Cak Munir Terbang ke Mana? (Elegi 20 Tahun Pembunuhan Di Udara)

Penulis: Karaeng PettawaraniE

“Menuju tak terbatas dan melampauinya”, demikian kata Buzz Lightyear ketika menggunakan kedua sayapnya untuk terbang. Figur dari serial Toys Story ini membawa ingatanku ke penerbangan terakhir Cak Munir.

Penerbangan Cak Munir yang berniat menjemput takdirnya, menempuh studi lanjut di Belanda. Namun, rupanya kelokan takdir Cak Munir ke arah lain,  Cak Munir menuju tak terbatas dan melampauinya  Melampaui semua prediksi, sebab tangan-tangan kekuasaan mengemudikan takdirnya menuju kematian, di udara, tepat di atas langit Rumania, Cak Munir menuju tak terbatas dan melampauinya.

Drama peradilan telah dipertunjukkan di depan khalayak, namun tak memutus keadilan akan rekayasa pembunuhan berencana nan sistematis itu. Tak tanggung,  Munir dibunuh dengan fasilitas negara, dibunuh di dalam armada pesawat yang ia niatkan—kali ini saja membantu negara, demikian niat mulia yang ia utarakan ke istrinya di saban waktu, sesaat sebelum menuju hari kematiannya pada waktu itu, tepat 20 tahun yang lalu.

Menuju Tak Terbatas dan Melampauinya, Ketakutan, kata Munir—obatnya adalah melawan. Batas usia Munir sudah tamat, dipaksa tamat lebih tepatnya. Tapi cara dia melampaui ketakutannya—takkan hilang, tak terbatas.

Separuh dari hidupnya, dia abdikan untuk membela korban, mengabdi pada kepentingan korban kekerasan negara, kekerasan struktural yang dialami warga hingga tingkat desa jika dianggap berbahaya dan mengancam oleh negara.

Cak Munir merasakan takut, tapi obat mujarab untuk mengatasi rasa takutnya—dia sudah telan. Tanpa tedeng aling-aling dia meninju kekuasaan otoriter dengan perlawanan demi perlawanan. 

Bayangkan, ketika wawancara dengan Majalah UMMAT yang pernah menobatkan dia sebagai “Tokoh 1998”—sebagai tokoh yang mengungkap kasus penculikan sejumlah aktivis, dia menyebut:

Banyak orang yang mati di negeri ini kan bukan barang baru. Kasus Lampung, Tanjung Priok, dan Aceh hingga kini tak ada angka yang jelas. Saya kira, ini suatu proses di mana kalau membunuh 100-200 orang, hanya dianggap barang murah di negeri ini. (UMMAT, 9 November 1998)

Di hari kematiannya, memberi noda hitam bulan September, menambah deretan noda hitam lainnya. Menorehkan sejarah panjang nan kelam sebuah bangsa yang kini nyaris mencapai usia 80 tahun.

Nahasnya, kini, di usia 79 tahun Indonesia memperingati proklamasinya.

Sebulan lebih sedikit, rezim neo-despotik Prabowo akan dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Entah sebab karma apa yang harus diterima rakyat Indonesia.

Tak lama lagi, jenderal penculik nan berjiwa bengis itu akan memimpin 200 juta jiwa lebih rakyat di Indonesia.

Taat pada aturannya.

Patuh pada semua keputusannya.

Dan lebih sialnya: dia oposisi phobia.

Cak, entah salah apa negara ini kepadamu.

Sampai harus dikirimkan Tuhan pemimpin seperti jenderal penculik yang hari ini dicitrakan imut nan gemoy itu—simulacra yang membunuh imajinasi sebagian besar rakyat Indonesia.

Sepanjang hayat dikandung badan, engkau berusaha melawan negara dan meninju langsung militer-militer yang bercokol di ketiak kekuasaan.

Namun kini, dari sipil berwatak militer, berganti ke menantu Soeharto yang militer betulan—yang semoga tidak langgeng 32 tahun berkuasa!

Cak, doakan kami teguh di jalan perlawanan.

Doakan kami yang imannya lemah ini dan lebih sering takut di hadapan penguasa jahanam.

Doakan kami agar tabah memberi telinga, pundak dan semua yang kami miliki untuk terus menemani korban ketidakadilan dan korban kekerasan negara.

Doakan kami agar tak lupa, sebab lupa tak bisa membebaskan kami.  Terus jaga kami dari jauh, Cak.

Awal September, 2024.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Scroll to Top