Sekarang ini sesudah Soeharto turun, saya tidak yakin apakah social forces, kekuatan masyarakat itu cukup besar untuk menjinakkan Negara (Takashi Shiraishi)

***

Belakangan ini saya sering diundang diskusi membincangkan tentang gerakan sosial. Anggapan yang biasanya muncul selalu sama: mulai kehilangan ideologi, kurang imaginatif dan terbentur pada kemampuan mobilisasi. Seolah gerakan sosial menghadapi situasi terburuk dimana kekuatanya mudah dikooptasi dan agenda gerakan tak lagi mampu menjangkau dukungan massa seluas-luasnya. Paling tidak ketika berhadapan dengan Pemilu saja gerakan sosial terbelah dalam pilihan yang selalu sama: berpartisipasi atau boikot.

Padahal jika dirunut dari sejarah kekuatan gerakan sosial itu selalu ada pada tiga keyakinan utama: ideologi yang bisa jadi suluh bagi para pengikutnya, para aktivis yang secara militan bekerja membangun kesadaran massa dan momentum yang membuat kekuatanya jadi berlipat ganda. Sebut saja pada upaya gerakan sosial mendongkel kekuasaan diktator Orde Baru yang berhasil menjatuhkan Soeharto. Kisah yang selalu jadi bahan cerita utama menjelang bulan Mei.

Kini secara kekuatan gerakan sosial berserak di hampir semua arena: melawan penggusuran hingga mempertahankan kebebasan akademik. Tampaknya yang dihadapi juga tak jauh berbeda: kekuatan modal yang nyaris menguasai semua arena keputusan ekonomi dan politik serta dimanfaatkanya struktur kekuasaan untuk mengabadikan sistem ekonomi politik yang pro pasar. Wajar kalau kemudian gerakan sosial yang paling banyak bergerak adalah advokasi atas sejumlah kasus ketidak-adilan.

Kasus-kasus advokasi terus bergulir dari semua wilayah. Pasti LBH banyak sekali menangani konflik agraria yang menghadapkan antara warga dengan kekuatan modal. Banyak kasus yang berakhir di pengadilan dengan keputusan yang membuat aktivis kecewa tapi juga ada kemenangan walaupun tidak memenuhi keadilan yang diharapkan. Hal yang lebih mengecewakan pada kasus pelanggaran HAM masa lalu yang selama ini didengungkan melalui aksi kamisan. Tampaknya pada soal semacam ini kekuasaan tak mampu melakukan tindakan apapun.

Koreksi mulai dilakukan disana sini. Setidaknya mulai ada yang curiga dengan metode dan taktik yang dikembangkan selama ini. Dianggap terlalu monoton, kurang memahami dinamika perubahan masyarakat dan selalu menganggap kekuasaan itu musuh utamanya. Modifikasi dilakukan dengan memberikan kesempatan sejumlah kawan untuk berada di lingkaran kekuasaan. Tak banyak hasil dari ditanamkanya banyak aktivis dalam kekuasaan bahkan malah jadi ribut diantara sesama.

Lebih jauh lagi ada yang mulai mengusut ideologi gerakan. Anggapan yang umum keyakinan kritis gerakan teah digantikan oleh keyakinan fungsional. Sehingga gerakan terjerembab dalam aktivitas palsu yang membuat tindakanya terpasung oleh agenda yang sengaja diciptakan bukan yang dibutuhkan oleh massa. Kritik itu secara keras sasaranya adalah NGO yang pada masa lalu bersimbah uang dari banyak lembaga donor. Proyek demokrasi yang dielu-elukan ternyata hanya mengabadikan spiral borjuistik di lingkungan aktivisnya sendiri.

Bahkan kini mulai ada kritik yang berusaha membandingkan gerakan dengan kekuatan massa yang dipompa oleh kesadaran keagamaan. Sukses massa 212 dianggap sebagai contoh kekalahan gerakan sosial dalam membangun kesadaran massa. Membayangkan ribuan massa yang mampu dihimpun dari mana-mana dengan sandaran kebencian pada figur tertentu dianggap sebagai sebuah keberhasilan. Seakan kekuatan gerakan sosial tumpuanya hanya pada kemampuan memobilsasi ketimbang mengembangkan kesadaran kritis dan militan. Kita disandera oleh pengalaman masa lalu dan terjebak dalam harapan palsu masa depan.

Mungkin ada baiknya kita mengingat tumpuan kekuatan gerakan sosial dari masa lampau. Saat yang oleh Takashi Shiraisi dikenal dengan zaman pergerakan. Pramoedya mengabadikan itu dalam novelnya Bumi Manusia. Itulah masa terpenting pergerakan karena munculnya banyak aktivis yang berlatar belakang dari berbagai sektor serta berusaha untuk mengumpulkan energi perlawanan lewat jalan apa saja. Tak hanya demonstrasi tapi juga pendidikan rakyat hingga koran perlawanan.

Apa yang dapat dipelajari di masa itu? Ide salah satunya. Sebuah ide yang menggerakkan banyak orang untuk terlibat dalam pergerakan. Di zaman pergerakan ide itulah yang jadi roh utama untuk membuat orang mau melakukan protes, mau melawan dengan cara apa saja dan tak gentar walau dihukum. Ide itulah yang kini makin langka, terutama ide yang membuat orang mau bergerak bersama, berkorban bersama dan berbuat untuk tujuan yang sama.

Tapi ide tak dicangkokkan begitu saja. Ide itu tumbuh diantaranya melalui koran dan propagandis yang turun kemana-mana. Koran pada masa pergerakan terbit untuk membangun kesadaran kritis massa sehingga mereka mampu memahami dan memaknai tiap peristiwa dalam situasi sejarah tertentu. Dalam istilah yang lebih sederhana koran mampu ‘menciptakan bingkai-bingkai yang memotivasi, menginspirasi dan menuntut loyalitas’

Kini media sosial yang sering dipakai sebagai ajakan solidaritas hingga pengumpulan petisi. Dirasa efektif dan beberapa kali cukup menggetarkan hasilnya. Tapi kita semua tahu efek sementara dari media sosial, mampu membawa opini dalam gema yang dahsyat, tapi tak menjamin kontiunitas yang terus-menerus. Fungsinya hanya sebagai penggalang opini, mensimplfikasi serta meneguhkan posisi. Tanpa pengorganisasian yang intens media sosial tak bisa mengambil peran progresif.

Kebutuhan propagandis didasari oleh fakta yang kompleks diatas, tumbuh meluasnya media sosial, menyatunya kekuatan modal untuk mengkooptasi lahan-lahan produktif hingga regulasi yang mencekik kebebasan menyatakan pendapat. Diatas tumpukan masalah itu keperluan untuk melahirkan organiser yang tak hanya punya kemampuan advokasi, tapi juga mampu menyebar luaskan masalah dalam kerangka awam.

Mandat itulah yang urgen hari ini: melibatkan seluas-luasnya publik untuk terlibat dalam perubahan sosial. Warisan Orde Baru dengan massa mengambangnya telah memangkas kesadaran kritis begitu lama. Hingga kedatangan demokrasi liberal menciptakan relasi pragmatis antara massa dengan partai politik. Saatnya mengubah itu dengan melahirkan para organiser sekaligus mendorong pengetahuan kritis atas persoalan kemanusiaan yang kini terjadi dimana-mana.

Kita memang perlu evaluasi tapi yang lebih perlu lagi bertindak dengan kekuatan yang tidak lagi seadanya dan apa adanya.

Terimakasih.

 

***

(Disampaikan pada kegiatan Kalabahu LBH Jakarta 1 April 2019)

Komentar ditutup.

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.