CORONA, ’65, DAN SOLIDARITAS PANGAN JOGJA

Kita hidup dalam dunia ketakutan. Kehidupan manusia saat ini berkarat dan terasa pahit karena ketakutan akan masa depan…Mungkin ketakutan ini adalah bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri, karena ketakutanlah yang mendorong manusia untuk bertindak bodoh, untuk bertindak tanpa berfikir, untuk bertindak berbahaya (Soekarno)

Virus ini datang dengan kemampuan mengerikan: mengendap dalam tubuh manusia selama 14 hari, menempel pada tubuh manusia melalui kontak, dan merampas nyawa manusia dengan cepat. Dunia seperti tak berdaya melawan kekuatan virus yang melompat satu negara ke negara lainnya. Seolah virus ini memanfaatkan mobilitas cepat manusia yang dulu jadi andalan rezim globalisasi. Melalui apa yang sangat dibanggakan pada masa kini yakni hilangnya tapal batas. Virus itu menerjang semua negara tanpa basa basi.

Kita jadi bangsa yang ikut didatangi Corona. Semula para pejabat percaya kita mampu mengenyahkannya. Melalui doa bahkan ada yang percaya etnis Melayu kebal atas serangan itu. Sikap congkak yang berbuah celaka karena selama dua bulan kita meremehkannya. Corona menusuk satu demi satu tubuh rakyat yang tidak dibedakan berdasar atas kelas sosial, kepercayaan politik bahkan iman sekalipun. Ditiuplah berbagai informasi, baik yang hoaks maupun akurat, mengenai bahaya virus itu sekaligus bagaimana mengganyang nyawa satu demi satu.

Corona memukul landasan hidup yang paling prinsip yakni kepercayaan. Tiap kali saya batuk di tempat umum mata orang menyorot curiga. Seakan saya pembawa virus bahaya. Begitu pula melihat orang bersin kita kemudian waspada. Rasanya hidup bersama orang lain seperti berada di tengah ranjau di mana setiap saat kita bisa kehilangan nyawa. Terlebih kalau kita tidak memakai masker sepertinya kita tak mengindahkan etika. Hingga muncul aturan yang paling mustahil di situasi normal, yakni sanksi bagi kerumunan apa saja.

Lebih persisnya, Corona hidup dalam ruang yang bernama isolasi. Bagi yang ditempel virus itu wajib menyendiri. Tapi bagi yang belum diserang virus juga harus diam di rumah saja. Manusia kini berada dalam suasana hari akhir: bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Serupa hakim, Corona mengadili dengan tanpa dugaan—orang tua kena, pejabat tinggi disentuhnya bahkan bayi bisa kena Corona. Kesalahan mereka sulit dipastikan tapi ‘pertemuan’ dengan orang bisa jadi penyebabnya. Sumber petaka virus itu adalah hubungan sosial antar manusia.

Kini hubungan itu ingin dikikis. Tiap orang jika tidak ingin diserang musti mengubah diri; lebih jaga kebersihan, jaga kebugaran, dan tetap optimis. Maka virus itu bisa mengejar siapa saja yang abai pada itu semua. Tapi tak semua orang suka kebersihan kebal dari virus. Pemain sepak bola yang bugar dapat kena virus. Bahkan bintang tenar macam Tom Hanks yang optimis juga bisa ditempel Corona. Pertahanannya bukan pada diri sendiri ternyata, melainkan melibatkan pula orang lain. Orang lain itu bukan hanya tetangga atau kawan karib, tapi negara. Kuasa yang selama ini memang punya tugas melindungi rakyatnya.

Sayang negara tak punya banyak modal melakukan itu. Modal kepercayaan ada tapi mudah sekali mengabaikan. Berulang-ulang negara diberi waktu untuk mengatasi urusan kesehatan rakyat tapi tak bergegas memenuhinya. Biaya kesehatan yang tinggi sempat ditambal dengan BPJS. Tapi tak diimbangi oleh persebaran rumah sakit dan dokter secara merata. Pada soal urusan kesehatan, kita memang tak pernah memberi prioritas. Nyaris semua wabah yang sudah punah di negeri lain masih muncul di negeri ini—dari TBC hingga Demam Berdarah.

Mungkin karena kematian sudah seperti peristiwa lazim. Di kampung saya, kalau ada yang mati maka pengumumanya bergema di mana-mana. Tiap masjid memberitahu siapa yang meninggal, lalu diulang masjid sebelahnya, lalu diulang masjid di dekatnya. Mati seperti kegiatan rutin macam senam atau hajatan. Terlebih ada kepercayaan memang hidup itu berjalan sebentar. Semua orang akan mati. Sehingga Corona seperti kendaraan jenazah tipe lain yang punya tujuan sama: kematian. Mati apalagi dalam jumlah massal memang telah jadi kisah sejarah perjalanan bangsa ini.

Jutaan nyawa pernah dibunuh dengan keji tanpa kita merasa menyesal sama sekali. Pada masa 1965 banyak orang dibunuhi hanya karena dituduh PKI. Tak ada yang ingin mengadili kejahatan kemanusiaan ini. Nyaris semua penduduk percaya sekali dengan hoaks tentang PKI ciptaan Orba. Mereka meletakkan PKI mirip dengan virus Corona: siapa saja yang kena cap PKI bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Tak hanya PKI tapi juga petani, buruh, dan mahasiswa yang kerap dapat perlakuan sewenang-wenang. Corona datang seperti balas dendam atas masa lalu gelap yang tak kunjung diadili.

Kini semua orang dilanda kepanikan. Berita yang positif Corona dan penyebaranya mirip kisah zombie. Datang bisa melalui duta siapa saja kemudian menempel pada permukaan mana saja—kulit manusia hingga kaca depan rumah kita. Virus itu seperti ajakan untuk wisata maut dengan caranya yang lebih dingin. Kita seperti dihantui oleh situasi yang tak ada ujung- pangkalnya. Terlebih media sosial melipatgandakan arus dan kandungan informasi itu hingga kita seakan sedang diintip oleh Corona. Di pojok harapan itulah selalu ada celah untuk menaklukkan kepanikan dan metode menangani yang lebih memadai.

Kita dapat berkaca dengan China, jika pemerintah punya segalanya: dana untuk menambal kekurangan, dokter yang cukup banyak dan aparatur yang bersih. Jika lebih berani lagi Singapura, kalau kita punya teknologinya, kemampuan aparaturnya, dan ketegasan pemimpinya. Bahkan mungkin Korea Selatan yang menggerakan semua aparat untuk melakukan tes massal melalui cara yang aman. Tapi, setidaknya Surabaya bersama wali kota yang melakukan langkah apapun bisa jadi contoh sederhana.

Hanya satu kelemahan virus itu, yakni kemampuan kita untuk mencium jejaknya lebih dulu dan masyarakat yang patuh dengan segala anjuran. Keduanya kita sedang berusaha karena pada sisi itu semua kita seperti lagi sadar. Sadar bahwa sarana kesehatan yang kita miliki itu terbatas dan jumlah tenaga medis yang dikerahkan terbatas jumlahnya. Untungnya virus itu pertumbuhan pesatnya di Jakarta di mana semua yang berbau kemajuan dan tenaga menumpuk di sana. Tapi kekuatiran hari ini virus Corona telah meyentuh semua provinsi.

Kini masyarakat seperti dibangkitkan untuk melawan dengan caranya sendiri. Bukan sekedar anjuran kesehatan yang dipenuhi melainkan warga mulai menangkal kedatangan orang luar. Di Jogja ada sejumlah kampung yang melakukan lock down. Membatasi semua yang datang dari luar karena dianggap potensial pembawa virus. Bahkan, sejumlah pejabat menganggap itu namanya kearifan lokal. Sebutan yang terkesan membenarkan tindakan penutupan. Padahal resiko yang berbahaya kalau semua kampung melakukan itu adalah pedagang informal.

Masyarakat mengucilkan diri dan mengasingkan dari kontak luar. Padahal hubungan ekonomi apapun mensyaratkan interaksi. Maka inisiatif kalangan aktivis untuk memutus mata rantai isolasi dengan berbagi makanan merupakan cara radikal. Mereka menempuh upaya untuk hidupnya masyarakat yang beradab: meyantuni mereka yang lemah, memastikan mereka tetap bertahan, dan mengajak semua untuk ikut bertanggung jawab. Tindakan itu bukan saja memangkas kepanikan tapi juga menunjukkan kalau Corona tak bisa menguasai kita sepenuhnya.

Kini berbagi makanan itu telah jadi simbol harapan baru. Bahwa manusia sebagai makhluk sosial tak bisa dibunuh begitu saja. Corona memang mengintip nyawa, tapi jangan sampai itu membuat kita kehilangan nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan yang sejak 65 dirusak kini mau dikembalikan oleh anak-anak muda yang sebagian di antaranya aktivis Aksi Kamisan. Mereka yang menolak melupakan kejahatan HAM masa lalu dan percaya ‘siapa yang tak mampu mengadili masa lalu akan dihukum di masa depan’. Mereka kini berjibaku dengan waktu mengembalikan lagi Indonesia yang dulu diperjuangkan oleh kaum kiri dan kanan.

Indonesia yang rakyatnya percaya bisa menolong satu sama lain. Indonesia yang hidup karena solidaritas pada yang lemah. Indonesia yang meyakini bahwa kemanusiaan adalah nilai yang musti dijunjung tinggi. Indonesia yang selalu mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan segalanya. Lewat Solidaritas Pangan Jogja, rakyat memberi bukti bahwa mereka ternyata mampu saling menolong, terus membantu, dan percaya bahwa memang ‘KEDAULATAN ADA DI TANGAN RAKYAT.’ Hari ini mereka memberi bukti terang benderang untuk melawan bukan hanya Corona tapi kekuasaan yang mengabaikan mandatnya.

Terimakasih kawan-kawan Solidaritas: tetap berjuang, melawan, dan menolak lupa! (EP)

Komentar ditutup.

Scroll to Top