Oleh: Adityo Fajar
(Penulis yang menetap di kaki lereng Semeru
Wawan (bukan nama sebenarnya) masih 32 tahun. Bapak dua anak. Sehari-hari pria berkacamata ini bekerja di pabrik otomatif. Bertugas di bagian maintenance utility. Kecuali lembur tiba, dia rutin berdinas pukul setengah delapan pagi, kelar setengah lima sore, seturut lima hari kerja yang dilakoni.
Wawan aktif di serikat pekerja. Berdebat di sidang PHI, ikut demo depan sendiri, terkadang melawat ke luar negeri. Demikian template-nya sebagai pengurus serikat. Suatu hari dia pergi ke Korea, untuk selanjutnya terkagum-kagum dengan KCTU. Dari sana Wawan belajar satu hal, bahwa dirinya belum belajar banyak hal.
Dua tahun lalu, sesuatu yang baru datang di kehidupan Wawan. Serikat pekerja-nya turut mendirikan partai. Dus, lelaki yang parasnya 85% identik Hasto Kristiyanto ini masuk ke sirkuit politik. Karena patuh perintah pimpinan, Wawan pun maju sebagai caleg DPR RI.
“Gak bayangin, Mas, jadi Caleg. Nambah pengalaman lah”, ujarnya enteng, tersenyum polos.
Sejak itu Wawan menata jadwal politiknya. Ini bukan perkara gampang. Dia ditaruh di Dapil luar provinsi tempatnya bekerja. Di kampung halaman yang telah lama ditinggal, peruntungan elektoralnya dipertaruhkan. Pertanyaan tak gampang berikutnya, dari mana ongkos politiknya?
Serikat Pekerja-nya bersolidaritas menyokong pendanaan. Lantaran bukan ‘Caleg Prioritas’, -kandidat yang dianggap tak berkans besar-, bantuan yang diterima pun lebih mirip ‘uang jajan’. Tak seberapa. Wawan dipaksa memutar otak. Putaran otaknya berdesing keras, hingga tiba ke kesimpulan nekat.
Mobil yang dibelinya dari menabung sedikit demi sedikit, tahun demi tahun, berencana dijual. ‘Kepalang basah, mandi sekalian’, selorohnya. Keluarga pun diajak rapat. Mereka akur bermufakat. Tetapi eksekusinya tersendat, ngadat. Dihitung-hitung uang hasil jual mobil tak cukup. Rencana dibatalkan.
“Mungkin kalau mobilku Pajero, sudah kejadian itu, Mas. Untung mobilku murah. Percuma dijual, gak cukup juga. Gusti Allah masih sayang sama keluarga ku.”
Wawan akhirnya membelanjakan tak lebih dari 15 juta rupiah. Dia memutar haluan. Semula berniat habis-habisan berkelahi di medan yang tak sepenuhnya dipahami, berubah menjadi ikhtiar untuk sosialisasi. Terpenting orang mendengar apa yang ingin kami perjuangkan, katanya.
Lain cerita Wawan, beda jalan yang ditapaki Fahrur. Aktivis buruh kawakan bertubuh subur ini punya modal sosial menjanjikan. Dia lama mengurusi ragam masalah rakyat, bukan cuma buruh. Figur lokal pemberani, pandai membanyol dan gandrung bergaul. Plus, cukup dikenal.
Modal sosial itu kelihatan menawarkan kemungkinan bagi pencalonan Fahrur di DPRD Kabupaten. Rasa-rasanya dia berpeluang. Walau tak pasti, Fahrur barangkali mampu menimbun cukup suara. Yang sudah pasti tak mencukupi (lagi-lagi), modal pembiayaannya. Cuan. Kepeng.
Tetapi pria ini sosok nekat lainnya. ‘Kepalang basah, kuras sekalian sumurnya’. Itu jenis maklumat yang bernyali. Sayangnya kehidupan telah mengajarkan ribuan kali, bahwa nyali saja tak akan pernah memadai.
“Gua habis empat puluh lima (juta). Ludes! Amblas!”
Setara Wawan, perjalanan Fahrur berakhir di daftar panjang caleg tak menang. Setidaknya di pemilu kali ini, Fahrur gagal lagi pergi ke parlemen. Dia justru harus pergi melanjutkan hidup. Berfikir mengisi ulang tabungan satu-satunya yang lenyap tak bersisa.
Di wilayah tempat Wawan dan Fahrur bermukim. Sepasang caleg yang ditopang dana serikat pekerja berhasil menembus kursi DPRD Kabupaten. Ia menjadi kabar yang menyejukkan telinga, walau target satu fraksi masih jauh panggang daripada api. Mungkin juga karena target yang dicanangkan terlalu berapi-api.
Berjarak 104 kilometer dari situ, di kota lain, caleg berlatar belakang kelas pekerja, membakar uang (relatif) kelewat besar. Empat ratus lima puluh juta rupiah. Jumlah ini sepele buat caleg borjuis, kalangan atas artis, atau keluarga pejabat nepotis. Bagi kebanyakan buruh, itu nilai yang fantastis.
Kusnan, (juga bukan nama asli), menjual tanah. Dia membayar lebih dari 109 kali lipat nilai UMK daerahnya demi satu kursi DPRD Kabupaten yang dibidik. Meladeni pertarungan uang melawan uang. Kerlingan politik menyeretnya terlalu jauh. Jauh sekali. Hingga tanah keluarga hilang tak lagi kembali.
Agak mencengangkan, mereka yang sehari-hari dianggap tak beruang, tiba-tiba membayar kebutuhan politik yang mahal. Seorang pimpinan serikat tingkat pabrik bersaksi, koleganya sudah menghabiskan dua ratus lima puluh juta rupiah, dua bulan sebelum hari pemilihan. Demi kursi legislatif ibukota yang diidam-idamkan.
Sebagian besar ongkos itu dihimpun melalui hutang. Sesuatu yang harus dilunasi, tak peduli walau akhirnya kandidat kalah di Pemilu. Dan nyatanya memang kalah! Siapapun yang berfikir tenang, bisa membedakan pertaruhan yang diperhitungkan dan perjudian gamblang. Kita tahu kasus ini berada di kategori mana.
Satu persatu orang dimutilasi mimpinya di Pemilu kali ini, dan kali dulu. Mereka yang melambungkan harapan, dihujamkan secara kejam oleh kenyataan. Berangan-angan menjadi anggota parlemen, untuk kemudian peruntungannya ditumpas di kotak suara. Tanpa ampun. Dibuat merintih.
Tentu saja Pemilu juga memunculkan nama-nama pemenang. Seorang mantan warga Korea sukses meraih tiket ke Senayan. Namanya Chong Su Kim. Konon, sahabatnya dari Seoul mengirimi ucapan selamat. Ucapan berbahasa Korea yang artinya, “Selamat datang di kuburan bagi orang-orang jujur”.
Sementara Komeng menjadi protagonis paling menggemparkan, sekaligus absurd, tentang kemenangan pemilu. Melalui senda gurau, sang pelawak legendaris menjaring suara raksasa. Mengungguli suara se-nasional partai kerdil. Dua juta lebih pencoblos memilihnya. Bisa jadi di bilik suara mereka mencoblos sambil terbahak.
Tidak tahu bagaimana perasaan petinggi-petinggi partai kerdil menyaksikan fenomena ini. Kerja keras mereka dilampaui dengan remeh melalui upaya yang terkesan main-main. Selembar foto konyol di kertas suara, lebih manjur dari strategi sok cadas kader-kader semenjana. Ini tragedi, namun lebih terasa komedi.
“Katanya politik itu mahal, ternyata ya enggak!”, ujar Komeng di salah satu kanal YouTube. Kalimatnya ringan, bernuansa ejekan. Kalimat yang tak kuasa dibunyikan Fahrur. Mungkin juga Wawan. Lebih-lebih Kusnan. Pria yang membayar terlalu mahal. Untuk berada di tempat yang dicerca sebagai “kuburan bagi orang-orang jujur”.
Ilustrasi: A nutshell