Aku Bersaksi, Kanjuruhan

Penulis: Zain N. Haiqal

Aku bersaksi bahwa angka-angka itu tak bernyawa dan tak boleh terlihat sebagai sekadar hitungan tanpa arti.  Aku bersaksi bahwa 135 nyawa itu bukan sekadar deretan statistik yang hanya dapat anda baca, lihat, atau hafal pakai kepala yang dingin dan tak bernurani.  Aku bersaksi bahwa bukankah angka tak punya jiwa dan juga angka tak beraga. Aku bersaksi bahwa dibalik setiap angka itu sungguh ada kehidupan yang tak bersalah, aku bersaksi bahwa ada darah yang mengalir. Aku bersaksi bahwa ada nafas yang berhenti mendadak, ada mata yang terpejam, ada yang terbelalak dengan air mata. Aku bersaksi bahwa ada yang menyaksikan mereka tak pernah kembali lagi.

Aku bersaksi bahwa dimanakah kita saat 135 jiwa-jiwa itu melayang? Aku bersaksi bahwa apakah kita sedang saling berdiam-diaman, terbungkam oleh ketakutan? Aku bersaksi bahwa apakah kita tengah terlena, disilaukan oleh janji-janji kosong dari dunia yang sedang kehilangan kesadaran moralnya? Aku bersaksi bahwa dimanakah suara kita saat tragedi itu terjadi di tanah lapang yang seharusnya hanya dipenuhi oleh tawa, peluh, dan semangat persaudaraan?

Aku bersaksi bahwa sepak bola bukankah sebuah permainan yang seharusnya menjadi lambang kesatuan, kebahagiaan dan berbagi semangat kolektif. Aku bersaksi bahwa  sepak bola kini telah ternoda oleh darah. Aku bersaksi bahwa apa yang tidak membunuhmu  tidak akan membuatmu lebih kuat. Tapi bagaimana aku bersaksi jika yang membunuh adalah kebenaran yang selama ini kau abaikan atau realitas yang kau pilih untuk menutup matamu, Aku bersaksi bahwa ini merupakan tragedi yang kau biarkan berlarut-larut dalam hiruk-pikuk terputusnya antara moral dan politik yang kau bicarakan?

Aku bersaksi bahwa 135 jiwa itu bukan sekadar angka! Aku bersaksi karena mereka adalah para syahid. Aku bersaksi bahwa mereka adalah korban dari kekejaman yang tak termaafkan dari keangkuhan aparat kepolisian yang tak mengenal batas antara logika dan akal sehat. Aku bersaksi bukankah manusia kini tengah melampaui batas-batas moralitas konvensionalnya. Aku bersaksi hanya untuk menemukan kekuatan dari dalam diriku sendiri, namun disini, di Kanjuruhan, aku bersaksi bahwa kita tak melihat apapun selain yang kita lihat hanyalah kekejaman, dehumanisasi, dan kematian yang sia-sia.

Aku bersaksi bahwa ingatkah bahwa setiap tragedi terdapat pertarungan antara yang kuat dan yang lemah. Aku bersaksi disinilah muncul pertanyaan dalam benakku; siapa yang sebenarnya kuat? apakah kekuatan itu hanya ada pada mereka yang mengangkat dan hendak memukulkannya, mengokangkan peluru dan menembakan senjatanya, atas dasar kehendak mengendalikan aturan dan hendak melanggarnya, yang memutuskan namun mendustakannya, atau aku bersaksi bahwa pada mereka yang dengan rela mengorbankan dirinya demi prinsip, demi kebenaran? Aku bersaksi bahwa apakah kekuasaan tanpa belas kasihan itu kekuasaan yang benar-benar kita inginkan?

Aku bersaksi bahwa sepak bola tidak dimainkan untuk merenggut nyawa. Aku bersaksi bahwa apakah ini tujuan dari olahraga yang seharusnya membawa kegembiraan bagi kita? Aku bersaksi bahwa apa yang telah terjadi dengan peradaban kita sehingga permainan menjadi panggung kematian? Aku bersaksi bahwa kalian telah membunuh kehendak Tuhan. Tapi disini, aku bersaksi bahwa sepertinya kalian tidak hanya telah membunuh kehendak Tuhan tetapi juga telah membunuh moralitas yang kalian eluh-eluhkan, dan maka dengan itu, aku bersaksi bahwa kalian tengah membunuh dan mengkhianati kemanusiaan. Aku bersaksi bahwa aparat kepolisian telah menghianati semboyan pelopor masyarakat itu sendiri dengan membunuh masyarakatnya. Aku bersaksi bahwa ini terjadi berkali-kali. 

Aku bersaksi bahwa Tragedi Kanjuruhan merupakan genosida kemanusiaan. Aku bersaksi bahwa ini genosida yang terkeji, Aku bersaksi bahwa tragedi ini menjadi paling brutal yang pernah dilakukan dalam satu dekade ini,  Aku bersaksi bahwa dirumpun adu sportifitas dan ketangkasan bermain, rivalitas dihadapkan gas air mata hingga nyawa tak ada harganya.

Aku bersaksi bahwa disinilah kita harus terus bertanya: apa arti semua ini? dalam setiap wajah yang memucat, aku bersaksi dalam setiap jantung yang berhenti berdetak, ada pertanyaan yang tak terjawab. Aku bersaksi bahwa siapa yang harus bertanggung jawab atas ini? Aku bersaksi bahwa siapa yang harus menanggung beban dosa kolektif ini? Aku bersaksi bahwa  manusia yang bangkit di atas penderitaan dan kehancuran untuk menciptakan sesuatu yang baru, untuk melampaui dirinya sendiri. Tapi disini, tragedi ini, aku bersaksi bahwa tragedi ini hanya meninggalkan kehancuran. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang dapat bangkit dari abu, hanya kesedihan yang menumpuk, hanya kemarahan yang tak tersalurkan. Dan kekerasan yang kemudian berulang. 

Aku bersaksi bahwa nilai kemanusiaan seakan dihapuskan di Kanjuruhan. Aku bersaksi bahwa apakah kita akan membiarkan ini terjadi tanpa tindakan? Aku bersaksi percaya bahwa penderitaan adalah syarat untuk kebesaran. Tapi aku bersaksi apakah kita akan membiarkan penderitaan ini berlalu tanpa makna, tanpa perubahan? Ataukah kita akan menjadikannya katalis untuk sesuatu yang lebih besar, untuk perbaikan yang tak terelakkan?

Aku bersaksi 1 Oktober kini sungguh bukan hanya bilangan tanggal di kalender, bukan hanya penanda waktu yang tak bermakna. Aku bersaksi 1 Oktober telah menjadi monumen kesedihan, simbol dari kegagalan kita sebagai masyarakat, sebagai manusia. Aku bersaksi bahwa yang mati disini hanyalah harapan. Aku bersaksi bahwa harapan kita bisa lebih baik, bahwa kita bisa belajar dari tragedi kemanusiaan sebelumnya. Aku bersaksi bahwa kita bersama bisa mengubah arah nasib manusia negeri ini dengan benar-benar bertaruh pada penegakan keadilan. 

Hari ini, aku bersaksi bahwa 1 Oktober di hari duka sepak bola ini, hari duka bagi kemanusiaan. Aku bersaksi bahwa ini adalah hari dimana kita dihadapkan pada refleksi diri yang paling dalam, dimana kita harus bertanya: aku bersaksi bahwa apakah kita masih manusia? aku bersaksi bahwa apakah kita masih memiliki kapasitas untuk peduli, untuk merasa, untuk bertindak demi sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri?

Aku bersaksi bahwa tragedi ini tak boleh dibiarkan hilang begitu saja dalam garis waktu. Karena aku bersaksi kita harus percaya pada kekuatan individu, pada kemampuan manusia untuk melampaui keterbatasannya. Kita perlu melampaui lebih dari sekadar batasan individu. Kita perlu melampaui batasan kolektif kita, kita perlu melampaui keserakahan, kekejaman, dan ketidakpedulian yang telah menciptakan tragedi ini.

Aku bersaksi bahwa Kanjuruhan adalah cermin dari kegagalan kita. Dan dalam cermin itu, aku bersaksi bahwa kita harus menatap diri kita sendiri, dengan segala kekurangan, keraguan, dan dosa kita sebelumnya, untuk memutuskan: aku bersaksi bahwa apakah kita akan tetap seperti ini, ataukah kita akan berubah?

Aku bersaksi bahwa 135 nyawa adalah saksi bisu. Aku bersaksi bahwa mereka para korban  adalah bukti bahwa ada sesuatu yang salah di dunia ini. Dan kita yang masih hidup, yang masih memiliki suara, memiliki kewajiban untuk tidak membiarkan mereka mati sia-sia. Kita harus menari dan bangkit diatas penderitaan ini, kita harus lebih dari sekadar menari dan bangkit. Kita harus bertindak.  Kita harus bergerak. Kita harus mengubah tragedi ini menjadi momentum, juga menjadi kekuatan yang membawa kita menuju perbaikan peradaban manusia. Karena sepak bola pada akhirnya hanyalah cerminan dari masyarakat. Jika didalamnya ada kekerasan, jika didalamnya ada kematian, berarti masyarakat kita pun demikian. Tentang manusia yang menciptakan makna bagi dirinya sendiri, tentang manusia yang menolak untuk tunduk pada aturan yang mengekang. bisakah kita menciptakan makna dari kematian ini? bisakah kita meraih makna dari kehancuran ini, ataukah kita akan membiarkannya terbenam dalam ketiadaan?

Aku bersaksi bahwa 1 Oktober akan selalu menjadi hari duka. Aku juga bersaksi bahwa dari duka ini, kita harus menemukan kembali makna dari kekuatan. Aku bersaksi bahwa kekuasaan sejati bukanlah dominasi dari kekerasan. Kekuasaan sejati adalah kemampuan untuk mengubah penderitaan menjadi kebijaksanaan, untuk mengubah kematian menjadi kehidupan, untuk mengubah tragedi dan kekalahan menjadi kemenangan di hari berikutnya. Meskipun tidak ada masa depan didalamnya. Sungguh aku bersaksi bahwa keadilan harus diberikan untuk para korban tragedi Kanjuruhan.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Scroll to Top