Cerita Asik Bersama WILSON OBRIGADOS (1)

Coy, besok kita ngopi-ngopi ya, sambil ngerock. Aku besok pagi berangkat ke Jogja. Perkiraan sampai jam 15.44’ – begitu pesan whatapp yang masuk ke hape ku. Pesan itu sambil memperlihatkan jadwal keberangkatan kereta yang ada di tiketnya. Dari stasiun Gambir di Jakarta ke stasiun Tugu di Jogja.

Kawan-kawan memanggil namanya Wilson Obrigados. Ia adalah seorang aktivis yang teguh pada perjuangannya. Ia pernah jadi tahanan politik (tapol) dan disiksa habis-habisan oleh rezim diktator Soeharto karena terlibat dalam banyak aksi-aksi massa. Yang puncak dari seluruh aksi tersebut adalah penggulingan Soeharto yang telah berkuasa dengan tangan besi sebagai presiden Republik Indonesia selama 32 tahun. Bahkan sampai hari ini, pasca peristiwa masa lalu tersebut, Wilson masih lantang meneriakkan keadilan, kebenaran, perjuangan kemanusian dan HAM. Ia selalu geram dengan kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat. Ia selalu hadir dalam setiap perhelatan massa seperti peringatan hari buruh, advokasi keluarga orang hilang saat reformasi ’98, dan lain-lain. Selain ia juga aktif dan rutin menerbitkan buku-buku dan melakukan berbagai macam penelitian.

***

Dari siang hujan sudah mulai mengguyur Jogja. Kadang pelan kadang deras. Langit mendung sepertinya masih enggan beranjak setelah beberapa hari belakangan terasa panas. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Kami siap-siap berangkat ke stasiun Tugu. Barangkali kereta yang di tumpangi sudah mulai merapat. Soalnya dua jam yang lalu beliau sudah mengkabarkan kalau sudah lewat Purwokerto. Dan benar, saat di jalan, beliau mengabarkan lagi kalau kereta sudah sampai di Stasiun Tugu. ‘Saya sudah sampai coy. Nanti kalau sudah dekat kabarin ya’ – begitu pesannya lagi. Sembari masuk ke area stasiun aku menelponnya. Ia sudah langsung terlihat di pintu keluar dengan topi ala koboinya. Lalu setelah itu – seperti biasanya – kami langsung cabut mencari tempat untuk bersantai sambil minum-minum, makan dan lain-lain. Selama di jalan, beliau sudah banyak bercerita. Terutama terkait hal yang dialaminya belakangan. ‘Awalnya gua kira flu biasa, lalu seminggu kemudian penciuman mulai hilang dan lidah terasa pahit. Disarankan untuk periksa lagi. Dan ternyata langsung dinyatakan positif’ – begitu katanya saat bercerita terpapar Covid-19. Wilson memang sempat di rawat karena terkena Covid-19. Anak dan istrinya juga ikut tertular. Akan tetapi –  menurutnya- karena beliau punya penyakit bawaan, maka harus di rawat di rumah sakit. Sementara anak dan istrinya di isolasi mandiri di rumah saja. Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Hari ini semuanya sudah sehat dan normal kembali. ‘Setelah setahun di rumah saja, baru kali ini gua pergi keluar jauh coy. Baru kali ini keluar kota lagi. Ke Jogja, Gua akan diskusi tentang buku. Tapi pada intinya adalah untuk liat penampilan John Tobing aja. Hahahaha’ – katanya sambil tertawa lepas.

Sampai di kafe kami langsung memesan minuman dan aneka camilan. Beberapa kawan-kawan juga dikabarin untuk bergabung. Sembari menunggu pesanan dan kawan-kawan lainnya, kita bercerita banyak hal lagi. Belaiu bercerita tentang beberapa kawan-kawan seperjuangannya yang sekarang masih berada di lingkaran elit. Tak lupa termasuk yang sudah di depak dan tidak berada di lingkaran lagi. Salah satunya adalah penulis buku yang bukunya akan di diskusikan nanti. Beliau juga cerita tentang kesedihannya setelah ditinggal seorang kawan karib yang telah mendahului, Alm. AE Priyono – seorang aktivis, peneliti dan pemikir yang brilian. ‘Dulu saya sering numpang bonceng sama motornya AE setiap kali ada rapat dan sebagainya. Lalu saya akrab dengan beliau. Secara pemikiran pun beliau adalah orang yang cerdas. AE itu typikal orang yang pemikir. Dia intelektual. Dia bukan orang yang pandai mencari duit untuk kelangsungan lembaga. Makanya waktu diberi mandat memimpin suatu lembaga, ya lembaga tersebut tidak berkembang’ – kenang Wilson. Selain tentang AE, Wilson juga bercerita tentang kawan-kawan lainnya juga. Seperti Nezar Patria, Budiman, Faisol Reza, Fajroel, dan lain-lain. Juga beliau tak lupa bercerita tentang aktivitasnya pasca sembuh seperti bersepeda di sekitar tempatnya tinggal, datang pada pertemuan kawan-kawan SMID di Jakarta, serta menulis artikel-artikel. Sembari cerita, kawan-kawan Social Movement Institute (SMI) pun mulai datang.

Setelah saling mengenal, kami kembali melanjutkan cerita pada petang kali ini. Wilson – yang sebenarnya adalah keluarga SMI – dikabarin tentang aktivitas SMI hari ini. Karena memang selama setahun terakhir semenjak pandemi, beberapa hal aktivitas yang biasa dilakukan, menjadi sedikit tersendat. Seperti diskusi literasi yang rutin dilakukan setiap bulannya yang nyaris berhenti karena aturan dan pembatasan. Akan tetapi diskursus lainnya tetap jalan dengan model daring. Seperti diskusi seri pendidikan dan sebagainya. Juga aktivitas kawan-kawan terkait keterlibatan pada solidaritas saat pandemi juga turut diceritakan.

Wilson juga menceritakan bagaimana sebelum pandemi, beliau pernah membangun gerakan HAM di empat kota. Hal itu dilakukan saat ia masih berada di Amnesty International Indonesia, lembaga yang di pimpin Usman Hamid. Dan salah satu kota tersebut ialah Jogja. Dan itu dilakukan bersama dengan SMI. Sekolah-sekolah HAM, Training gerakan tentang HAM dan semacamnya dilakukan. Rencananya kedepan ialah terbentuk kantong-kantong perjuangan dan pergerakan tentang HAM bisa menjadi contoh untuk tempat lainnya. Tapi sayang, ada beberapa kendala, bahkan semenjak beliau sudah tidak di Amnesty lagi, dan  setelah beberapa rekan-rekan yang lain sudah berganti, rencana tersebut seperti mandeg. Padahal kesiapan untuk hal tersebut sudah berjalan matang. Volunter yang berminat dan mau bergerak sudah banyak. Sudah pula dibangun komunikasi yang intens baik langsung maupun daring, sudah pula disiapkan rencana agenda kegiatan dan kesekretariatan.

‘Padahal kalau itu berhasil, itu akan jadi contoh untuk tempat lain. Seperti Papua, Maluku, Kalimantan Timur dan lain-lain. Tapi sejak orang-orang di Amnesty berganti, rencana tersebut tidak dilanjutkan lagi. Sayang sekali, coy’ – papar Wilson.

***

Lepas magrib, kami kemudian beranjak dari kafe tersebut. Kami mengantar Wilson ke penginapan yang sudah di pesannya. Biar dia bisa beristirahat setelah perjalanan seharian dari Jakarta ke Jogja. Penginapan tersebut dekat dengan tempat acara diskusi. “Yang nyarikan penginapan itu istri gua, dan katanya itu dekat dengan acara diskusi besok’ – Wilson sambil menunjukkan nama penginapan tersebut. Sampai di penginapan, setelah reservasi, kami kemudian berpamitan dengan beliau. Tak lupa beliau berpesan agar besok kalau bisa datang ke diskusinya tersebut. ‘Coy, besok kita liat John Tobing ya, sambil nanti setelahnya kita cari makan-makan’ – ia mengingatkan sambil mengangkat tangannya. Dua jempol untuk Bung Wilson yang akrab dengan semua generasi. [M]

Komentar ditutup.

Scroll to Top