Judul Buku : Politik Progresif Masih Ada: dari Bolshevik hingga Bolivarian
Penulis : Wilson
Penerbit : Social Movement Institute
Tahun : 2021
Tebal : ix + 115
Ke mana gerakan sosial hari ini harus bercermin? Pertanyaan ini penting untuk menyadarkan aktor-aktor gerakan sosial di Indonesia, seiring dengan menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya represi negara. Jika dengan bercermin seseorang bisa melihat dirinya sendiri, yang masih kusam atau kurang rapi, jawaban dari pertanyaan itu adalah dengan mengamati dinamika politik progresif dari negara lain. Buku karya Wilson, Politik Progresif Masih Ada: Dari Bolshevik hingga Bolivarian, menyediakan cermin-cermin itu pada kita. Terbit tak lama setelah penulisnya pulih dari Covid-19, buku ini merupakan himpunan esai tersebar yang bab tertuanya ditulis lebih dari 20 tahun lalu.
Meski terpisah secara jarak waktu dan ruang penerbitan, tulisan-tulisan di buku ini menunjukkan kesamaan, yakni bahwa politik progresif masih menunjukkan keberhasilan-keberhasilannya. Selain mendukungnya untuk tetap melawan, kita bisa menjadikannya pembelajaran bagi gerakan sosial di Indonesia. Inilah yang hendak disampaikan Wilson: meski neoliberalisme makin menghimpit ruang gerak pribadi kita dan menyesakkan napas pergerakan, “sejarah selalu menyediakan ruang dan kesempatan bagi gerakan yang menolaknya dan mencari sistem alternatif yang mendukungnya.” Buku ini menjelaskan bahwa politik progresif punya banyak saluran, dari yang revolusioner hingga reformis.
Bagi kaum sosialis, tak ada keberhasilan paling membanggakan selain Revolusi Bolshevik. Bab I buku ini membahasnya secara historis, sambil menekankan dampaknya bagi agenda-agenda progresif setelahnya. Revolusi Bolshevik, yang terjadi pada 25 Oktober 1917, adalah penanda keberhasilan kubu progresif dari para penentang Monarki Tsar. Penggulingan Tsar pada mulanya ditindaklanjuti kelompok Menshevik yang lebih reformis. Mereka mulai terpengaruh ilusi Kapitalisme yang mejanjikan modernisasi Rusia –sesuatu yang mengecewakan Kaum Bolshevik. Rakyat kecil yang terorganisasi, di dalam nama bersama Bolshevik, lantas merebut kekuasaan sebagai cara untuk menentukan nasib mereka sendiri. Meski Revolusi Bolshevik tak berumur panjang karena tikungan Stalin, ia mampu membuktikan dirinya sendiri bahwa demokrasi sosial minus kapitalisme dapat terwujud.
Dengan megnutip Tariq Ali, Wilson menghubungkan Revolusi Bolshevik dengan dekolonisasi dan revolusi di tempat lain, seperti Vietnam, China, dan Kuba. Di sini, teori imperialisme Lenin tentang bangsa penjajah dan bangsa terjajah menemukan konteksnya, karena perjuangan kemerdekaan di kalangan bangsa terjajah memiliki kekhususan yang “…tidak dapat dijembatani dengan strategi dan teori perjuangan yang berlaku di negeri-negeri imperialis.” Yang terakhir itu tentu merujuk pada negara-negara Eropa, di mana kelompok progresif di dalamnya berhadapan dengan rezim yang di saat bersamaan sedang melangsungkan imperialisme di belahan bumi lain.
Bab-bab setelahnya, kecuali soal pernikahan sesama jenis di Belanda, adalah ulasan tentang bagaimana politik progresif bangsa terjajah terus bergulat dengan persoalan pascakolonial. Dengan mengambil contoh di Amerika Tengah (Mexico), Amerika Latin (Bolivia, Venezuela, dan Brasil), dan Asia (Korea Selatan dan Filipina), Wilson menunjukkan kesinambungan sekaligus perubahan dari Revolusi Bolshevik. Bagi dia, meniru Revolusi Bolshevik adalah hal sulit, “karena kondisi zaman berubah, manusia yang berubah, juga pengaruh hegemoni sistem kapitalisme selama ratusan tahun yang begitu kuat.”
Amerika Latin
Tapi ini bukanlah akhir dari semangat bercermin kita. Di Brasil, Gerakan Kaum Tak Bertanah Pedesaan (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra/MST) punya cara lain untuk tetap progresif. Wilson menyebutnya sebagai “…salah satu gerakan akar rumput yang paling berhasil di dunia.” Gerakan inilah yang turut memenangkan Partai Buruh Brasil di tahun 2003. Simpati rakyat pada mereka timbul dari tiga faktor, yakni krisis ekonomi pada akhir 1970-an, meluasnya teologi pembebasan, dan meningkatnya iklim perlawanan menantang kediktatoran militer di saat bersamaan. Sejak tahun 1985 hingga 1996, mereka berhasil melakukan reformasi agraria yang memungkinkan pengolahan lahan pertanian secara demokratis. Angkanya mencapai 21.021,879 Hektar.
Akhir abad 20 juga menunjukkan keberhasilan gerakan progresif di bagian lain Amerika Latin, yakni Venezuela. Jika MST terlibat pengorganisasian di tingkat petani sejak tahun 1970-an yang pada gilirannya memenangkan Partai Buruh, Hugo Chavez lebih dahulu menggerakan kalangan militer progresif bergabung dengan gerakan rakyat melawan Neoliberalisme di Venezuela. Ia sendiri berasal dari kelompok militer itu, sehingga dengan leluasa membentuk dewan-dewan rakyat lintas sektoral sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan rakyat. Mereka memegang ideologi Bolivarian, perlahan tapi pasti memperjuangkan politik progresif secara demokratis, hingga akhirnya memenangkan Chavez di tahun 1998.
Di Bolivia, kemenangan Sosialisme menemukan momentumnya pada Oktober 2020 –berita yang membangkitkan semangat Wilson untuk pulih lebih cepat dari Covid-19. Meski demikian, peristiwanya berakar pada masa yang panjang. Seteahun sebelum itu, kemenangan Evo Morales yang juga terpilih secara demokratis dibatalkan militer. Amerika Serikat berada di belakang pembatalan itu, yang memang berkepentingan sejak sekian dasawarsa untuk meredam kekuatan Sosialis di Amerika Latin. Gerakan sosialis Bolivia, yang tak takluk oleh pembatalan militer, tetap bersikukuh untuk menempuh jalan demokratis dan kembali memenangkan Luis Acre. Morales adalah satu sisi dari gerakan progresif Bolivia, bahkan bapak bangsa bagi negara tersebut, tetapi Acre menjadi episode baru bagi sosialisme di sana.
Asia
Lain di Amerika Latin, lain pula di Asia. Sejarah gerakan progresif di benua ini punya corak kultural yang khas, bukan hanya dibandingkan dengan Amerika Latin sebagai sesama bangsa terjajah, tetapi bahkan jika kita membandingkannya satu negara dengan negara lainnya di Asia. Di Indonesia, pengalaman gerakan progresif di awal kemerdekaan adalah satu kasus yang menarik, di mana sebagian besar dari mereka membentuk Partai Komunis Indonesia tetapi nama lain seperti Tan Malaka memilih jalannya sendiri. Sejak saat itu hingga sekarang, bentuk politik progresif di negeri ini kian berwarna. Tapi sebelum memasuki kasus Indonesia sambil merefleksikannya, Wilson menawarkan pembacaan terhadap apa yang terjadi di Korea Selatan dan Filipina.
Partai Aliansi Rakyat, Akbaryan, adalah contoh dari wajah khas gerakan progresif di Asia. Memilih berpisah dari Partai Komunis Filipina yang berideologi Maois dan memilih perjuangan bersenjata, Akbaryan mengambil pelajaran dari keampuhan gerakan rakyat di berbagai kota dalam menggulingkan diktator Filipina yang didukung Amerika Serikat, Marcos. Dalam pemilihan umum demokratis yang berlangsung setelah penggulingan itu, beragam blok di Partai Komunis Filipina memilh untuk berbeda pandangan dari induk mereka yang anti terhadap pemilu. Di sanalah Akbaryan terbetuk, sebagai saluran kaum Kiri dalam hal politik elektoral. Sejak pembentukan dan Kongres Pertamanya di tahun 1998, Akbaryan memercayai demokrasi sehingga memilih ideologi Demokrasi Partisipatoris dan Sosialisme Partisipatoris.
Di Korea Selatan, gerakan progresif tak muncul dari kelompok Komunis atau sempalan mereka, melainkan dari gerakan buruh. Hal ini karena tradisi progresif di sana telah diputus oleh pembentukan negara Korea Selatan itu sendiri, yang sejak awal mendapat dukungan Amerika Serikat dan membedakan diri dari Korea Utara. Meski demikian, peralihan dari masa transisi yang diktator ke arah demokrasi ternyata tak lantas melahirkan politik progresif, sebab kapitalisme telah membelotkan tujuan demokrasi dengan pemerasannya terhadap buruh. Itulah konteks dari pembentukan gerakan buruh demokratis, hingga di tahun 1990 Korean Trade Union Congress/KTUC terbentuk. Sebagai saluran politik, KTUC membentuk Democratic Labor Party dan kemudian (setelah berdinamika sekian lama) mUnited Progressive Party.
Cermin bagi Gerakan
Buku ini bagaikan etalase Wilson yang berisi pelbagai cermin berwarna-warni. Semuanya membantu kita untuk bercermin, menakar ‘kerapian’ dan ‘kebersihan’ diri, tetapi punya warnanya sendiri sehingga tak langsung memberi kita pemahaman yang jernih. Konteks sejarah Indonesia dan dinamika yang kita jalani hari ini juga tak melulu menunjukkan kesamaan dengan semua bahasan Wilson, tetapi setidaknya terdapat dua pembelajaran penting untuk kita sesuaikan dengan kondisi gerakan.
Pertama, kekuatan basis baik di tingkat perdesaan yang sektoral (seperti Chavez dengan Dewan Komunitas-nya) maupun perkotaan yang lebih cair dan rasional (seperti Akbaryan dan para pemilihnya) adalah dua kaki yang penting untuk dimiliki gerakan sosial. Jika sudah menentukan di mana ruang gerak yang tepat, gerakan sosial di Indonesia perlu memelihara salah satu atau kedua kaki ini dengan perlakukan yang juga tepat. Dengan ketimpangan pendidikan dan pembangunan di Indonesia, gaya berkomunikasi kalangan terpelajar yang terbiasa berdiskusi di perguruan tinggi tak bisa dipaksakan untuk dipahami masyarakat desa. Sebaliknya, gaya sektoral dan guyub di perdesaan tak bisa dibawa ke gerakan yang menjalankan aktivismenya di perkotaan. Masing-masing harus memiliki semacam kepekaan yang membuat mereka mampu menyesuaikan diri dengan siapa mereka berbicara. Meski demikian, jurang seperti ini bisa dijembatani jika kita mampu merangkul pemuda desa yang datang ke kota untuk berkuliah atau bekerja; dengan kata lain, menempatkan gerakan mahasiswa dan buruh sebagai bagian gerakan rakyat.
Kedua, laju demokratisasi nyaris tak terbendung dan tak menyisakan pilihan untuk kembali pada Komunisme dalam romanitisisme kalangan Kiri. Ini harus menyadarkan kita bahwa perjuangan demokratis, baik secara elektoral melalui partai politik maupun secara reformis melalui organisasi masyarakat sipil, adalah pilihan paling rasional. Yang terpenting dari kesadaran ini adalah terjaganya nilai dan tujuan dari Sosialisme, sehingga gerakan sosial tidak larut ke dalam mantra Neoliberal. Sekali terlarut di dalamnya, Neoliberalisme akan menjinakkan mereka dan membelokkan cita-citanya menjadi sekadar bersemboyan tata-kelola pemerintahan yang baik, anti-korupsi, atau perjuangan identitas minoritas agama, seksual, dan sejenisnya.
Ketika dimensi yang sangat permukaan itu menyibukkan para aktor gerakan sosial, mereka akan melupakan analisis kelas yang seharusnya mencungkil akar persoalan, yakni Kapitalisme dan Neoliberalisme itu sendiri. Itulah gejala awal melemahnya gerakan sosial dan kita tak ingin ia mati di tangannya sendiri.
Penulis: Ismail Al-‘Alam