Memiliki istri yang kemudian bunuh diri lalu menikah lagi dengan seorang perempuan yang tidak cantik tapi pekerja keras.
Steinbeck tidak sedang membuat kisah keluarga sakinah, tapi jiwa manusia yang dibelenggu oleh situasi yang sempit dengan pilihan terbatas. Cyrus misalnya: bertempur di medan perang yang membuat luka serta mewariskan penyakit. Puteranya Adam punya hati yang lembut dan enggan untuk melakukan kekerasan. Saudaranya bernama Charles: pria yang selalu terpesona oleh kekerasan sekaligus punya jiwa yang dipenuhi amarah. Tenaganya banyak dipakai untuk melukai, menyakiti dan mengalahkan. Bayangkan hubungan dua manusia berbeda watak itu tumbuh dalam keinginan untuk saling menyayangi.
Cerita paling khas dari John Steinbeck adalah watak buruk manusia itu muncul seperti monster. Tak mudah dikendalikan oleh dirinya sendiri. Seakan setan itu begitu berkuasanya sehingga manusia tak mampu menolak kekejian. Cathy yang tumbuh sebagai gadis rupawan tapi punya minat keji pada sesamanya. Tidak persis seperti munafik karena Cathy tak mampu menyembuyikan naluri sadisnya. Orang gampang dikelabui oleh penampilanya tapi tak semua orang dapat dibohonginya.
Hubungan manusia dibangun tidak didasarkan pada kepercayaan saja tapi pengkhianatan dan saling akal-mengakali. Mungkin karena itulah orang baik dibutuhkan untuk membatasi panggung kejahatan. Panggung kebaikan itu ditampilkan pada diri Samuel, Adam dan Lee. Samuel seperti penjuru semua kisah karena ia pria yang tak gampang takluk oleh bujukan dan kurang hirau dengan pujian. Sebagai penggemar buku tampaknya Samuel lebih mudah memberi saran ketimbang menjalani hidup seperti yang dipercayainya.
Maka jalan hidup dua keluarga ini mirip dengan kisah panjang manusia menemukan keinginanya: kekayaan, ketenaran, kebahagiaan dan putus asa tak bisa dihindari. Mula-mula itu seperti musibah biasa tapi lama kelamaan itu mengubah banyak garis hidup manusia. Seperti Adam yang tak menginginkan jadi serdadu tapi dipaksa untuk berperang. Hatinya yang lembut tak bisa menerima kenyataan perang yang keji. Kobaran perang itu tidak membuatnya buas tapi jadi orang yang meyakini kekuatan nurani. Ia bagai monumen yang teguh pada prinsip tapi juga orang yang setia pada kebiasaan menjadi serdadu.
Serdadu membentuk ritual yang stabil dan seragam. Hanya hidup tak terdiri di atas peperangan melainkan juga menerima perdamaian dan hidup normal. Charles dan Adam mewarisi harta yang luar biasa dari kematian ayahnya. Uang, modal yang banyak dan tanah luas telah membentuk watak borjuis yang lamban. Hingga perempuan berhati iblis itu datang dengan tawaran cinta yang sulit untuk ditampik. Tragedi selalu berawal dari cinta yang berlebihan dan nalar yang tak digunakan.
Kisah ini menyeret hidup yang kalah, lemah dan letih. Samuel orang baik yang tahu kejahatan itu gentayangan tapi tak mampu untuk ditaklukkan. Kebaikan bukan modal untuk mengalahkan iblis, karena tanpa keberanian itu hanya bualan yang tak berarti. Bertemulah kita dengan orang Cina bernama Lee, yang menjadi pembantu setia dan total. Samuel dan Lee dua orang baik yang tak mampu berkutik di tengah hamparan cinta yang bertenaga tapi beracun. Adam tak hanya mencintai istrinya tapi sudah menyembahnya.
Bersama Steinbeck kita diajak mengarungi nasib manusia yang unik, mengejutkan dan tak disangka. Cinta yang tak bisa padam itu dibalas dengan sikap kejam yang tak dapat diduga. Lahirlah anak yang tak dikehendaki ibunya tapi juga tak bisa mempesona bapaknya. Adam meluncur jadi pria yang kehilangan kewibawaan dan kekuatan. Walau hidup dengan sehat tapi nuraninya seperti padam. Ia tak menyangka ada cinta tulus yang berbuah sikap keji. Samuel mengingatkan pertaruhan hidup bukan baik dengan buruk, melainkan kenyataan dan harapan yang selalu tak bertemu. Seperti simpang jalan yang sunyi tapi menyimpan petaka.
Maut membuat manusia harus memikirkan jalan hidupnya. Satu demi satu para tokoh itu menjemput maut. Ada yang melalui kepedihan, keputus-asaan dan kesunyian. Mati seperti pelajaran hidup yang membuat mereka yang ditinggalkan merasa kehilangan sekaligus mendapatkan hikmah. Adam mulai mampu melihat dirinya serta mendung yang selalu meyertai hatinya. Seakan dibebaskan dirinya mulai ingin menata hidup dengan lebih bersemangat.
Bukan Steinbeck kalau cerita berakhir bahagia. Hidup manusia tak ditentukan hanya oleh niat semata. Niat itu tak mampu memusnahkan apa yang sudah menjadi obsesi dan ambisi manusia. Itulah yang selalu jadi jebakan yang mencemaskan: Cal dan Aron mekar dalam dunia keyakinan yang beda. Anak-anak Adam yang tak dikehendaki ibunya itu mencoba untuk meraih kasih sayang yang hilang. Bapaknya yang selalu dirudung duka tak mampu memenuhinya. Misteri kisah ibunya dan kenyataan yang bejat sulit untuk diterima oleh Aron, tapi mudah dimanfaatkan oleh Cal.
Begitulah kisah itu dialiri oleh semangat pencarian tentang hakekat dan makna kasih sayang. Manusia memang bisa takluk pada sikap durhaka tapi manusia pula yang mampu menaklukkanya. Steinbeck memang meliput tokoh yang punya keyakinan spiritual yang teguh, tapi itu tak mampu membawa kedamaian bagi sekitarnya. Individu yang percaya kalau alam baka, kematian maupun goresan nasib telah ditentukan, karena itu manusia hanya diminta untuk menerima saja.
Kalau anda membaca novel ini bukan dihadapkan pada cermin tapi perjalanan yang berkelok panjang. Kita bukan diajari untuk menerima kenyataan tapi juga kita diminta untuk sabar dalam melawan. Sebab badai hidup seperti misteri yang meyergap tiba-tiba serta memukul kita dengan lembut. Para tokoh yang hidupnya luka serta selalu melukai akan mengais-ngais perhatian yang tak pernah dapat dijangkau. Mereka menjemput maut dengan pertimbangan tapi juga dengan paksaan.
John Steinbeck yang meraih nobel seolah meyakini hidup itu tak bisa diterima begitu saja tapi juga jangan dilawan begitu rupa. Samuel merupakan tokoh mulia yang hidupnya selalu memancar kebajikan tapi juga sulit dirinya untuk kehilangan. Padahal hidup itu harus bersiap untuk ‘kehilangan’. Begitu pula Cal yang di akhir kisah terus merasa bersalah pada apa dilakukanya dan seolah bapaknya yang sekarat tak bisa ditebak keputusanya.
Hidup dalam kisah John Steinbeck memang bukan dijalankan oleh para pahlawan. Setiap tokohnya punya pilihan hidup yang terbuka. Tapi manusia ketika dihadapkan pada pilihan belum tentu akan mendapatkan yang terbaik. Sikap naif, obsesi hingga kewaspadaan bisa membuat manusia gampang tergelincir. Mungkin itu sebabnya mereka yang licik bisa memanipulasi tapi juga mereka yang dapat pelajaran paling menyakitkan.
Kalau dibanding dengan karya lainya mungkin ini memang bukan yang terbaik. Tapi diatas segalanya karya ini mencerminkan suasana zaman ketika itu: ketidak-pastian yang membuat manusia dihadapkan pada sedikit pilihan. Para borjuis tamak yang rakus tapi kehilangan hati dan borjuis budiman yang sulit mengelak dari takdir buruk.
Novel ini tak mementaskan pahlawan tapi manusia yang bertarung dengan nasib dan lingkunganya. Steinbeck seorang realis yang tak meniupkan rasa optimis melainkan keyakinan kokoh akan kekuatan manusia. Kekuatan yang terus mengilhami segala tindakan, melawan tiap badai dan di saat kalah mereka tak mau menyerah.
Inilah novel tragedi manusia yang ingin membuat hidupnya penuh gelora. Karya religius yang hangat, sublim dan meyentuh. Pramoednya pantas jika kagum dengan John Steinbeck.
Pingback: KA GAMING