BELAJAR DENGAN FARIDUDDIN ATTAR: BERGURU PADA PARA SUFI

 

 

– Pengalaman Membaca Tadzkiratul Auliya –

Allah tidak memandang rupamu, manusia-manusia akan dimuliakan sesuai dengan niat di dalam hati mereka (Rabi’ah)

Jadilah seperti lilin, menerangi dunia walaupun dirimu sendiri yang menjadi bahan bakarnya. Jadilah seperti jarum, selalu bekerja meski tak memiliki apa-apa (Rabiah)

***

Bagaimana orang beragama bisa jadi sabar, peyantun dan ramah? Mampukah agama itu mengilhami orang untuk peduli, peka dan empati pada yang lemah? Sesungguhnya agama itu ingin menciptakan kepribadian semacam apa?

Singgah saja pada cerita yang ditulis oleh Attar. Kita tidak dituntun pada amalan, tapi cerita yang inspiratif. Saya mempercayai cerita di dalamnya, bukan masuk akalnya: tapi begitulah Tuhan memperlakukan orang suci yang hidup hanya untuk mencintaiNya.

Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah dilukiskan hidupnya yang susah. Orang tuanya miskin dijual sebagai budak. Diburu sebagai orang miskin hingga terlunta. Saat diterkam rasa takut karena ada orang ingin menculiknya, Rabiah memanjat doa:

Ya Allah, aku ini orang asing, anak yatim piatu, seorang tahanan tak berdaya yang tertangkap, tanganku cedera. Namun aku tidak bersedih hati atas semua ini: yang kubutuhkan adalah keridaan-Mu, untuk mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak’

Doa itu spontan dijawab dalam kalimat pendek tapi mengharukan: ‘Janganlah engkau bersedih, esok engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat pun iri kepadamu’

Saat itulah Rabiah mencintai Allah dengan total. Keajaiban menyelimutinya. Pernah ada tamu datang dan Rabiah tak ada lentera. Jarinya ditiup lalu berubah jadi lentera. Tamunya kaget dan bertanya: ‘bagaimana kau melakukanya?

Jawabnya: ini seperti tangan Musa. Siapapun yang ikuti langkah Nabi akan peroleh secercah kenabian, serupa yang dikatakan Nabi: Barang siapa menolak harta yang tak diperoleh secara halal, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian’

Padat buku ini oleh kisah menawan semacam ini. Agama yang ujudnya adalah kepedulian, empatik serta pengurbanan. Ditawari kita oleh taburan kisah yang bisa buat terperangah dan kagum.

Malik al-Dinar saat ada di kapal. Ketika itu kapal di tengah samudera. Para pelaut menuntut agar Malik bayar. Tapi ia tak punya uang. Ketika mau dilemparkan ke air tiba-tiba semua ikan di laut menyembulkan kepala sambil bawa dua keping emas dinar di mulutnya. Semua pelaut spontan berlutut.

Malik lahir tak jadi mulia begitu saja. Anak muda kaya raya ini hidupnya bertabur pesta. Saat Muawiyah bangun masjid megah, Malik hendak jadi pengurusnya. Caranya munafik: pura-pura sholat di dalamnya. Ketika jenuh ia balik ikut pesta. Ketika itulah muncul suara mengingatkanya:

‘Malik, mengapa engkau belum juga bertobat? Suara itu menyulut rasa taubat hingga menjatuhkan diri Malik dalam hidup yang asketik serta penuh disiplin. Agama yang memandu orang untuk berubah.

Cerita Sufi selalu buat iri. Masa dimana Tuhan itu begitu dekat dan menyapa manusia dengan akrab. Balasan untuk perbuatan baik bisa seketika datangnya. Tempat dimana manusia jadi bijak.

Padahal situasi sosial saat itu sedang ruwet. Abad ke 8 saat dimana Islam maju dan makmur. Taburan kekuasaan dan harta menjulang sana sini. Gempita kehidupan sekuler meluap. Saat itulah kelompok Sufi terbit.

Komunitas yang hidupnya tak mau menghamba pada dunia. Uniknya semua tokoh sufi kebanyakan berlatar pedagang, pemabuk atau bahkan perampok. Di jalur kehidupan yang memberi janji kenikmatan mereka buang semua ambisi. Satu tindakan sederhana yang membelokkan hasrat mereka.

Al Fudhail-Bin Iyadh seorang perampok. Tapi perampok budiman: dilarang merampok orang miskin, jika ada harta wanita maka itu dilarang untuk dirampas dan tiap merampok ditinggal sebagian hasil jarahanya. Ia sendiri menyukai sholat dan puasa.

Taubat datang saat terdengar ayat: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah?

Tiap orang yang menempuh jalan sufi gampang tersentuh oleh Firman Allah. Yang muncul dalam waktu tertentu atau tidak disangka momentumnya. Hatinya tertawan lalu berubah radikal.

Yang istimewa Sufi selalu kritis pada penguasa. Tak ada penguasa mampu menundukkanya. Mereka malah enggan untuk bertandang ke istana. Kisah paling populer adalah Harun al Rasyid yang bertamu ke rumah Fudhail.

Ketika Harun masuk Fudhail padamkan lampu supaya tak melihat wajahnya. Saat berjabat tangan Fudhail berkata: ‘betapa mulus dan lembut telapaknya, semoga saja bisa lolos dari api neraka’ Harun diam dan menangis.

Fudhail beri nasehat padanya: ‘Nabi pernah pesan, sesaat mematuhi Allah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh ummat manusia, Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari Kebangkitan nanti’

Waktu usai diberi nasehat Fudhail diberi bungkusan dinar. Fudhail keras berkata: ‘ nasehat-nasehat yang kusampaikan kepadamu ternyata sia-sia belaka. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan keliru dan mengulangi kezaliman’

Siapa sangka ada ulama yang kritis, militan dan keras pada penguasa. Sebaliknya di kisah ini banyak kelembutan yang menyapa orang miskin, mendahulukan para pengemis dan mengutamakan anak-anak. Agama itu bukan berebut tulang popularitas apalagi menumpuk jabatan.

Terdapat pula para pangeran yang secara radikal tinggalkan hidup mapan. Serupa Engels yang kritis pada pabrik dimana ayahnya berkuasa. Namanya indah: Ibrahim bin Adham. Taubat setelah kedatangan tamu yang meluncurkan pertanyaan tajam:

Siapa pemilik istana ini sebelum dirimu? Tanya tamu itu: ‘ayahku’ jawab Ibrahim, ‘dan sebelumnya?’ Kakekku’; dan sebelumnya? ‘ayah dari kakekku’ ke mana mereka sekarang ini? Tanya tamu: ‘Mereka sudah tiada. Mereka sudah mangkat” jawab Ibrahim

‘ kalau begitu bukankah ini persinggahan yang dimasuki seseorang dan ditinggalkan yang lainnya? Jiwa Ibrahim melompat peroleh jawaban itu. Diputuskan olehnya untuk keluar dari istana kemudian hidup mengembara dari gua ke gua. Ia memilih jadi penjual kayu.

Disana agama bukan ajarkan ummat untuk merasa unggul. Ditanggalkanya semua keinginan dunia. Dihapuskanya hasrat untuk hak milik. Kala itu keyakinan menyulut kaum sufi untuk berbuat baik dengan radikal.

Timbunan mukjizat meyertai hidupnya. Seolah manusia suci itu mampu menghidupkan apa yang tak masuk akal dalam diri manusia normal. Mereka memang tak serupa Nabi, tapi punya keunggulan lebih dari manusia biasa.

Tak mengejar ambisi dan tidak rakus pada apa saja. Hidupnya untuk mencintai Tuhan. Kemudian Tuhan membalasnya. Balasan yang dalam kisah ini begitu menakjubkan, sangat mengejutkan dan membuat kita bisa tertegun.

Begitulah agama itu mempengaruhi jiwa manusia. Disentuh oleh agama manusia punya perangai yang sesuai fitrahnya: gampang bantu orang lemah, berani kutuk kekuasaan yang bisa buat lalai dan semua keluhanya hanya disampaikan pada Allah semata.

Serangkaian kisah ini bisa buat kita tersenyum, malu dan tertantang. Attar meluncurkan pertanyaan pada kita hari ini, sejauh mana keyakinan pada Allah itu mengubah diri kita dan mampu mengorbankan kepentingan diri kita?

Buku ini jadi bekal indah di tengah suasana keagamaan yang berisi kemarahan, penuh retorika dan saling merasa benar sendiri. Fakhruddin Attar meyentuh kita dengan lembut, empatik dan penuh perhatian. Sayang jika kita melewatkanya apalagi tak percaya pada kisah yang dituturkanya.

 

7 komentar untuk “BELAJAR DENGAN FARIDUDDIN ATTAR: BERGURU PADA PARA SUFI”

  1. Pingback: click for source

  2. Pingback: ทรัสเบท

  3. Pingback: เติม เงิน ps5

  4. Pingback: ไส้เทียมคอลลาเจน

  5. Pingback: fox888

  6. Pingback: instant crypto exchange

  7. Pingback: useless Tor sites

Komentar ditutup.

Scroll to Top