Kumpulan Puisi Abdurrahman: Refleksi dari Realita Sosial hingga Pencarian Spiritual

Puisi pertama, “Sajak Anak Zaman”, menggambarkan keadaan anak-anak negeri yang terjebak dalam cengkeraman kekuatan industri dan kapitalisme yang tanpa ampun. Tubuh mereka dijadikan komoditas, sedangkan hak-hak dan impian mereka terkunci oleh para oligarki. Suara mesin yang memekakkan telinga menjadi simbol kekuatan dehumanisasi, dan anak-anak negeri ini hanya bisa bertanya, “Kemanakah nasib kami, jika cita-cita kami dikebiri?”

Berlanjut dengan “Ombak Laut dan Zikir Perlawanan”, suasana batin terasa lebih spiritual namun tidak terlepas dari perlawanan. Jiwa penulis berlayar di tengah badai dan angin, mendengar laut yang berzikir. Ini menjadi simbol kontemplasi di tengah guncangan, sambil merenungkan nasib negeri yang tertimbun utang dan penderitaan, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghantam pantai.

Puisi “Nyanyian Hening di Tengah Rakusnya Tahta” membawa kita ke refleksi kekuasaan yang menindas. Setiap kata menjadi tanda bahwa nafsu untuk mendominasi hanya melahirkan kesengsaraan, sedangkan kekuasaan yang rakus akan membuat negeri terbakar. Melalui keheningan inilah muncul kritik terhadap kekuasaan yang terlalu tamak akan harta dan tahta.

Di “Tik Tok di Dapur Waktu”, suasana menjadi lebih akrab, namun tetap penuh makna. Suara jam dan alat-alat dapur menjadi ritme kehidupan sehari-hari yang mengajak pembaca untuk sejenak beristirahat dari kesibukan dunia maya. Puisi ini menyoroti bagaimana manusia, meski terjebak dalam teknologi dan rutinitas, tetap memiliki ruang untuk kembali ke kehidupan nyata yang sederhana.

Terakhir, “Sepatu dan Kesurupan Kebenaran” menampilkan pencarian makna dan kebenaran. Sepasang sepatu yang terus melangkah tanpa henti menggambarkan perjalanan batin manusia dalam menemukan hakikat kehidupan. Ia melawan arus digitalisasi, tak memedulikan peta virtual, dan mencari jalan menuju kebenaran yang sesungguhnya, meski terjebak dalam kesurupan.


Sajak Anak Zaman

Anak-anak negeri berjalan
Pergi menyisir lorong waktu dan ruang
Tubuhnya dibeli, hatinya terkunci
Oleh singa-singa industri

Seperti melacur
Seperti robot-robot bernyawa
Darahnya mengental keringatnya Mengkristal

Deru mesin-mesin pecahkan telinga
Bersama lapar yang menganga
Memuja tembaga
Memuja mesin-mesin
Memuja tuan pemodal
Memuja para oligarki
Seperti berhala

Kemanakah nasib anak negeri ini
Kalau cita-citanya di kebiri
Kemanakah nasib anak negeri ini
Kalau hak-haknya dicuri.

Solo, Januari 2018

Ombak Laut dan Zikir Perlawanan


berlayar jiwaku
ombak laut membaca fatihah
aku menuliskan kata Allah dengan alif aku menyepi

gelombang dibawa angin
meniti buih mencari pasir
kudengar laut berzikir
Dimusim dingin

setiap kali kusampai di pantai
acapkali kusebut rindu ku
kisah cinta usai sudah
pada pertemuan kita dulu

kini langit berduka
di tengah negeri terluka
angin membakar puisi-puisi
di sepuluh stasiun kota

ombak laut gelombang nestapa
membuka mata, dalam nyala jiwa
ataukah beban seberat ini
kau timpakan kepada anak-anak cucumu

Di tengah badai silih berganti
setiap hari kita bercerita
tentang hutan, dunia, negeri maju
dan hutang-hutang tak berhenti
seperti ombak laut ini

Gunungkidul, 2024

Nyanyian Hening di Tengah Rakusnya Tahta

membaca bahasa
tujuh jurus angin
menyusuri jalan malam, yang dingin negeri meludahi leluhur, zamannya jadi pertanda, segala keheningan

huruf dirumput
menuliskan dirinya
keperkasaan melahirkan kesengsaraan
setiap nafsu dominasi kekuasaan
seperti jadi burung burung hantu, di rimba

bila kekuasaan rakus harta dan tahta negara akan jadi arang
Dibakar, api kemuliaan jiwa


Yogyakarta. 16 September 2024


Tik Tok di Dapur Waktu

Tiktok

Tik, tik, tok, tok
Bunyi dari dalam layar
Menjelma menjadi sair
Membuat manusia lupa sejenak rasa lelah

Ibu pergi kedapur
membuat nada yang sama
Tik, tik, tok, tok
Suara panci dan garpu saling menyapa
Membuat ibu lupa sejenak rasa ngantuk

Aku terbangun dari tidur
Membuka mata, membuka jendela
Ternyata Matahari masih muncul di ufuk timur
Dan aku yang masih menyendiri ternyata hidup dalam layar kaca.

Yogyakarta, 19 Maret 2020

Sepatu dan Kesurupan Kebenaran

Meski Jarum jam menikam waktu
Sepasang sepatu tak pernah lelah melangkah
Menuju jalan yang di sebut kesunyian

sepasang sepatu sepertinya sedang kesurupan
Mencari jalan yang disebut kebenaran
Ilalang ilalang tukang pos kini tak karuan

Sudah lama sepatu melalang buana

mencari titik temu tanpa ihsarat
Dari google maps ia tak peduli
Atau memang sepatu mengetahui bahwa google maps tak bisa menemukan titik temu

Ilalang ilalang, berapa lama engaku melangkah
Ilalang ilalalang, kini engkau sudah kesurupan.

Yogyakarta, 22 Februari 2021

Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0