Tan Malaka hadir menawarkan kemerdekaan yang dekat dengan hati pemuda….meskipun secara naluri ia mempunyai hubungan dengan pemuda, dan sifat pandanganya sesuai dengan pandangan mereka, tugas untuk membangun barisan nasional yang radikal dan terpadu…berada di luar kemampuanya (Ben Anderson)
***
Inilah buku yang merekam suasana heroik pasca proklamasi. Dibutuhkan keyakinan yang gila jika kita menikmati buku ini. Sungguh tak bisa disangka kalau kita dulu punya anak-anak muda yang nekat, berani dan percaya diri. Sebagai anak asuh dari suasana kolonial hingga fasis Jepang banyak anak muda meyakini proklamasi bukan sekedar sebuah tekad. Proklamasi itu petanda dari bangunan Republik yang patut dipertahankan, dikembangkan dan diangkat setinggi bangsa-bangsa lain. Mereka bukan anak muda hasil didikan sekolah dan tak pula muncul sekedar dari rasa kecewa.
Tumbuh anak-anak muda yang dibesarkan oleh nilai utopia, hidup sederhana dengan keyakinan religius yang menawan. Biasanya ini anak-anak muda yang besar di Pesantren, dimana nilai-nilai rohani ditanam dengan bimbingan seorang kyai. Tapi mithos anak muda dalam legenda Jawa memang berunsur pemberontak: mula-mula bandit kemudian mulai melakukan aneka kejahatan hingga semua itu diperbuatnya sebagai bukti kesakten. Simbol anak muda itu ada pada diri Ken Arok, pendiri dinasti Singosari. Setidaknya ini beda dengan anak muda hari ini yang mapan, normal dan suka uang.
Kamu pasti heran mengapa bisa anak muda senekat itu? Mungkin memang suasana zaman yang kala itu kacau balau. Dijajah oleh penguasa Jepang yang keji dan sewenang-wenang. Kemudian dikuasai oleh birokrasi yang pegawainya busuk, bodoh sekaligus kejam. Mereka bukan hanya memperkosa hak warga tapi juga menjerumuskan rakyat dalam kehidupan yang miskin, tersudut dan tak ada pilihan kecuali sengsara. Keputusan politik yang hina seperti Romusha yang disiapkan oleh para pejabat kolaborator menambah kebencian rakyat pada otoritas.
Sungguh kamu bisa terperangah melihat hidup anak-anak muda pada saat itu. Mereka benci menyaksikan keadaan rakyat yang tak punya harapan dan lebih marah lagi melihat pemimpin Republik yang tanggung bersikap. Bisa dipahami ini jenis anak muda sebenarnya: tak sabaran, ingin semuanya dibereskan cepat dan bergerak dengan keyakinan atas perubahan yang total. Maka bisa dipahami jika anak-anak muda ini merupakan gabungan unik: sebagian adalah para pemberontak yang berunsur petani serta berulang kali buat pemberontakan dan anak-anak kota yang terdidik, lebih hati-hati dengan pikiran intelektual yang segar.
Anak-anak kota yang terpelajar ini hidup di asrama. Mereka mengklaim sebagai gerakan bawah tanah. Ini bukan gerakan bawah tanah macam di Perancis atau Belanda ketika pendudukan Nazi. Bersenjata dan berontak, tapi anak-anak muda yang ‘ sinis pada janji Jepang, menganggap diri punya pikiran yang berbahaya, muak oleh politisi tua yang brengsek, geram pada kesengsaraan penduduk yang dipaksa-paksa oleh Jepang serta Pangreh Praja’. Dibesarkan oleh sikap anak muda macam inilah yang membuat mereka memutuskan berkonsolidasi serta meminta hak sebagai bangsa berdaulat.
Anak-anak muda ini tahu kondisi dunia sedang guncang: Jerman kalah lalu disusul oleh takluknya Jepang dan itu semua merupakan kesempatan yang sempurna. Anak-anak muda itu ingin proklamasi segera dinyatakan tanpa harus menunggu titah Jepang. Sebaliknya kaum tua, Soekarno dan Hatta enggan memenuhi harapan itu karena resiko berhadapan dengan serdadu Jepang. Debat terjadi diantara dua lapisan ini yang memang tak mau saling mengalah. Tapi anak muda selalu punya kesempatan untuk menang: nekat menculik Soekarno dan Hatta serta memaksa petinggi Jepang untuk lindungi mereka.
Terjadilah apa yang barusan diperingati: Proklamasi Kemerdekaan. Yang membaca memang Soekarno ditemani Hatta tapi anak mudalah yang menciptakan kesempatan itu. Mereka pula yang kemudian membuat berita kemerdekaan itu tersebar kemana-mana. Mereka pula yang berusaha untuk melucuti serdadu Jepang. Bagi mereka proklamasi itu berarti keputusan merdeka dari segalanya: kolonialisme Jepang maupun keinginan NICA untuk kembali. Itulah yang kemudian memprakarsai sejumlah pertempuran kolosal: anak-anak muda campur dengan bandit lalu gerombolan yang punya jimat mulai berlaga. 43 hari setelah proklamasi sekutu datang lalu disambut dengan pertempuran. Paling akbar ada di Surabaya, yang menyerupai sebuah revolusi karena ribuan nyawa hilang dan tiga minggu perang itu berjalan.
Buku ini bisa menakjubkan kalau cerita tentang anak muda saat itu. Tak mungkin pertempuran berlangsung tanpa jeda dan perundingan. Jakarta tak menghendaki proklamasi diikuti oleh revolusi. Berunding isyarat kaum tua untuk mengeliminir situasinya sehingga tak kacau. Juga didorong pembentukan partai politik sekaligus kekuatan bersenjata. Anak-anak muda ini perlu ditundukkan dalam organisasi yang sepenuhnya tunduk pada konstitusi. Itulah awal mula partai politik muncul yang berusaha menghimpun ide-ide politik yang bisa jadi kiblat negeri yang merdeka. Persis seperti diramal Tan Malaka konflik makin meluas karena perbedaan pandangan, kepentingan maupun perebutan pengaruh.
Disana anak-anak muda menggerakkan revolusi. Sjahrir yang dulu dianggap sebagai mentor anak muda mulai dikecam karena keputusanya untuk ambil jalan diplomasi. Soekarno sebagai pemimpin yang berusaha untuk menyatukan semua meski situasinya rumit dan berat. Begitu pula Sudirman panglima tinggi yang rendah hati dan berusaha untuk selalu bijak. Hanya Tan Malaka mungkin yang paling senior, meyakini kemampuan revolusioner anak muda tapi dianggap sebagai bahaya bagi Republik yang maunya mengambil jalan berunding.
Menatap kisah itu semua kita seperti mengalami situasi persis seperti hari ini. Anak-anak muda yang kehilangan harapan karena perubahan politik yang tak sesuai dengan ‘harapan’. Tidak adanya pemimpin yang mampu mewadahi militansi serta kerinduan mereka pada perubahan radikal. Tanpa adanya pemimpin anak-anak muda itu seperti gerombolan yang ditatap dengan sikap awas, diikuti oleh kebijakan yang makin ketat sembari meyakinkan pada mereka baiknya jalan diplomasi. Sebuah perjalanan Republik yang tragis: dibangun dengan nyali, dipertahankan dengan darah tapi diteruskan melalui kompromi demi kompromi.
Itulah yang tampaknya membentuk negeri ini hingga sekarang: tak berdaulat sepenuhnya dan tak mau merebut itu semua dengan berkurban apa saja. Republik tanggung yang bisa disudahi jika anak-anak mudanya melakukan revolusi anak muda yang sebenarnya.
Komentar ditutup.